Step 43 : Sudah seharusnya

163 20 1
                                    

Kurasa aku cukup terlambat masuk ke dalam ruang rapat kembali, setelah sebelumnya meminta Bripda Mita untuk mengantarku ke minimarket. Aku ingin membelikan beberapa jenis coklat untuk Tata, dia sempat bercerita bahwa Ayahnya berjanji akan membeli gadis itu coklat saat hari gajian tiba. Tapi, hari itu nahas.

Mengingatnya satu tetes air mataku jatuh luruh, membasahi pipi. Aku duduk di kursiku seraya mengusap air mata, Bu Anna-seorang polisi yang duduk di sebelahku memberikanku selembar tisu.

"Bu Alda baik-baik saja?" Tanyanya berbisik cemas sebab acara bincang telah memulai.

"Terima kasih Bu, hanya selalu tersentuh saat menangani kasus seperti ini."

Dia mengusap pundakku, "manusia kadang tidak bisa berperilaku sebagaimana mestinya."

Aku mengangguk.

Lalu kami mulai fokus pada acara, namun aku gagal untuk melakukannya. Aku benar-benar membeku seketika. Setelah puluhan tahun, aku baru bisa kembali melihatnya. Dua puluh tahun berlalu tapi aku masih bisa mengenali pria itu, akan kah dia serupa.

Dia ada di ruangan yang sama, duduk di kursi utama. Dia mengenakan seragamnya, bintang telah tersemat di masing-masing pundaknya. Waktu yang panjang mengubah balok emas menjadi bintang.

Aku mengamati dia dalam ketenangannya.  Tak ada senyum yang ramah seperti dulu kala, dia tampak begitu tegas dan kaku tak tersentuh. Sesi pembicaraan dalam rapat ini lebih mencekam  kurasakan dari sesi rapat sebelumnya.

Kusoroti dia lamat-lamat, aku melihat beberapa garis tipis di dahi dan sudut matanya yang terlihat samar. Wajahnya yang kini jelas lebih dewasa dari pada dua puluh tahun lalu. Tapi pundaknya masih begitu kokoh. Seragamnya tergaris rapih, aku bertanya dalam hati siapa yang melakukan itu untuknya.

Air mataku jatuh kembali satu-satu, tanganku hanya mampu bergerak untuk mengusap pipi yang basah. Aku ingin berlari ke arahnya, memeluk pria itu, tapi ada kilatan logam yang berasal dari jari manisnya. Aku ingin mengatakan betapa aku merindukannya, dan betapa aku sangat-sangat mencintainya. Tapi, aku tak akan mempunyai kesempatan untuk itu.

Sekian menit aku hanya sibuk dengan air mataku, mendapat tatapan penuh tanya dari orang lain namun berusaha tak mengganggu. Aku tak bisa untuk fokus mendengarkan.

Semuanya tak lewat dari satu jam, aku ingin lekas keluar melalui pintu di belakangku. Namun akan tampak aneh melihat semua orang menuju kursi utama untuk menjabat tangan Wakapolda, sementara aku menuju pintu belakang. Pada akhirnya aku mengikuti Bu Anna berjalan ke depan ruangan, saat air mataku tak lagi keluar dan hanya menyisakan mata merah.

Tiba giliranku menyalami Wakapolda, Pak Deni berada si sampingnya mendampingi.

"Ini bu Alda, Pak Alden. Doktor keperawatan forensik yang ikut membantu kasus ini, beliau datang dari Jakarta." Ujar Pak Deni.

Aku mengangguk formal saat mata itu menatapku, sekali lagi kupertanyakan kemana mata lembut yang dulu.

"Terima kasih sudah ikut serta membantu kasus ini bu Alda." Wajah Alden nampak biasa saja, dia hanya tersenyum formal.

"Sama-sama Pak Alden. Senang bisa diikutsertakan membantu kasus ini." Aku membalasnya, dan aku merasakan sesatu yang menyakitkan mengendap di balik sternumku.

Lalu semua lalu, aku keluar dari ruangan itu dan dia masih disana tak menghentikanku. Aku mendecih di dalam hati, memang apa yang kuharapkan darinya.

Aku keluar dengan sesak, kembali berjalan ke masjid rumah sakit sebab ketika aku keluar suara azan sudah menggema.

"Saya sudah memberikan titipan Ibu untuk Tata." Ucap Bripda Mita seraya kami berjalan.

Aku menagngguk, berterima kasih. Tak sempat menimpali lebih. "Kita solat dulu ya, sebelum Mbak Mita mengantarkan saya ke Bandara."

"Baik bu. Apakah ibu langsung terbang ke Jakarta tidak ada urusan lainnya?" Tanyanya.

Aku menggelang, "iya mbak, saya harus segera kembali ke Jakarta."

Aku kembali menjalankan solat. Tak memanjatkan doa apapun sebab ingin pergi secepatnya dari tempat ini. Aku khawatir akan bertemu dengan pria itu lagi. Namun aku sial, saat memasang sepatu justru pria itu duduk di sampingku terhalang sebuah tiang.

Aku tak tahu ini kesengajaannya atau bukan, jika iya ini begitu kejam. Tapi aku tahu, aku yang meninggalkannya dulu bukanlah manusia.

Wajahnya masih biasa saja, tak ada yang berubah sejak kali pertama aku melihatnya di ruang rapat.

"Berapa jarak dari sini ke Polres?" Tanyanya pada seseorang di sampinya seraya memasang kaus kaki.

Aku merasa piluh, tapi mendengar suaranya berbicara di sampingku begitu menenangkan.

Bripda Mita muncul dan mendekat, berdiri di depanku. "Apa bu Alda bisa menunggu di lobi dulu, saya parkir sedikit jauh tadi."

"Biar kita jalan sama-sama saja."

Aku berdiri dari dudukku, sedikit menunduk  untuk sopan santun pada pria yang sedari tadi berada di sampingku terhalang tiang. "Mari pak Alden, saya mendahului."

Berjalan cepat tanpa menunggu jawabannya. Bripda Mita yang mendampingiku, mengikuti dengan kebingungan. Aku tak bisa berkata-kata hingga sampai di bandara, hanya sempat rasa berterima kasih pada perempuan muda itu.

Tangisku tak keluar bahkan ketika sudah berada di atas kursi pesawat. Tak sedikitpun aku terisak tapi aneh saja mataku terus mengeluarkan air mata. Pramugari satu-persatu mendatangiku dan bertanya apa yang kubutuhkan, namun aku hanya bisa mengatakan aku tidak apa-apa seraya menghapus air mata yang terus meleleh.

Bukankah aku bodoh, memangnya apa yang aku harapkan.

Alden melakukan hal yang kuinginkan. Kukatakan kala dia terbaring penuh luka, jika kami bertemu kembali dia harus berlaku seolah kami tak pernah saling mengenal. Sudah seharusnya hal seperti tadi dia lakukan.

Aku tak patut menyalahkan pria itu, semua adalah permintaanku.

Kuusap cincin di jari manisku, cincin pemberiannya yang tak pernah kukembalikan. Seharusnya aku membuang benda ini, tapi sekali lagi terlalu berat bagiku untuk melakukannya.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Jumat, 30 Juli 2021

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang