Step 16 : Bersamanya dan baik-baik saja.

102 18 1
                                    

Lagi kami duduk bersama di pinggiran beton Pantai Marina, setelah sebelumnya singgah ke akuarium raksasa yang masih dalam satu kawasan.

Rasanya begitu damai, menatap hamparan laut luas dan matahari sudah mulai tenggelam. Labuh di rangkulan Alden, sembari menyenderkan kepala ke pundaknya adalah hal yang selalu saja nyaman. Sesekali bibirnya mengecup keningku, sesekali juga dia membisikan kata-kata cinta yang indah.

"Ada tempat, kota atau Negara yang sangat ingin kamu kunjungi?" Tanyaku di tengah kami menikmati suasana yang tak ramai. Aku menengok ke arahnya.

Sembari menatap laut dia tampak berpikir. "Yerusalem, saya mau melihat jejak-jejak Yesus disana."

Aku mengangguk. Tahun lalu aku menemani Mbak Sekar umrah. Sembari menitipkan nama pria itu di Multazam. Berdoa banyak-banyak, yang kutahu saat seorang muslim berdoa disana akan banyak dijjabah doanya.

"Kamu harus melakukannya." Tanggapku.

Dia menengok ke arahku, kini aku yang menyipit menatap lampu disana yang begitu kecil.

"Mungkin sama-sama masjid, bangunan tempat ibadah. Tapi saat saya datang langsung kesana, namanya mungkin sama-sama masjid, tapi rasanya tetap berbeda. Mas akan merasakan juga damai di Yerusalem, seperti saya merasakan Mekkah."

Kulihat dia mengangguk.

"Kamu harus sesegera mungkin datang kesana, lalu berdoalah untuk kita." Aku meminta padanya. "Untuk saya dan kamu. Janjikan itu untuk saya, kamu harus datang."

Aku menengok untuk menatapnya. Dia tersenyum, lagi-lagi mengecup keningku. "Iya saya akan kesana, seperti kamu, saya juga tidak akan mengingkarinya."

Aku mengangguk, lalu kami sama-sama menengok ke depan sana.

Aku menggerakkan tanganku, mengangkatnya setengah tinggi. Kurasakan angin malam meniup tanganku, menyapu wajahku. Rasanya damai, sedamai pelukan hangatnya. Kendati hari malam dan petang tapi disini bersamanya aku merasa baik-baik saja.

Aku ingin selalu begini. Bersama dengannya lalu aku baik-baik saja. Tapi bukan berarti saat tak bersamanya aku tak baik-baik saja. Aku tak tahu, tapi aku akan berusaha.

Tapi bersama dengannya isi pikiranku tak baik-baik saja.

"Saya menghitung sudah empat tahun sejak kita saling mengenal?" Ungkapku.

"Oh iya?" Dia seakan tak percaya. "Saya tidak menghitungnya, tapi bukankah terasa begitu cepat." Ujarnya.

Aku mengangguk. "Sangat cepat..." seperti satu tahun yang ternyata sudah berjalan selama delapan bulan.

"Mari memikirkan masa depan," ucapku pelan.

"Masa depan seperti apa yang kamu mau?"

Aku menggeleng, menghela napas tak ketara. "Apa yang kamu pikirkan tentang masa depan, masa depan saya dan masa depan kamu."

"Kamu bercanda, Alda?" Dia mengangkat sudut bibirnya, menatapku aneh. "Lebih mudah menyebutnya masa depan kita."

Tak kutangkap sedikitpun tentang kami yang berpisah ada di dalam pikirannya. Aku menginginkan hal demikian. Tapi tak mungkin kami sama-sama tinggal di pemikiran untuk sama-sama bertahan walaupun tidak sejalan.

Aku melepaskan rangkulannya pada pundakku. Mentapnya lurus, hanya separuh wajah kami yang tersinari cahaya.

"Kamu mau kita terus seperti ini. Sampai kapan kita akan terus begini?" Tanyaku pada akhirnya setelah waktu panjang.

Dia diam, mulai menatapku tak suka atas bahasan ini. "Kamu keberatan dengan hubungan ini."

Aku diam.

Demi Tuhanku, aku tak pernah keberatan. Aku baik-baik saja meski bersamanya tak mungkin kami akan bersama hingga saling menyatu seutuhnya. Meski jika kami teruskan akan selalu seperti ini hingga tua, hingga maut.

Aku mau, aku tak apa. Tapi aku tak mau dia menjalani apa yang aku jalani jika itu tak baik.

"Alda,"

Aku hanya bisa menatapnya lurus. "Saya mencoba realistis."

Aku mencoba untuk tetap menjadi seorang Alda yang tak pernah mengingkari janjinya pada siapapun.

"Saya mencintai kamu, sangat!" Tekannya begitu dalam.

Aku juga, bahkan mungkin lebih.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang