Step 9 : Bapak

125 20 0
                                    

Hari itu tiba ketika Bapak datang ke Jakarta. Hari dimana pertama kali aku mengenalkan Alden pada sosok figur penting di hidupku.

Pria itu bahkan sengaja memesan sebuah privat room untuk kami bertiga. Tak ada sedikitpun kegugupan tergambar di wajah Alden, dia tenang. Aku tak bisa untuk tak bersyukur atas ketenangan yang dia berikan. Bersamanya tak ada rasa tenang yang lebih tenang dari yang dia berikan.

"Jadi sudah berapa lama Nak Alden bekerja di Jakarta?" Tanya Bapak, setelah sebelumnya yang terucap hanyalah permulaan.

"Sudah sekitar lima tahun, Pak. Sejak lulus dari Akpol saya langsung ditempatkan di Jakarta." Dia menjawab jelas tanpa gugup.

"Orang tua Nak Alden sendiri bagaimana?"

Aku menahan nafas saat Bapak menanyakan hal itu. Meski wajar namun aku yang merasa takut.

"Papa dan Mama saya menetap di Yogya. Papa dosen di Undip dan mengurus bisnis keluarga bersama Ibu."

Semua berjalan baik, perbicangan mereka berjalan hangat. Tak ada yang lebih menyenangkan di minggu itu selain menatap 2 orang yang kusayangi dan cintai saling berbincang.

Namun aku tak bisa mencegah dan menahan keterkejutan Bapak saat menu mulai datang. Waktu di persilahkan berdoa, aku seakan semakin dipaksa sadar bahwa kami berbeda. Tanganku menengadah, sementara tangannya saling menggenggam. Aku memang belum mengatakan tentang ini pada Bapak walau banyak hal telah kuceritakan padanya.

Kami tak sekeyakinan. Aku tahu itu yang Bapak rapalkan dalam pikirannya, melalui tatapan yang dia berikan aku bisa membacanya. Tapi Bapak berusaha tetap diam, mempersilahkan kami semua makan seolah semua biasa saja.

Aku tahu Bapak laki-laki bijak, Alden juga laki-laki baik. Bapak tak mungkin menghujatnya tiba-tiba hanya karna melihat cara kami berdoa berbeda.

Aku baru kembali dari toilet, sebelumnya sempat pamit pada mereka. Namun langkahku untuk kembali ke ruangan kami terhenti di balik dinding saat kudengar suara Alden yang kurasa tengah menjawab pertanyaan dari Bapak.

"...mengenalkan Alda pada keluarga saya tahun, maaf atas kelancangan saya yang tidak meminta izin Bapak." Suaranya penuh keseriusan.

Sebenarnya saat itu Alden meminta agar dia datang lebih dulu pada keluargaku, namun aku menolaknya. Aku takut, terlalu takut untuk pulang dan harus bertemu Ibu.

"Tidak apa-apa. Bapak ingat tahun lalu Alda ada izin untuk pergi ke Yogya. Sebenarnya bapak sudah lama ingin mengenal kamu, tapi kata Alda dia masih malu." Tanggap Bapak dengan canda.

Tawa Alden berbaur dengan candaan Bapak.

"Tapi, apakah kamu serius dengan Alda?"

Aku tahu jelas jawabannya. Berkali-kali Alden meyakinkanku.

"Saya tidak pernah main-main dengan Alda, Pak. Saya mencintai dia." Aku tak melihat rautnya, tapi aku tahu dia tak berbohong.

"Sebenarnya tanpa perlu kamu beritahu, Bapak bisa melihat dari caramu menatap Alda." Bapak tertawa, suara tawa Alden juga bisa kutangkap walau samar.

Aku disini tersenyum.

Cara Alden mencintaiku kadang memang terlalu ketara, dia seakan-akan ingin seluruh dunia mengetahui perasaannya terhadapku. Aku kebalikannya, aku mencintai pria itu tapi aku hanya bisa lebih banyak untuk diam. Tapi tak sedikitpun dia mengeluh. Pernah dia katakan, aku cukup menyambutnya dengan tatap maka dia akan tahu apa yang ingin kusuarakan. Aku tak tahu harus berapa kali lagi kukatakan betapa beruntungnya aku ketika dia hadir.

"Bapak tahu perasaan kalian, tapi Bapak harap kalian tidak saling egois. Bapak hanya ingin yang terbaik untuk Nak Alden dan tentunya Alda. Tolong jangan mengedepankan ego. Memang perlu banyak waktu rasanya untuk memikirkan sebuah persoalan saja." Suara Bapak lagi kutangkap.

Alden tak bersuara.

"Bapak tahu di antara kalian pasti akan ada yang terluka. Entah bersama ataupun terpencar, tapi Bapak hanya mengharapkan kalian berdua untuk bahagia."

Aku terpaku di tempatku.

Apakah aku terlalu maruk kepada Tuhan, jika aku ingin sebuah pilihan lain. Bukan tentang terluka, bukan pula terpencar seperti kata Bapak yang seujung jua dengan terluka.

Aku terluka tak apa, tapi-- "Aku akan sakit saat kamu sakit." Kenapa pula dia harus mengatakan hal itu.

Biar aku yang terluka, biar aku yang menahan sakit. Asal tak dengannya. Aku benci saat dia ikut kesakitan bersamaku.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang