Jam menunjukan pukul 23.03 WIB saat aku sampai di RS tempatku bekerja. Mengetuk ke ruangan Wadirut rumah sakit dan hanya menemukan asistennya yang tengah duduk di hadapan laptop.
"Bu Alda," sapa Mbak Laras padaku disertai senyuman.
Aku membalas dengan simpul. "Dokter Marwah sudah pulang Mbak?" Tanyaku pada perempuan dua puluhan itu.
Aku masuk ke ruangan itu, dan duduk di sofa ketika dia mempersilahkannya. Menjamuku dengan air mineral baru, meletakkannya di atas meja.
"Baru sekitar satu jam Bu, dokter Marwah kira Bu Alda langsung pulang ke rumah."
Aku menggeleng, "besok saya libur, sekalian saja. Tolong titipkan untuk dokter Marwah ya Mbak Laras." Pesanku padanya.
"Baik Bu,"
Aku kembali melangkah keluar, menuju pada mobilku yang kutinggalkan untuk terparkir di rumah sakit.
Kembali melewati jalanan Jakarta, tiba-tiba aku ingin berkeliling. Melewati kompleks Monas, untuk menatap Istiqlal. Solatku tadi tak khusyuk kala mendengarkan lantunan ayat yang begitu merdu, kenangan tambahan yang rasanya tak akan kulupakan. Perjalananku berujung dengan memarkirkan mobil di tepi pantai Marina. Tapi sekian jam aku hanya diam dalam heningku. Menatap debur ombak dari kejauhan, aku rindu saat-saat itu.
Lamunanku buyar ketika ponselku berdering, nama Ibu tertera di sana.
"Alda?"
"Iya Bu,"
"Kamu sudah sampai di Jakarta?"
"Sudah Bu, jam delapan tadi mendarat. Kenapa Bu?"
"Tidak Ibu, hanya tiba-tiba teringat kamu."
"Semua baik Bu, Ibu dan Bapak sehat?"
"Bapak bilang kangen dengan kamu, kapan pulang?"
"Secepatnya diusahakan bu,"
"Ibu harap lebaran ini kamu di rumah, bapak mau kita semua kumpul."
"Iya Bu, diusahakan."
"Ya sudah, hati-hati."
"Iya bu. Jangan lupa hari Rabu jadwal Ibu dan Bapak periksa kesehatan, sudah dijadwalkan dan didaftarkan."
"Iya, ibu tutup yah, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam..."
Panggilan terputus.
Ibu memang kini lebih sering menghubingiku. Berusaha kupahami dia, tapi kurasa dia hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja dan tak kesepian. Kadang aku bersyukur hidupku masih dilengkapi Bapak dan Ibu, kami menua bersama.
Selesai dengan sekian waktu hening yang kubutuhkan aku kembali melajukan mobilku. Tiba di apartemenku dengan selamat, tapi lagi-lagi hampa menusukku dengan kuat.
Aku berusaha untuk tidur, tapi pikiranku tak menginginkannya. Aku terjaga hingga fajar tanpa kantuk. Kembali mengambil wudhu dan menjalankan solat usai azan. Aku ingin kembali melamun namun suara ketukan menggebu datang, alih-alih bel yang berbunyi.
Aku mendekat ke pintu tanpa sempat menanggalkan mukenahku, melihat tamu yang datang dari door viewer dan menemukan keterkejutan. Kubuka pelan pintu itu, menemukan sosok yang mengisi pikiranku selama ini dan lebih para sejak beberapa jam lalu.
Aku berdiri di depan pintu, menatapnya tanpa kedip. "Pak Alden?"
"Boleh saya menumpang solat disini?" Tanyanya.
Aku tak bisa menjawab dan memikirkan apapun, satu-satunya hal yang hisa kulakukan adalah mempersilahkannya untuk masuk.
Aku terduduk di atas ranjang. Mengamati dia yang nampak hafal dengan tempat ini. Mengambil wudhu di toilet, mengambil bersujud di atas sajadah dan menengadahkan tangan. Aku masih terus diam, mengamatinya.
Saat dia mengusap telapak tangannya pada wajah. Melipat sajadah dan meletakkanya di rak meja tv. Dia lalu berjalan ke arah kitcheset, membuka kabinet dan menuang air ke gelas, sebelum akhirnya kembali diam di kursi meja makan yang masih kokoh meski puluhan tahun sudah berlalu. Sejak kami berpisah, tak sekalipun aku menduduki salah sagu kursinya.
Dia diam mengamatiku yang juga diam mengamatinya.
"Saya ragu akan ada kehidupan selanjutnya." Ucapnya menatapku lurus.
Aku membatu, aku tak bisa mengatakan apapun. Aku ingin memeluknya erat-erat namun yang kupeluk justru lututku sendiri.
Perlahan Alden mendekat, ketika dia membawaku dalam peluknya suara parauku bisa keluar.
"Maaf, maafkan saya sudah meninggalkan kamu dan menyesalinya." Usai mengucapkan kalimat itu, tangisku luruh tak terkira.
Aku menangis terisak-isak dalam pelukannya.
Aku tak menyangka Alden disini dan kini memelukku. Aku memeluknya tak kalah erat, aku tak ingin dia pergi dariku. Aku ingin dia selalu melakukan ini. Aku tak ingin melepaskannya lagi, aku tak mau dia pergi seperti aku yang meninggalkannya.
"Ma--mas Alden..." Ucapku terbata-bata.
Memelukku kain erat, mengecup keningku dalam. "Saya tidak akan membiarkan kamu pergi lagi, jadi jangan pernah mencoba untuk menghindar."
Aku menangis kian seru, dia mengecup keningku berkali-kali.
Setelah dua puluh tahun berlalu, baru aku bisa memeluknya kembali. Terasa seperti mimpi tapi pelukannya bisa kurasakan nyata. Pertemuan pertama kami setelah sekian waktu dan kuharap tak akan ada perpisahan.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dipublish di Brebes (Jatibarang) Jumat, 30 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
RomanceTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...