Step 4 : Doktrin

177 24 0
                                    

Aku terlahir sebagai anak ke-4 dari 5 bersaudara. Punya seorang kakak perempuan, dan dua orang kakak laki-laki yang semuanya sudah menikah, juga seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku SMA saat ini bernama Alfa. Kakakku bernama Mbak Sekar, Mas Damar dan Mas Wira, anak-anak sukses yang dibiarkan memilih jalannya sendiri oleh Bapak, sementara aku hidup dalam kungkungan belenggu Ibu.

Bapak dan Ibu tak berpisah, mereka bahkan semakin mesra setiap harinya. Aku hanya tak tahu cara mereka mendidik anak, mengatur tugas masing-masing dan menentukan banyak keputusan. Seperti ketentuan Bapak mendapat bagian yaitu ketiga kakakku untuk dia didik, sementara aku dan Alfa ada pada Ibu. Namun Alfa sedikit lolos dengan bantuan Bapak, tapi dia tak bisa membantuku keluar dari kungkungan Ibu.

Aku tak tahu strategi apa yang Ibu berikan, dia hanya ingin aku terus berada di dalam genggamannya. Sementara tanganku dia ikat, dia seakanntak ingin aku bergerak tanpa seizinnya. Duniaku hanya seluas telapak tangan Ibu.

Bapak seorang kepala dinas perhubungan dan memiliki pabrik furnitur, sementara Ibu adalah seorang guru Biologi di SMA Negeri. Bapak begitu lembut, padanya lah aku mengadu meski tak akan kudapatkan apa-apa. Sementara Ibu adalah sosok otoriter yang hanya padaku dia melakukannya, pada siapapun dia adalah Bu Maria yang lembut dan penyayang.

"Ibu akan selalu bersama kamu, ibu mau kamu menuruti ibu." Jutaan kali Ibu mengatakan itu padaku dan jutaan kali aku harus mengiyakan.

Dua puluh empat jam setiap harinya hingga lulus SMA aku selalu dalam genggaman Ibu. Segala tentangku Ibu yang mengatur. Dimana aku harus sekolah, ekstrakulikuler apa yang harus aku ambil, jam sekian aku harus belajar, jam sekian aku harus tidur, bahkan makanan apa yang harus kumakan dan pakaian apa yang harus kupakai.

Aku tak tahu mengapa tak bisa sekalipun membantah Ibu, seperti hal yang kadang dilakukan ketiga kakakku dan Alfa. Kadang aku hanya bisa termenung sepulang sekolah di depan lobi sekolah menunggu Ibu. Aku tahu, sekuat apapun aku meronta, aku akan tetap kalah.

Siang itu saat putih abu-abu, tryout Ujian Nasional yang pertama baru saja selesai. Aku hanya duduk diam di mobil sementara Ibu sibuk menyetir di sampingku.

"Lusa sudah terakhir penyetor jurusan SNMPTN, Ibu dengar dari guru konseling kamu. Jurusan yang Ibu minta sudah kamu setorkan 'kan Alda?" Tanya Ibu.

Aku diam, masih sama yang menjadi isi pikiranku sejak sedari tadi diam di lobi menunggu Ibu keluar dari ruang guru. Ibu ingin aku mengambil pendidikan Biologi sama sepertinya.

Inilah awal puncak aku membangkang pada Ibu.

Aku tak pernah ingin menjadi guru, bukan tak baik, itu mulia. Tapi, jika bisa lebih dari itu kenapa tidak. Aku yakin, aku bahkan mampu untuk tembus ke Universitas Indonesia, tapi aku tak punya kesempatan itu.

Aku tak pernah jelas memahami Ibu, yang kupahami hanyalah Ibu ingin aku masuk ke Universitas yang sama dengannya, jurusan yang sama. Menjadi seorang guru sepertinya. Tapi aku tak tahu Ibu ingin aku menjadi Alda yang semacam apa lagi.

"Ibu tahu aku bahkan bisa untuk masuk Kedokter." Ucapku gamang.

Ibu dan Bapak bahkan lebih dari sanggup untuk membiayaiku. Mas Damar dan Mbak Sekar bahkan mengambil gelar master di Australia dengan biaya penuh dari Mereka. Aku yakin jika tabungan di rekening Ibu tak cukup, Bapak tak akan ragu menjual beberapa pintu ruko.

Seketika juga mobil Ibu menepi. "Kamu tidak mau menurut dengan Ibu!" Bentak Ibu berang.

Aku menggeleng, kali pertama aku menjawab semua kalimatnya adalah hari itu.

"Aku mau Teknik Sipil di UGM, Bu. Sudah disetorkan ke guru BK tadi siang."

Detik selanjutnya Ibu menamparku, cukup keras hingga rongga hidungku terasa perih. Sering kali terjadi juga tapi baru kali ini murni karena ulahku.

"Kamu anak perempuan Ibu, Alda!"

"Iya Bu, walaupun aku bukan masuk pendidikan Biologi, tapi Teknik Sipil aku akan selalu jadi anak Ibu."

Lagi Ibu menamparku, kali ini tak sekali, berkali-kali hingga kepalaku penghantam kaca pintu mobil. Untuk kesekian kali juga keluar darah dari hidungku.

Esok harinya Ibu mampir ke ruang bimbingan konseling, mengganti jurusanku menjadi pendidikan Biologi Universitas Negeri Semarang.

Maka jelas sudah tak ada keuntungan bagiku sedikitpun, menuruti Ibu untuk selalu belajar. Cukup menghebohkan teman-temanku saat pararel satu sekolah, Esmeralda Maurain justru mendaftar di jurusan itu, sementara mereka yang berada di bawah berebut masuk ke Kedokteran dan UI-UGM. Hari pengumuman itu datang, sudah pasti aku lolos. Tapi aku sudah tak dapat menahan bebanku lagi.

Aku hidup hanya sekedar memenuhi keinginan Ibu. Hingga akhirnya setelah Ujian Nasional berlangsung dan aku hanya diam di kamar. Mas Wira yang tengah mengambil jatah cutinya tersadar ada yang tak benar dariku.

Aku hanya diam di kamar, aku tak ingin membuka mulutku. Pandanganku tak pernah terisi apapun, dan aku bingung mengapa aku tak bisa marah ataupun menangis saat Ibu menamparku berulang kali menyadari aku yang hanya bisa terdiam tak bisa memberikan reaksi apapun.

"Ibu mana yang mendoktrin anaknya seperti PKI. Ibu bukan ibu!" Bentak Mbak Sekar masih mampu kudengar.

Aku tak terlalu ingat, yang bisa kutangkap adalah Mbak Sekar yang menjerit saat Ibu menamparku berkali-kali. Berakhir aku yang harus dirawat di rumah sakit, aku baru bisa menangis ketika seorang psikiater mendatangi kamarku untuk kesekian kalinya.

Kukeluarkan semua kegundahanku, segala tekanan yang sulit aku terima dari Ibu. Aku ingin menjadi diriku sendiri tapi Ibu tak pernah bisa membiarkannya.

Dua bulan masa pemulihan. Hingga akhirnya Bapak bisa tegas terhadap Ibu. Aku sangat menyesalkan, kenapa dia tak melakukannya sejak dulu. Aku dibawa Mbak Sekar ikut tinggal bersamanya dan suaminya di Jakarta.

Dan kali terakhir aku menuruti kemauan Ibu.

"Ibu sudah mendaftarkan Alda, D-III Keperawatan di Poltekkes Kemenkes Jakarta." Ujar Ibu di tengah makan malam.

"Bu, Alda sudah besar, biarkan dia memilih apa yang dia mau." Seru Mas Damar tak membantu apapun.

"Iya atau tidak sama sekali." Ibu final tak bisa diganggu gugat.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang