Step 11 : 25 & 29

116 19 0
                                    

Tahun ini usiaku 25 tahun dan Alden 29 tahun. 2 minggu lalu juga Tante Rianti mengajakku duduk dan berbicara berdua saat dia datang ke Jakarta.

Seperti yang sudah-sudah minum teh bersama, tapi kali ini hanya kalimat terselipnya yang berbeda. Teh Rosella turut berperan.

"Tante rasa 4 tahun sudah cukup, sekarang kalian cukup dewasa. Sudah saatnya kalian memikirkan bagaimana hari esok." Ucapnya pelan.

Dia tak menuntut, tapi meminta perhatian untuk tak diindahkan.

Dia sudah mengatakannya pada Alden, dan pria itu mengacuhkan kalimatnya tentang kami. Lalu mencoba untuk berbicara lebih lunak padaku, berharap dapat diterima.

Aku tak mungkin mengindahkan Tante Rianti, aku tak suka melakukannya. Tapi mengambil keputusan tak secepat itu. Terlebih aku masih harus bertahan dengan segala permasalahan lain yang sama tak berujung.

Aku masih harus baik-baik saja saat Ibu menamparku sama seperti ketika aku kembali pulang ke rumah yang sudah-sudah.

Aku selalu memimpikan tatapan lembut dan peluk dari Ibu ketika pulang ke rumah, tapi tak pernah ada. Ibu hanya bisa melayangkan tangannya, meninggikan suaranya dan menatap tak suka penuh kemurkahan.

Siang hari ketika aku pulang ke rumah yang lama tak menaungiku lagi. Ada Ibu yang menatapku berang, menarik tanganku kasar ke dalam ruang tengah, meninggalkan Alden di ruang tamu. Kami pergi bersama ke rumah itu, Alden memintaku mengenalkannya pada Ibu juga memenuhi undangan datang ke rumah dari Bapak.

"Sudah tidak waras kamu! Mau jadi apa kamu menikah dengan dia Alda!"

"Ibu selama ini benar, hanya ibu yang bisa mendidik kamu menjaid perempuan yang baik, Bapak dan Kakakmu salah! Keluar dari rumah sekarang kamu jadi begini, bertemu orang sembarangan!"

Ibu tidak benar, Alden bukan orang sembarangan. Dia bukan seseorang yang pandai menindas oranga lain. Alden lebih baik dari Ibu berjuta-juta kali.

Aku tak ingin menyuarakan apapun, aku hanya berdoa keras-keras di dalam hati semoga Alden tak mendengar suara tinggi Ibu, juga tamparan keras yang melesat di pipiku hingga memar seketika. Tapi kurasa mustahil sekali doaku.

Aku tak melawan Ibu, tak berdebat apapun. Aku hanya tak sempat pamit ketika keluar dari rumah seusai meraih kembali tasku, satu-satunya benda yang kubawa dari Jakarta. Sedikit terkejut saja satu hari yang kukira bisa berada beberapa jam di rumah tak sesuai anganku. Tapi aku bersyukur Ibu hanya berlaku seperti itu padaku.

"Kereta kita masih 4 jam lagi. Ada kedai kopi di dekat lampu merah..." Aku tak tahu kata yang tepat untuk melanjutkan kalimatku saat tangan Alden mengusap pipiku yang terasa sakit.

"Maaf..." ucapnya.

Aku menggeleng, kugenggam tangannya yang menyentuh pipiku. "Kalau pun bukan kamu, Ibu tetap akan menampar saya. Jangan merasa bersalah, tamparan ini sudah terlalu sering sejak dulu."

"Maaf..."

Aku tersenyum, "saya baik-baik saja."

Aku harus memasang wajah baik-baik saja. Menampilkan senyum terbaikku. "Kata Mas melihat senyum saya, itu adalah obat paling mujarab untuk sakit yang mas derita..."

Dia menatapku lekat.

"Tapi apa boleh saya minta kecupan di pipi saya supaya sakit ini hilang?"

Tak butuh waktu lama saat kurasakan kecupannya, bukan di pipi seperti yang kuminta melainkan bibir bisuku. Aku tak pernah memimpikan tempat mewah untuk moment ini, tapi gang sempit tak jauh dari rumahku yang sepi sudah cukup kondusif.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang