Step 41 : Tahun-tahun berlalu

122 17 0
                                    

"Aku akan mengikuti saranmu Mbak, mencoba mendengarkan isi hatiku. Mencoba menghapus keraguanku hari esok dan menebak-nebak. Kamu benar, jika nanti kecewa aku akan biasa saja sebab sudah pernah." Ujar Alna.

Aku mengangguk satu kali. "Bukankah kamu bilang kecewa adalah teman paling setia Na? Jika dia datang lagi aku akan kembali duduk diam dan hanya mendengarkan tangisanmu seperti yang sudah." Aku tersenyum, lalu kami tertawa bersama.

Alna adalah salah seorang teman yang kutemui lagi beberapa tahun lalu sepulang aku mengambil gelas spesialisku. Dia adalah adik kelas satu tingkatku ketika SMA. Di salah satu acara sosial kami kembali bertemu hingga kini rutin berkomunikasi. Terkadang kami bertemu ketika aku dqtang ke Jakarta atau ketika dia datang ke Semarang.

"Aku jadi rindu masa sekolah dulu, jika bisa aku ingin mengulang semuanya." Ucapnya pelan menghela napas, menatap tayangan iklan dari sebuah sekolah swasta.

Kusesap cangkir teh kesekianku hari ini, seraya mengarahkan pandanganku ke luar, menatap Jakarta dari lantai enam sebuah restauran di Setiabudi. Aku mangerti masa sekolah yang dia maksud.

"Kadang aku bertanya-tanya kenapa ramai disana tidak kunjung padam, tapi kupikir tempatnya bukan orangnya yang selalu merasa ramai." Curahnya lagi.

Dia benar, aku kadang menanyakan hal yang sama.

Aku menatap Alna, dia juga menatap hal yang tadi kutatap.

Mengangguk satu kali, "ada juga orang yang sengaja datang kesana hanya mencari ramai."

Alna menatapku, di balik cangkirnya aku tahu dia tersenyum. Dalam pikiran kami sama, orang itu adalah kami. "Ingat pertemuan pertama kita Mbak?"

"Di ekskul sekolah, kamu adik kelasku satu tahun. Di UKS, saat kamu pingsan dan aku yang menunggui kamu hingga sadar bersama Nadhen 'kan?" Jawabku, setelah mencoba mengingat. Di UKS, "kukira terlalu ketara cara dia menyukai kamu."

Alna mengangkat bahunya. "Kupikir iya aku cukup bodoh, tapi kamu tahu masa dimana kita SMA dan kamu kenal Nadhen juga anak-anak sekolah. Akan jadi berita besar jika kami berpacaran."

Aku tahu dan kini melihat sebesar apa penyesalan yang Alna miliki. Kata terlambat adalah hal yang paling patut disalahkan pada semua penyesalan selain pilihan di masa lampau.

"Lalu kamu tahu Mbak, apa yang dua tahun lalu terjadi?" Dia memintaku menebak.

"Saat aku begitu congkak menggedor pintu dan masuk ke mobilmu?" Tanggapku atas lembaran usang yang dia buka.

"Jika itu bukan kamu yang datang, aku mungkin tidak akan membukakan pintu dan menurut untuk tetap hidup." Katanya sekali lagi.

Aku ingat momen itu, ketika melihat seoarang perempuan yang menunduk di balik setir di pagi hari di parkiran rumah sakit dan dia masih disana dengan posisi yang sama saat aku pulang. Kecurigaanku tepat, Alna tak bisa melakukan apapun. Dia berada di parkiran rumah sakit usai menenggak obat tidur di luar dosis tapi enggan untuk masuk.

"Aku ingin mati disana, supaya tak terlalu jauh ke ruang jenazah. Tapi kamu ada di sana Mbak, menyelamatkanku."

"Tuhan mau kamu tetap hidup, Nadhen ingin kamu melanjutkan hidupmu." Aku menatapnya lurus.

Matanya nampak berkaca-kaca, Alna membuang wajahnya pada dinding kaca, tak ingin terlihat olehku. "Jika kamu bukan kakak kelas yang begitu kusenangi, sudah dapat dipastikan aku lebih baik pergi." Suaranya begitu pilu, tapi dia berusaha menunjukan senyum padaku.

"Tapi sekarang kamu masih disini, dan aku bersyukur untuk itu." Aku tulus mengharapkan Alna.

"Aku cukup mengenal Alden dari kamu, kurasa kali ini aku siap mengenalkan Nadhen untuk kamu."

"Aku terlampau penasaran, sehebat apa pria itu Na."

"Dia hebat, sangat hebat. Kupikir Nadhen adalah versi Alden untukku Mbak."

"Mereka yang tidak bisa untuk dilupakan barang sedetik?" Aku memastikan seraya mengulas senyum.

Dia mengangguk usai meletakkan cangkir tehnya ke atas piring tatakan.

"Jadi bagaimana awalnya?" Tanyaku pertama kali.

"Sepertinya kamu tahu, aku dan Nadhen temen sekelas. Seperti yang kamu tahu juga dia terlalu ketara, aku tahu mbak sebenarnya, tapi aku menolak untuk tahu. Pikirku saat itu tidak seharusnya kami bersama-sama, dan menjadi bahan gunjingan. Pria sekeren Nadhen, sepintar dan ditambah anak pejabat daerah, aku bukan apa-apa..."

Kupikir dulu sejak SMA, mulut-mulut bocah masa itu bahkan sudah cukup mengerikan dan semakin mengerikan kini.

"Kupikir masa itu, lewat tanpa penyesalan aku melanjutkan hidupku Mbak. Kacau ya kacau, tapi kurasa tak sekacau dua tahun lalu. Sampai akhirnya tiga belas tahun berlalu setelah lulus SMA, tiga tahun lalu. Kami bertemu di reuni SMA. Aku kacau karena Bang Naga terlalu sibuk dengan yang lain dan Nadhen masih kacau pascaperceraiannya dengan Gista." Lanjutnya lagi.

Aku masih terus mendengarkan tanpa menyela.

"Hanya beberapa hari tapi aku sadar dia adalah seseorang yang aku butuhkan. Cukup beberapa hari dan dia kembali membuatku jatuh cinta, sehebat itu Nadhen. Dia memperlakukan aku sejuta kali lebih baik dari Bang Naga, Nadhen menunjukkan kalau akau berharga Mbak. Lalu kami kembali pada realita yang ada, aku ke Jakarta dan Nadhen ke Semarang."

Tak sedikitpun Alna tersenyum, tapi berkali-kali air mata luruh. Aku menyodorkan tisu untuknya.

"Aku kembali ke Jakarta dan kembali mengharapkan Bang Naga. Aku hanya menganggap Nadhen angin lalu, aku tidak sadar sudah cukup menyakiti dia. Tapi dia masih ada Mbak, saat Bang Naga lagi-lagi menyakitiku. Bukan sekali, tapi berkali-kali sampai akhirnya aku menikah dengan Bang Naga. Tapi aku salah, aku sadar Nadhen orang yang tepat. Aku mau bersama dia tapi Bang Naga mau aku tetap bersama dia, lama untuk membiarkan aku kembali bersama Nadhen sampai akhirnya aku terlambat." Kali ini tangisnya pecah.

Alna menangkup wajahnya dengan telapak tangan, tangisnya menderu dan begitu piluh.

Aku berpindah tempat duduk di sampingnya, merangkul dan mengusap pundak Alna yang bergetar.

"Aku kehilangan dia Mbak, aku kehilangan segalanya. Aku kehilangan Nadhen, dia satu-satunya yang bisa kuharapkan. Tapi kenapa baru setelah aku kehilangan semuanya dan merasa salah Bang Naga justru ingin aku kembali."  Dia kembali menangis.

Aku membawa Alna dalam pelukanku, tangisnya begitu menyayat. Tapi ini sebuah awal baru untukknya. Aku mengharapkan hal-hal baik kali ini datang dan bertahan cukup lama.

"Ini kesempatan kedua untuk kalian, dia memaafkan kamu, cobalah sekali lagi untuk memaafkan dia. Semua di masa lalu memang salah, tapi di masa yang akan datang kalian bisa membuat semuanya menjadi lebih baik." Hanya itu yang bisa kupesan untuknya.

Alna mengangguk dalam pelukanku. Kuharap semua untuknya berjalan dengan baik, dan selalu baik-baik saja. Aku ingin melihat dia tertawa bukan sekedar formalitas.

Aku juga berharap dia lebih baik setelah bercerita kepadaku, seperti aku usah berbagi luka dengannya. Sebab dia bilang kami dua orang yang tepat, dua orang dengan luka yang hebat, dua orang yang sudah seharusnya berdiri untuk bangkit.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang