Step 29 : Maaf

108 17 1
                                    

Aku menatap Alden dengan linangan air mata yang sempat mengering namun kembali tak berhenti. Wajahku terasa panas, mungkin kini memerah. Hanya berbalut oneset dan kerudung yang tak beraturan. Bibir ini kugigit kuat-kuat hingga lidahku menyecap asin di sana.

Rasanya sulit untuk tenang melihat dia yang masih tak sadarkan diri, penuh alat dan luka di sekujur tubuhnya. Aku hanya mampu duduk lunglai tak bisa berkata-kata, hanya bisa menggenggam tangannya erat. Aku masih tak menyangka dia bisa selemah ini, tapi dia benar Alden.

Dia telah sadar walau masih begitu lemah, tapi dia masih sosok yang begitu penuh cinta dariku. Kendati wajahnya penuh lebam, kakinya harus tersangkut pada penyangga, dia masih Alden yang akan selalu kucintai. Walau mulutnya terbuka sebagai jalan ventilator di sana, penuh perban sekujur tubuh, dia masih Alden yang selalu kuinginkan sampai kapanpun. Meski penyangga lehernya tampak begitu mengekang, dia masih laki-laki gagah yang selalu kudoakan. Dia masih begitu kuharapkan.

Aku tak tahu apakah dia akan mengingat kata-kata yang akan kuucapkan ini bila telah sadar sepenuhnya nanti. Dia dengan sisa anestesi dari operasi pengeluaran peluru di perutnya. Namun, kuharap ketika Alden sadar nanti dan tak menemukanku ada di sisinya lagi, dia akan benar-benar menuruti apa yang aku katakan padanya ini.

"Lupakan saya, anggap saya tidak pernah muncul di hidup kamu." Kusuarakan dengan serak.

Jari-jemarinya bergerak dalam genggamanku, namun lekas juga kutarik tanganku yang sedari tadi menyentuh tangan dinginnya, berharap bisa memberikan sedikit kehangatan tapi tangan kami sama-sama dingin.

Tapi, aku gagal terlihat kuat. Menangkupkan wajahku pada telapak tangan hingga terasa basah, menangis kian sendu berharap dunia yang menjadi tempat menetap tak begitu piluh. Menangis dan berusaha menahannya untuk tak menggeru dan bersaing dengan suara electrocardiogram. Namun, tangis ini selirih yang kubisa. Tangis yang berusaha menggerus kesakitan, tapi tak membantu apapun. Semula yang terasa sakit hanya jantung kini menjalar ke tulang-tulang.

Seraya menangis aku kembali bertanya pada Tuhan, di dalam hatiku. Mengapa takdir kami semenyakitkan ini. Mengapa kami yang sama-sama taatnya harus dipisahkan satu sama lain, meski kami berdoa penuh kesungguhan, mengampun penuh penyesalan. Sudah ribuan kali kutanyakan, namun tak juga kutemukan jawaban.

Kuusap kasar wajahku putus ada, lalu ingat saat dia yang selalu mengusap halus kepalaku. Meraih kembali tangan Alden yang sempat kulepas. Tangisku harus selesai disini, mengatupkan bibir untuk tak bergetar sebelum aku hilang dan tak menjadi miliknya lagi.

Kutarik napas kuat-kuat, hingga rongga dada penuh dan tetap sesak. Aku berdiri, mendekatkan wajahku pada wajahnya. Menatap wajah itu lekat-lekat. Matanya masih memberikan sedikit respon terhadapku walau tak penuh.

"Saya pergi Mas, kita harus sampai disini--" belum selesai. Aku memejamkan mataku, terlalu perih melihat wajahnya.

"Maafkan saya yang tidak bisa berusaha lebih banyak untuk kita. Maafkan saya yang tidak bisa mengolah perasaan saya lebih benar, saya hanya tahu cinta saya sudah cukup baik." Ucapku.

Dia diam, tak bisa berkata.

"Maafkan saya harus mengambil keputusan yang sangat kamu benci."

Air matanya menetes tanpa dia berkedip.

"Maafkan saya..." aku begitu putus asa. "Maafkan saya tidak bisa menemani kamu lagi."

Aku mengecup rahangnya, bagian wajah terdekatnya yang bisa teraih dengan luka gores.

"Saya sangat mencintai kamu, lebih dari diri saya sendiri." Air mataku menetes tak terkira. "Saya sangat memcintai kamu, tolong maafkan saya..."

Aku terlalu jahat jika menginginkan dia juga menyuarakan bahwa cintanya untukku di saat seperti ini. Di saat aku bersiap meninggalkannya yang kini penuh kesakitan. Aku bahkan bukan manusia, setelah mengambil keputusan yang kurasa adalah yang terbaik.

"Jika kita--" sejenak aku terheti menyusun kata, juga menyadari detik ini aku harus menghilangkan kata kita.

"Jika suatu saat nanti saya dan Mas Alden bertemu, mari jangan saling sapa. Saling melupakan dan hilangkan segala hal tentang saya di ingatan kamu."

Dia masih diam, tapi matanya kali ini jelas menatapku sayu. Jarinya bergerak berniat meraih tangan lunglaiku. Aku ingin meraihnya, tapi tak ingin melepaskannya menjadi sesuatu yang lebih berat lagi.

Kuhapus semua air mata di wajahku, berusaha tersenyum. Menarik napas sesak, kalimat terakhirku sebelum aku benar-benar pergi. "Ada Tante Rianti dan Mas Brian, Om Roy, Mbak Grace yang menung--gu kamu. Lekaslah pulih Mas, le-kas kembali se--perti sedia kala untuk mereka. Jalani hidup yang baik, tanpa saya kamu cukup mampu meraih yang kamu inginkan."

Dia masih mendengarkanku, suara serakku yang diselingi isak. Jemari lemahnya yang bergerak kuraih dengan hati-hati, kutempelkan pada keningku lalu kukecup dalam.

Ini tangan yang selalu melindungiku, mengusap kepalaku lembut. Memberikanku ketenangan di saat dunia tak menghendakiku. Memberikan banyak hal yang kubutuhkan, membagi apa yang dia punya. Dia yang selalu mencukupi kebutuhanku yang tak terkira.

Aku berdiri, masih berusaha tersenyum. Menaikkan selimut yang menutupi tubuh itu lebih tinggi. "Saya pamit Mas, terima kasih dan maafkan saya."

Saat dia datang aku tak bisa memiliki persiapan apa-apa karena itu terlalu tak terduga. Dan ketika aku harus pergi, aku masih tak punya apa-apa karena aku tak pernah sempat membayangkan perpisahan ini akan benar-benar ada.

Aku meninggalkannya, tapi aku tak akan melupakan semua janjiku pada Alden.

Kututup pintu ruangan itu dengan tanganku yang semakin ringkih, penuh kehampaan.

"Kamua baik-baik saja?" Tante Rianti menyambutku penuh kekhawatiran.

"Saya akan baik-baik saja jika tetap bersama Alden, apa boleh?" Pintaku tak tahu malu.

Dia menggeleng.

Aku diam.

Tante Rianti menghela napas.

"Saya akan menepati janji saya." Ucapku pada akhirnya.

Lalu kuraih tasku yang tergeletak di lantai, meraih sesuatu dari dalamnya. Ponsel Nadhen yang dititipkan padaku semalam juga kunci mobilnya yang kuparkirkan di pelataran rumah sakit. Kuangsurkan benda itu pada tangan Tante Rianti.

"Saya sudah menghapus semua hal tentang saya. Saya akan pergi sejauh yang saya bisa..." air mataku menetes lagi dan lagi. "Maafkan saya ya Tante."

Tante Rianti membawaku ke dalam pelukannya tanpa kata. Kali ini tangisku baru benar-benar pecah, semua membuncah namun rasanya tak kunjung melepaskan sesak yang ada. Tangisku tak pernah cukup.

"Maafkan saya Tante, tolong maafkan saya..." Aku terisak-isak.

Perlu berapa kali kutanyakan pada Tuhan, kenapa jalanku dan Alden seperti ini. Perlu berapa kali aku meminta tolong dan meminta maaf agar semuanya baik-baik saja.

"Tolong saya, maafkan saya..."

Tangan Tante Rianti mengusap punggungku lembut. "Tidak Alda, kamu punya dan bisa melakukan segalanya dan ini bukan salah siapapun."

Tante Rianti salah, aku tak punya apapun. Namun, apakah iya ini bukan salah siapapun.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang