Step 30 : Candle Light Dinner

94 18 0
                                    

Sepulang dari rumah sakit aku berdiam diri di apartemen, tertidur sendiri karena terlalu lelah dan bangun ketika mendengar alarm. Sejenak aku terdiam, tak langsung mematikannya dan justru menatap layar ponselku lamat-lamat.

Dinner with Mas Alden

Pelan-pelan aku berusaha menguatkan diri untuk bangun dari tempat tidur. Mandi dan mempersiapkan diri dan kembali memakai semua pakaian yang kukenakan saat menemani pria itu ke gereja di malam natal. Menyapukan make-up tipis ke wajah dan membentuk ramput panjangku menjadi sebuah gelungan sederhana.

Setelah semua siap dan kuputuskan turun ke lantai bawah setelah memesan taksi online. Menapaki lantai dan masuk ke dalam mobil.

Alden sebelumnya berpesan untuk menghemat waktu aku diminta datang sendiri, katanya dia punya kejutan lain untukku. Aku mengikuti apa yang dia minta.

Aku sendiri, benar-benar sendirian. Memasuki gedung pencakar langit tempat restauran itu berada di lantai 67 lalu seorang pegawai mendekati dan menyambutku.

"Ada yang bisa saya bantu Ibu?" Perempuan itu bertanya ramah padaku.

Aku mengangguk, "reservasi atas nama bapak Alden."

Dia menunduk untuk mengecek sesuatu di dalam tabletnya. Tampak mengangguk satu kali kemudian menatapku lagi. "Dengan ibu Alda?"

Satu kali lagi aku mengangguk.

Dia mengangsurkan satu tangannya menunjukan jalan. "Silahkah ibu mari ikut dengan saya ke lantai 68."

Aku mengikuti langkahnya, masuk lebih dalam ke restauran itu. Menapaki tangga dan sampai pada meja dengan dua kursi saling berhadapan.
Aku duduk pada kursiku.

"Pak Alden sudah memesan makanan saat reservasi, sementara sedang kami siapkan. Ibu ingin makanan dikeluarkan saat pak Alden datang atau sekarang?"

"Tolong sekarang saja."

"Baik, mohon untuk menunggu sebentar Ibu. Terima kasih."

Lagi aku mengangguk. "Terima kasih."

Perempuan itu kemudian berlalu.

Lalu aku bingung harus melakukan hal apa lagi. Aku menatap meja marmer yang cantik itu, lalu beralih pada arsitekstur restauran yang begitu menakjubkan. Hampir semua meja di tempat ini penuh, ada sebuah keluarga yang duduk melingkar di meja bundar, dan kebanyakan adalah pasangan dengan pakaian rapih menikmati makan malam romantis.

"Silahkan menikmati appetizer kami ibu." Seorang waitress meletakan dua makanan pembukan di masing-masing sisi.

Aku diam, hanya mengucapkan terima kasih setiap makanan satu persatu datang, hingga dessert yang datang.

Berkali-kali juga berdoa dan berharap di dalam hati agar Alden datang. Tapi semua itu mustahil, Alden masih terbaring lemah di rumah sakit dan aku sudah tak punya kesempatan untuk menemuinya.

Aku sangat merindukan pria itu, aku benar-benar berharap bisa menemaninya di saat tersulitnya kini. Aku ingin menggenggam tangannya erat agar dia tak dingin, aku ingin memeluknya hangat agar dia nyaman. Aku ingin membantunya agar tak terlalu kesakitan, tapi aku tak tahu bagaimana caranya.

Kutatap Jakarta malam dari lantai 68 ini, begitu indah, namun tak bisa kunikmati. Lalu beralih menatap makanan lain di sisi sebrangku, seharusnya Alden duduk disana.

Dadaku sesak, benar-benar sesak. Entah sampai kapan aku akan merasakan ini.

Sudah sejak lama Alden ingin membawaku makan malam disini, namun dia tak pernah punya cukup waktu atau aku yang tak punya kesempatan. Dan sebagai gantinya kami akan makan di balkon apartemenku. Di tanggal ini, melihat meja-meja yang terisi aku tahu seniat apa dia menyiapkan ini untukku. Sebuah tart dengan toping buat yang manis, sebuket besar bunga mawar putih dan meja di sisi tersudut restauran.

Kini kupertanyaan kemanusianku untuk Alden, aku bukan perempuan baik yang meninggalkan prianya di saat terburuk.

Aku menatap 5 potongan daging yang ada pada masing-masing piring milikku dan satunya lagi seharusnya milik Alden. Henshin wagyu, sudah lama pria itu mengatakan bahwa ingin mencobanya bersamaku.

"Saya sudah duduk disini, kenapa kamu tidak datang?" Aku berucap pada diriku sendiri, tak akan ada yang menjawab.

Kutatap makanan itu satu persatu, lalu cahaya lilin memantul pada sebuah benda di atas kue tart. Pandanganku meneliti, lalu pelan-pekan meraih benda itu. Leherku kian sakit. Sebuah cincin yang kemudian kusematkan di jari manisku, terasa pas dan cantik sekali.

Apakah Alden berniat melamarku. Aku ingin bertanya pada pria itu, tapi aku tak lagi punya kesempatan.

"Mas ayo kita menikah..." bibirku keluh.

Aku memukul dadaku keras-keras berharap beban yang menghimpit disana hilang, namun semuanya percuma. Dia masih ada disana, seakan menakanku agar lekas mati.

Satu siakan lolos, bersama isakan-isakan lainnya. Mengangkup wajah pada telapak tanganku, tangisku pecah.

Sekali lagi kutanya pada diriku sendiri haruskan aku mengingkari janjiku pada tante Rianti. Kembali mendatangi Alden dan memeluknya erat-erat.

Aku terisak-isak menangisi hal yang kurasa sia-sia. Aku malu menangis di tempat umum, namun aku tak sanggup berhenti. Terpaksa mengabaikan tatapan mereka semua dan menahan suara isakanku lebih kecil. Mereka pasti berpikir aku menangis sebab dicampakkan  di sebuah meja makan penuh lilin. Lalu kudengar bisik-bisik mengasihani. Ada sebuah suara yang mengatakan aku menyedihkan. Ada seseorang yang berbicara dengan orang di dekatnya pria seperti apa yang mencampakanku.

Kurasakan seseorang mendekat, lalu dia bertanya kepadaku. "Ada yang bisa saya bantu Ibu?"

Jika kuminta dia mendatangakan Alden kesini apakah dia bisa.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Dipublish di Brebes (Jatibarang) Kamis, 29 Juli 2021.

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang