Step 21 : Ingatan.

88 17 0
                                    

"Biarkan saya ikut." Ucapku tiba-tiba. Aku menghentikannya dari pergerakan untuk turun dari mobil.

Alden terdiam, nampak tak siap.

"Kenapa?"

"Biar satu kali saya masuk dan melihatnya."

Dia diam, bahkan ketika kami melangkah bersama. Tautan tangannya menggandengku erat.

Aku menatapnya dari sisi samping, wajahnya nampak seperti seseorang yang menahan kalimat-kalimatnya. Aku tahu Nadhen ingin mengatakan banyak hal, andai bisa mengeluarkan kalimat larangan namun dia tahu itu tak akan berhasil untukku.

Aku berjalan di sisinya, menuju bangunan indah yang menjadi tempat ibadahnya. Satu kali saja aku ingin menemaninya beribadah di sana. Aku ingin menatap damainya wajah pria itu ketika berinteraksi dengan Tuhannya.

Singkatnya aku ingin merekam lebih banyak hal tentang pria itu. Aku ingin di suatu hari ketika kami sudah tidak lagi bersama, aku melihat suatu tempat yang akan mendatangakan memori-memori indah.

"Sebentar..." aku mengintrupsi kembali, menghentikan langkahnya lagi.

Kusentuh kerah kemejanya, sedikit kurapikan bagian yang perlu perhatian. Kutepuk pundaknya dua kali sembari tersenyum saat rampung, dia tampan.

"Selama saya mengenal kamu, hari ini adalah hari kamu tampan di mata saya." Ucapku tak berbohong.

Dia mendengus, berusaha menyembunyikan senyum. Alden si pemalu.  "Dan untuk kamu tidak, kamu selalu cantik setiap saat. Tapi, saya lebih suka kamu dengan kerudung."

Aku hanya tersenyum sederhana sebagai jawaban. Aku tak tahu harus memberi jawaban apa, sebab mungkin ini kali pertama dan terakhir aku tampil sedemikian rupa.

Kami melangkah, terus melangkah, cukup jauh sebab harus memarkirkan mobilnya di pelataran Istiqlal. Tangannya sedari tadi kami berjalan jelas menggengam jemariku begitu erat.

Pandanganku memperhatikan beberapa mobil yang ikut masuk ke parkiran Istiqlal, mereka umat Kristiani dari katedral. Sebuah peristiwa yang terjadi dan dapat kuamati. Ketika natal para Kristiani akan memarkirkan mobil mereka di Istiqlal, dan saat Muslim merayakan hari raya mereka parkiran Katedral juga terbuka sama luasnya.

Lagi-lagi ada bagian dari paru-paruku yang melepaskan nafas berat, sebagian dari jantungku yang memompa darah dengan lemah. Katedral dan Istiqlal bahkan bisa saling beriringan dan mengiringi, tapi kenapa aku dan Alden tak bisa seperti mereka.

Alden menghentikan langkah kami ketika sampai tepat di hadapan sebuah bangku panjang di pelataran gereja. Aku tahu maksudnya, tapi bukan ini yang kumaksud.

"Saya mau masuk bersama kamu." Ujarku memberitahunya, "ke dalam."

"Kamu tidak boleh." Jawabnya.

"Biarkan satu kali saja. Saya mau melihat bagaimana kamu beribadah, seperti ketika kamu memperhatikan saya solat." Aku membujuknya.

Dia menatapku tak suka sekaligus tak mengerti, ketika dia dengan berat mengiyakan permintaanku dan aku tersenyum senang. Alden menggandengku masuk, menarikku untuk duduk bersamanya. Kini sepenuhnya aku bisa menatap betapa megahnya arsitektur bangunan di dalam gereja. Menatap orang-orang yang berdoa begitu khusuk, termasuk pria di sampingku.

Sedikit mengetukkan jari mengikuti melodi ketika mereka begitu ramai dan rapi menyanyikan lagu-lagu bertema natal. Pria di sampingku juga ikut menyanyikan lagu, suara bassnya turut.

Kudengarkan dia, merekam baik-baik suaranya, aku juga ingin suara itu ikut ada dalam ingatanku tentangnya.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang