Step 33 : Sia-sia

91 17 0
                                    

Aku ingat suara jeritan Ibu yang menyerukan namaku, juga suara langkah tergesa Bapak. Sebelum mataku kian buram, kakiku tak mampu lagi menapak pada lantai menahan tubuhku. Aku baru akan sampai ke meja makan yang belum pernah kuhampiri sejak pulang ke rumah untuk makan malam.

Ketika mataku berbuka, aku menemukan raut khawatir bercampur lega milik Ibu dan Bapak. Tanganku terasa hangat dalam genggaman wanita itu, aku kecewa sebab itu bukan tangan Alden.

Dua orang yang kukenali sebagai dokter dan perawat selesai memeriksa dan berlalu. Meninggalkan ruangan ini dan tiga orang di dalamnya.

Pandanganku kini kian jelas saat menatap mata sembam memerah Ibu dan Bapak. Ibu tanpa banyak kata memintaku beristirahat sembari menyeduh minuman untuk Bapak di meja yang di sediakan di ruangan ini. Aku tak tahu bagaimana bisa berakhir di ruang inap rumah sakit alih-alih meja makan.

Tak terasa sudah dua hari aku disini, terus menghitung waktu. Berapa lama aku sudah meleoaskan Alden.

Aku mengucapkan terima kasih kepada rekan Ibu yang beberapa juga masih sangat kuingat, guruku dulu di SMA. Pada rekan-rekan Bapak yang juga menyempatkan waktu untuk menjengukku di rumah sakit.

Bapak dan Ibu mengantar mereka yang akan pulang ke depan ruangan. Sementara itu, aku dari atas ranjang rumah sakit menatap nyalang televisi yang menampilkan berita. Aku berusaha tak meneteskan air mata, menjaga mata tetap jernih. Mataku perih dan sakit, namun enatah mengaoa tak bisa berhenti menangis.

Berita tentang Alden masih saja muncul, dia menjadi salah satu polisi yang ikut terluka saat pengejaran buronan bandar narkoba dan sindikat penjualan senjata api ilegal. Mereka terlibat kejar-kejaran, baku tembak sebelum akhirnya terlibat kecelakaan beruntun di Tol.

Namun aku tak bisa menahan air mataku menetes tanpa berkedip sebab mata terlalu buram. Aku merindukan pria itu, apakah dia telah lebih pulih. Mungkinkah dia bertanya dimana aku.

Satu isakku lolos tak bisa tertahan, berlanjut pada isak selanjutnya yang terasa lancar. Masih sesak dan terus sesak, bahkan ketika Ibu membawaku dalam peluk yang kulupa bagaimana rasanya. Tangan halusnya yang kerap menamparku kini mengelus punggungku hangat.

Aku menumpu pada pundak Ibu bersama tangis.

"Maafkan keputusan Alda Bu yang tidak melibatkan Ibu. Tapi Alda terlalu mencintai dia Bu..." tangisku menderu.

"Ibu percaya Alda sudah bisa memutuskan..."

"Alda mencintai dia Bu, sangat..." aku memegangi pundak Ibu, menatap wajahnya.

"Dia pria yang sangat baik Bu, Alda yakin Ibu akan suka dengan Alden. Dia selalu ada saat Alda butuh dia, Alda kesulitan dan dalam keadaan yang buruk." Aku ingin Ibu tahu sebaik apa Alden.

Bapak menyentuh lenganku.

Kutatap mata Bapak, "ya 'kan Pak? Alden pria yang baik?"

Bapak memelukku, menepuk-nepuk Kepalaku. Mereka berusaha menenangkanku dalam tangis yang tak berkesudahan ini.

Terlalu sulit, kukira aku benar-benar tak mampu.

Aku menarik tangan Ibu, "tampar Alda Bu. Tapi biarkan Alda dengan Alden ya Bu, biarkan Alda ikut dengan dia."

Aku menangis penuh jerit, rasanya sesak. Berharap kian reda justru kian menyesakkan. Tangan Ibu, menyentuh bekas luka samar di sudut bibirku. Tetep saja rasanya sulit untuk berhenti.

Kehilangan pria itu adalah hal terburuk dari segala hal yang pernah terjadi padaku. Begitu sulit menemukan kewarasanku yang hilang, aku terlalu sibuk mempertahankan Alden di dalam pikiranku. Aku melakukan hal percuma dan sia-sia yang tak akan mengembalikan apapun, tak memberikan apapun yang kuinginkan.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Kamis, 29 Juli 2021

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang