Sore hari, aku duduk memeluk lutut di sofa. Menatap ke luar balkon kaca apartemen. Hari sudah menjelang sore, dan nampak cerah dengan matahari yang perlahan meredup. Kutumpuhkan wajahku pada lutut, aku tak tahu lagi akan hari esok akankah bisa jadi buruk.
Kuputar tubuhku untuk sebentar melihat ke arah pintu. Menatap seorang pria yang berjalan masuk, bergeser untuk memberikan dia ruang lebih luas untuk duduk di sisiku. Dia baru saja kembali dari masjid di tower apartemen.
Semula aku tak ingin melepasnya pergi. Terlalu menakutkan jika dia tak kembali dan menyadari bahwa yang sedari pagi kupeluk hanyalah sebuah bayang-bayang akan keriduanku yang terlalu besar. Tapi belajar dari pengalaman, sejauh dan kurasa 20 tahun tak sebentar, yang pergi akan kembali jika Tuhan menghendakinya.
Kami masih tak memilik banyak pembicaraan. Hanya saling memeluk ketika larut dalam lelap. Tapi tak kubiarkan dia melepas pelukannya lama untukku.
"Saya tahu kamu dimana, tapi saya tidak tahu apakah kamu ingin saya kembali." Dia berbicara tanpa menatapku, pandangannya kosong pada gelas di atas meja.
Kukira sekarang waktunya untuk kami kembali mendengarkan suara satu sama lain.
"Saya tahu apa yang kamu janjikan dengan Mama, tapi saya tidak benar-benar berharap kamu selalu menepati janji."
Aku membuang wajahku, kembali menatap ke luar balkon.
Tak kusangka dia tahu akan hal itu. "Jika kamu marah kepada Mama kamu, kamu membuat saya mengingkari janji."
"Tidak, saya hanya memendam semuanya sendiri dan berusaha menerima kalau itu samua bukan kehendak Mama, kamu, ataupun saya." Tambahnya lagi.
Aku menatap awan yang terlihat buram.
"Takdir...""Ya," jawabnya. Kakinya terdengar mengetuk-ngetuk lantai. "Dua puluh tahun, lama juga untuk sekedar diucapkan. Dan kamu tahu seberapa lama pada kenyataannya."
"Sangat lama..." bisikku tanpa suara.
"Lama dan terasa menyakitkan. Saya harus pulih tanpa kamu, saya harus bangun tanpa kamu, saya harus melanjutkan hidup tanpa kamu..."
Air mataku menetes melewati pipi dan menetes di rahang. Tanganku tak kuasa untuk urai dari lipatannya.
"...saya terus datang ke tempat kita biasa pergi. Saya harus merayakan semua perayaan sendiri, dan harus bertahan dengan kuat untuk menahan semua yang berniat untuk datang."
"Kenapa?" Tanyaku serak, "kenapa kamu menghalau semua yang datang."
"Sebenarnya tak terlalu kuat, sebab mereka tak ada yang sehebat kamu."
Aku melakukan hal yang sama sekian tahun ini. Aku terlalu mencintai dia.
"Kamu tahu ada saya disana?" Kembali aku bertanya dengan suara parau.
"Tuhan yang mempertemukan kita..."
"Lalu kenapa kamu tidak pergi, dan kembali melanjutkan yang kamu lakukan..." aku membayangkan tatapan datarnya kala menyorotku.
Isakku lolos, air mata semakin deras. Bahuku terguncang.
"Dua puluh tahun Tuhan sudah cukup
menghukum..."Dia memeluk dari belakang, aku memegang lengannya kencang. Pelukkannya yang dua puluh tahun kuharapkan. Dia yang selam ini begitu kuinginkan.
"Genggam tangan saya lebih erat, tatap saya lebih lekat. Saya tahu semua yang sudah dilalui membaratkan kamu, tapi sekarang saya ada bersama kamu. Kita akan selalu sempat, kita selalu punya waktu untuk itu." Ujarnya dengan suara yang ikut parau, Alden menangis di pundakku.
Aku mengangguk berkali-kali dengan tergugu. "Saya tidak perlu menunggu kehidupan selanjutnya 'kan Mas untuk menjadi milik kamu?"
"Apa kita punya alasan untuk saling melepaskan lagi, setelah sebelumnya gagal untuk mengikslaskan?"
Aku menggeleng dalam pelukannya. "Peluk saya lebih erat Mas."
Selesai.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dipublish di Brebes (Jatibarang) Jumat, 30 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
Lãng mạnTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...