Step 22 : Pernikahan.

143 20 0
                                    

Selesai dengan ibadah malam natal, hari kian larut dan kami tengah menyusuri trotoar di sekitaran Monas. Saling bergandengan tangan walau pakaian kami sudah tak rapih. Lengan kemeja pria itu sudah digulung sesiku, sementara jas yang sebelumnya dia pakai kini justru membungkus pundakku. Tapi bagiku dia masih menawan.

"Kenapa harus Monas lagi?" Tanyaku.

Kalimat itu hanya basa-basi sebab sebenarnya aku tak pernah keberatan dia membawaku ke mana pun. Aku percaya pada Alden, dia akan menempatkanku selalu di sisi terbaiknya.

Tangannya mengelus rambutku. "Ini yang paling dekat, sudah terlalu malam untuk mengajak kamu ke pantai." Jawabnya.

Baiklah, terserah dia. Bagiku suasana Monas yang malam ini tak seramai biasanya, cukup pas untuk menjadi tempat dimana aku ingin menyuarakan apa yang ingin kusuarakan.

Sedikit berjalan-jalan hingga kami sampai pada sebuah tempat yang memungkinkan untuk duduk. Alden meminjamkanku sebuah kursi pada seorang penjual kopi keliling yang bahkan mengenal kami. Menyingkir sedikit berjarak, aku berusaha percakapan yang akan berlangsung hanya tentang kami.

Aku duduk di kursi plastik dan Alden menyender pada besi pagar. Aku juga menyenderkan kepalaku padanya, merasakan setiap usapan tangannya pada rambutku. Sekian menit kami hanya saling diam hingga dua cup kopi datang.

"Kopi susu hitam untuk Mas Alden, jahe susu untuk Mbak Alna."

"Terima kasih, pak Min." Ucapku padanya.

Alden tersenyum, memberikan selembar uang kertas pada pria yang cukup sepuh itu.

"Sebentar ya Mas, saya ambil kembalian dulu."

Pria itu hendak berbalik, namun Alden lebih dulu mengintrupsi. "Ngga usah Pak, simpan saja buat Bapak."

Wajah Pak min tampak tak nyaman. "Duh Mas, selalu begini."

"Tidak apa-apa Pak."

"Terima kasih. Semoga rezeki Mas Alden dan Mbak Alda semakin melimpah, sehat selalu, aamiin." Doa tulus yang selalu sama.

"Aamiin, terima kasih, semoga Pak Min juga sama." Timpalku.

Alden mengangguk.

Pak min kembali pada sepeda berisi dagangannya yang berada cukup jauh dari kami.

Dalam diam kami menikmati hening, sesekali menyesap cairan panas dari cup masing-masing. Pandangan mata menatap ke arah jalanan yang tak pernah kosong. Kini mungkin aku tak bisa menganggap jalanan itu kosong walaupun itu adalah keadaanya yang paling sepi. Tapi, mungkin aku akan menganggap jalanan Jakarta ketika ramai adalah kekosongan saat pria di sampingku ini tak lagi bersamaku.

Satu tahun dan kini hanya tersisa enam hari. Waktu yang kumiliki semakin sedikit, namun aku masih belum bisa mengatakannya kepada Alden. Aku menunggu siap, tapi kurasa aku tak akan pernah siap untuk hal itu.

Tak ada jalan lain lagi selain mengatakannya saat ini, sebab aku tak akan punya kesempatan yang lebih baik lagi.

"Jangan pernah berpikir agar kita selamanya selalu seperti ini." Ucapku pelan memecah hening, mengangkat kepala dari sandaranku.

Alden mengalihkan pandangannya untuk menatapku.

Kudengar helaan napasnya pelan.

"Mari pikirkan kemungkinan yang mungkin bisa terjadi di masa depan, selain hanya terus seperti ini." Ucapku sekali lagi.

Kukuatkan diri untuk membalas tatapannya dengan tatap teduhku. Sedikit tambahan senyum agar terlihat bahwa aku terlihat seakan baik-baik saja dan yang kukatakan adalah keseriusan.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang