Tiga tahun waktu masih terus berjalan. Aku 24 dan dia 27. Baru minggu lalu kenaikan pangkatnya untuk Iptu. Aku juga telah menuntaskan strata 1 lanjutan diplomaku.
"Gambar kamu bagus." Ucapnya menengok goresan pensil pada kertas gambarku.
"Terima kasih," aku tersenyum kecil. "Dulu saya sempat mau kuliah teknik sipil."
Kututup buku gambarku, menggelarnya di atas meja. Pandanganku lalu beralih pada pria di samping yang tak henti mengecup keningku untuk mengganggu.
Aku ingin berbincang dengannya, di sedikitnya waktu yang ada.
"Kenapa teknik sipil?"
"Saya suka hitungan, saya suka menggambar. Cita-cita saya dari kecil membangun jembatan kokoh untuk dilewati banyak orang." Aku mulai berceloteh.
Dia fokus mendengarkan.
Tanganku bergerak mengusap gambar jembatan yang kubuat di atas kertas.
"Tapi Ibu tidak memperbolehkannya, Ibu mau saya jadi guru."
"Kamu bukan guru."
Aku mengangguk satu kali. "Saya tidak mau, lalu Ibu mendaftarkan saya sekolah perawat. Saya tidak bisa menolak."
"Saya bingung harus turut prihatin atau bersyukur. Kalau kamu tidak menjadi perawat mungkin kita tidak akan bertemu."
Aku mengulas senyum. "Jodoh itu mau sejauh apapun selalu Tuhan dekatkan." Ujarku, telunjukku kutempelkan pada bahunya.
Jodoh memang begitu kata orang-orang, sama halnya dengan tak jodoh. Mau sedekat apapun jika tidak, Tuhan punya banyak cara tak terhingga untuk memisahkan. Untuk kami aku tak tahu, bagaimana kami akan berujung, tapi Tuhan punya skenario terbaik untuk hidup umatNya.
"Saya mau lihat gambar kamu."
Aku mengangsurkan buku gambar padanya. Meletakkannya di atas meja agar kami bisa melihatnya bersama.
Aku memperhatikannya yang mengamati gambar-gambar itu dengan begitu fokus. Aku tak ikut mengamati goresan pena itu, lebih memilih menatap pria dengan tatapan tajam di sampingku. Wajahnya begitu serius, alisnya saling menaut dalam. Tatapannya tajam seolah-olah mencari sesuatu yang sulit ditemukan.
"Ini rumah yang kamu mau?" Dia bertanya.
Aku terlalu fokus memperhatikannya, tak sadar jika dia kini menjumpai halaman buku yang menggambarkan desain dan denah sebuah rumah.
"Ini rumah impian saya." Aku menggeser buku itu menjadi ketengah.
"Jelaskan bagaimana." Pintanya.
Menjadikan dia satu-satunya pria yang kucintai pun aku bisa, apalagi hanya menjelaskan gambar ini.
"Butuh lahan sekitar 400 meter persegi untuk lahan dan bangunannya. Bangunannya tidak terlalu besar tapi cukup lengkap, disini ada taman depan, taman belakang yang sebagian dijadikan kolam renang dan kebun." Tanganku menunjuk tiap-tiap bagiannya.
Tak sedikitpun dia menyela.
"Rumah utama ada dua lantai, di lantai atas hanya diisi tiga kamar dan ruang kerja juga balkon. Di lantai bawah ada dua kamar, garasi, ruang tamu, dan untuk ruang keluarga, ruang makan dan dapur dibuat tanpa sekat supaya lebih hangat. Totalnya ada lima kamar..." Kali ini aku meliriknya dan membuat dia membalas tatapku.
Ada yang ingin kusuarakan tapi aku urung. Aku terlalu malu jika kami tak jodoh.
Dari lima kamar, satu untuk aku dan Alden, satu untuk orang tuanya dan orang tuaku saat mereka datang ke rumah, dua kamar lain untuk anak-anak kami kelak. Satu orang putra dan putri, jika si bungsu hadir dia bisa ikut tidur di kamar kedua orang tuanya sebelum kami membuat sebuah kamar lain di tepi kolam renang.
Aku ingin ruang keluarga, ruang makan, dan dapur dibuat tanpa sekat agar keluarga kami hangat. Pintu belakang dibuat dengan slide kaca agar aku mudah mengawasi anak-anak. Aku bisa bertanya padanya menu apa yang dia inginkan untuk makan malam saat matanya fokus pada tanyangan televisi. Anak-anak yang tengah bermain di kolam renang bisa mendengar suaraku yang memerintah agar mereka segera beranjak dari air karena mata mereka mulai memerah.
Aku ingin kehidupan simple yang tak rumit. Aku sebagai seorang istri dan ibu, Aldeno Hakal Asmodjo sebagai kepala keluarga dan ada Alda juga Alden kecil.
Seorang gadis yang menjadikanku tempat mengeluh dan berbagi cerita tentang hari-harinya, atau seorang pemuda yang mulai beranjak dewasa meminta motor setelah mendapatkan surat izin mengemudinya. Juga seorang gadis kecil yang selalu minta ditemani kemanapun dan berteriak girang memanggilku bunda.
Sebagai pelengkap dalam impianku, ada seseorang yang akan mengecup keningku di pagi hari dan memelukku hangat di malam yang dingin. Saling menguatkan dan saling meyakinkan. Aku ingin orang itu Alden.
"Saya ingin melihat versi kecil dari kamu, Mas."
Dia mengangguk, "kamu harus melihat lucunya Alda dan Alden kecil." Mengusap puncak kepalaku dengan senyumannya.
Namun sebenarnya yang lebih penting bukanlah seperti apa rumah itu, melainkan bagaimana sebuah keluarga di dalamnya.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
Любовные романыTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...