Besok natal dan cuti tahun baru menyusul sesudahnya. Punya jatah cuti 3 hari, tapi aku memutuskan tak pulang lagi ke rumah di cuti kali ini. Baru minggu lalu juga Bapak datang ke Jakarta. Dia mengatakan tak apa jika aku tak pulang, dia tahu itu lebih baik untukku dari pada harus melihatku ditampar Ibu berkali-kali hingga wajahku penuh luka seperti yang sudah-sudah.
Jam 3, siang menjelang sore dan aku sudah berada di depan gedung kantornya sejak tadi. Sedari tadi beberapa orang terus memperhatikanku, termasuk juga seorang pria yang kini menatapku dengan penuh sejak jauh hingga kini dia berdiri tepat di depanku. Dia bukan Alden, dia Bang Ade seniornya yang juga pacar sahabatku Nara.
"Alda?" Tanyanya menatapku ragu.
Tersenyum kecil, mengangguk. "Sore Bang." Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Dia membalas uluran tanganku. "Saya kira bukan kamu." Kulihat dia agak terheran, namun nampaknya berusaha tak perduli. "Alden?"
Aku mengangguk. "Iya, Bang."
"Dia tahu kamu disini?" Tanyanya.
Aku terdiam sejenak lalu menggeleng. Alden tak tahu aku sudah disini sejak satu setengah jam yang lalu. Aku berniat mengejutkannya ketika ia keluar nanti. Tak terlalu sulit masuk kesini, tadi polisi yang berjaga kebetulan mengenalku sebab aku sering datang bersama Alden ke sini.
Bang Ade menarik lehernya, sejenak lalu dia tertawa. "Mau kasih dia kejutan?"
Sungguh aku yang ditebak tepat sasaran sangat malu. Aku hanya bisa mengulum senyum.
"Biar saya panggilkan dia." Ujar Bang Ade.
Aku mencegah, "jangan Bang, biar saya tunggu sampai dia keluar saja. Takut mengganggu pekerjaan dia."
"Takut apa, sudah selesai pekerjaan dia dari tadi siang. Sudah libur sampai lusa."
"Jangan Bang, saya ngga mau merepotkan Bang Ade."
"Kalau begitu ayo repotkan orang lain saja."
Aku tak bisa menolak lagi. Kakiku yang dibalut stiletto sembilan senti sudah sakit berdiri sejak tadi di sini.
"Jar, sini!" Bang Ade memanggil mendekat seorang polisi yang berhenti untuk memberi hormat padanya.
"Siap komandan."
"Panggilkan Alden di ruangannya."
"Siap, Iptu Alden?" Tanyanya.
Bang Ade mengangguk satu kali.
"Siap komandan." Dia lalu berlalu masuk lebih dalam ke gedung.
Aku mengikuti langkahnya yang membawa kami duduk ke sebuah kursi panjang. "Duduklah sampai Alden datang."
Aku mengangguk. "Terima kasih Bang."
Aku mengenal Nara sangat dekat, dia tahu banyak tentangku dan Alden. Begitu pula aku juga tahu tentang Nara dan Bang Ade. Walau sedikit, aku dan Bang Ade cukup saling mengenal dan tahu.
"Kalian ada bertengkar?" Tanyanya memecah hening sepersekian detik, dia mematik korek untuk rokoknya.
Aku tak langsung menjawab. Sejenak menatapnya tak mengerti. Untuk ini aku hanya kuceritakan pada Nara, dan kuyakin dia tak tahu dari kekasihnya. Nara adalah perempuan paling bisa dipercaya yang kukenal. Meski masing-masing kami dan pasangan saling tahu, namun itu bukanlah sesuatu yang menjadi privasi.
"Maksudnya Bang?" Aku masih tak paham.
"Alden belakangan sedikit oleng."
Aku terdiam tak menjawab. Aku tak tahu pertengkaran kami cukup berefek pada pria itu.
"Saya tidak tahu kenapa hukum alam begitu, laki-laki kacau saat sedang bertengkar dengan perempuan." Dia menceritakan dirinya sendiri dan Alden, atau bahkan semua laki-laki.
Aku tersenyum sederhana. "Seperti Abang dan Nara?" Ujarku.
Dia mengangguk, menyetujui. "Iya semacam itu, kamu dan Alden juga."
Kurasa aku juga sependapat.
"Tapi Alda, saya berterima kasih. Setidaknya karena kamu, Nara menelfon saya tadi. Dia menanyakan Alden kepada saya. Rasanya lega sekali, Nara mau menelfon saya setelah satu minggu dia mendiamkan saya. Nara meminta saya mengecek apakah kamu berdiri diam di depan kantor." Dia sedikit tertawa di ujung, tampak cukup merasa senang. "Dia benar, saya lihat kamu mematung berdiri di sini."
Aku tersenyum simpul, aku pun tahu. "Terima kasih Bang. Tapi saya juga baru sadar beberapa hari ini Alna tidak terlihat menelfon Bang Ade."
Dia terkekeh tanpa suara. Frekuensi waktu diluar pekerjaan Alden dan Bang Ade hampir sama, mereka rekan satu tim. Namun Nara dan Bang Ade lebih rajin bertelfonan, sementara Aku dan Alden lebih sering menyemoatkan waktu untuk bertemu sebisa mungkin.
Tak ada dialog lain lagi hingga beberapa saat, hingga kulihat dari dalam gedung Alden berlari. Ketika tiba, matanya tampak menatapku bingung. Namun dia cepat beralih pada Bang Ade lebih dulu.
"Siap, izin menghadap Bang!"
Bang Ade berdiri dari duduknya. "Pacarmu datang, malah kau main ps di atas. Kalau ada masalah cepat selesaikan, sebelum menjadi semakin besar."
Napasku tertahan, aku kebingungan. Alden juga sama sepertiku tampaknya. Namun kami tersadar saat Bang Ade tertawa kencang.
"Kalian sama-sama tidak bisa diajak bercanda. Sudahlah. Sekarang selesaikan masalah kalian, bicarakan semuanya baik-baik." Menepuk bahu Alden dua kali lalu mulai melangkah pergi.
Aku menatap Alden lekat. "Maaf yah?" Berucap pelan. "Maafkan saya Mas, saya tidak akan membahas hal-hal yang tidak kamu sukai lagi. Maafkan saya yah?"
Aku menunggu respon Alden.
Aku ingin kami kembali seperti semula, aku tak ingin waktu habis secara percuma.
Aku ingin menemaninya merayakan malam natal seperti biasanya ketika dia tak bisa pulang ke Yogya. Aku ingin kami baik-baik saja kembali. Memendam sendiri tentang perpisahan dan tak lagi membaginya bersama Alden.
Alden memperhatikan sekeliling untuk sesaat, lalu menatapku. Kudengar helaan napasnya, sebelum akhirnya membawaku masuk ke dalam pelukannya yang hangat dan nyaman.
"Saya sangat mencintai kamu..." ucapnya tegas penuh penekanan.
Aku mengangguk di pundaknya, "saya juga."
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
RomanceTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...