Step 42 : 20 tahun berlalu

185 23 1
                                    

"Ibu jahat, ibu jahat, ibu nusuk Ayah pakai pisau." Ungkap seorang anak di akhir masa  balita padaku.

"Tata ngga suka sama Ibu, kalau Ayah tidur terus Tata sama siapa Tante?" Dia memelukku semakin kecang.

"Tata yang tenang yah, Tata harus banyak-banyak doa sama Tuhan untuk keselamatan Ayah yah?"

Dia mengangguk masih dalam tangisnya.

Kurengkuh dia semakin erat dalam pelukanku, terasa rapuh. Tubuhnya bahkan tak cukup untuk dilihat sebagai anak berusia empat tahun. Tulang-tulangnya begitu terasa saat tersentuh dengan bagian tubuhku.

"Tante akan bantu Tata berdoa, supaya Ayah Tata cepat bangun." Ujarku lagi.

"Tante hafal doa untuk kedua orang tua?" Tanyanya padaku dengan isak arang.

"Iya, Tata hafal?"

Dia mengangguk. "Ayah yang ajarkan Tata, Ayah minta setiap habis solat Tata baca untuk Ayah dan Ibu. Tapi, Tata baca cuma buat Ayah. Sekarang Tata juga mau baca buat Ayah."

Aku mengiyakan, ikut membacakan doa itu untuk Ayahnya.

Tak lama Tata tertidur dalam dekapanku.
Aku memberi isyarat tolong dari seorang perawat muda yang sejak tadi juga berada di ruangan ini. Membenarkan tempat tidur dan menata bantal sebelum aku membaringkan Tata di atasnya.

Aku mengamati wajah, anak itu. Ada sebuah legam di pelipisnya, beberapa bagian di kepalanya tak tumbuh rambut bekas luka, juga ada puluhan bekas luka lain di sekujur tubuhnya. Terasa begitu menyayat perasaanku, anak sekecil ini harus menerima penderitaan sebesar ini. Dia anak yang cerdas, aku tak habis pikir Ibu seperti apa yang dia milikki.

Aku datang dari Jakarta ke Muaro Bungo, sebuah kabupaten di provinsi Jambi untuk membantu manangani kasus ini setelah surat tugasku dari RS turun. Kasus KDRT yang dilakukan seorang perempuan terhadap anaknya-Tata serta Suaminya yang kini tergeletak di ICU setelah menerima luka tusukan dan tembakan di perut.

Berulangkali aku berpikir keras, berusaha memahami motif yang pelaku lakukan, tapi tak satupun dapat kupahami hanya menghasilkan tak habis pikir.

"Silahkan Bu Alda," usik seorang perawat yang sejak tadi ada di ruangan ini bersama Tata sebelum aku datang.

Dia memberiku segelas teh setelah keluar usai menawariku minuman dan kembali ke ruangan ini lagi.

"Terima kasih Mbak Rifa." Balasku.

Dia mengangguk.

Aku beralih duduk berhadapan dengan seorang polwan yang akan mendampingku. "Jadi Ayahnya Bripka Rahman yang berdinas di Polres, sementara Ibunya seorang guru di SMA Negeri. Mereka tinggal di rumah milik Bripka Rahman sejak menikah tujuh tahun lalu." Aku butuh untuk memastikan informasi dengan hasil analisa untuk disampaikan pada dokter forensik.

"Benar Ibu,"

Aku mengangkat kepala dari lembaran catatan, menatap lawan bicaraku penuh kali ini. "Mbak Mita saya mau sedikit menanyakan, di luar catatan saya. Jadi setiap hari Bripka Rahman dan Tita..."

"Setiap hari Tita di dititpkan di Ibu Ruro pemilik kantin di Polres saat Brikpa Rahman berdinas. Ibu Ruro sendiri kebetulan adalah tetangga rumah mereka." Jawabnya lugas.

"Bagaimana Istrinya-Pelaku, apa Mbak Mita pernah bertemu?"

"Iya Ibu, kebetulan saya juga anggota Bhayangkari dan sesekali ada kegiatan di Polres tapi Bu Rahman bahkan jarang sekali datang untuk kegiatan, bahkan di kegiatan bulanan yang diwajibkan seluruhnya hadir."

Aku mengangguk mengerti, sebenarnya dari keseharian saja sudah dapat dilihat bahwa kehidupan rumah tangga mereka memang tak bisa dikatakan normal. Kurasa motif yang terpikirkan dan menjadi dugaan sudah jelas.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang