Masih di hari yang sendu. Kami berdiri di depan kedai kopi tepi jalan pantura, gelas kopi di masing-masing tangan kanan. Tatapanku dan Alden terpaku pada menara berlonceng milik gereja yang berada tak jauh. Tempat ibadah umat katolik dekat perpustakaan kabupaten.
"Mau berdoa disana?" Kataku memecah diamnya.
Aku tahu setaat apa dia, dia juga tahu setaat apa aku. Saling mengantar ke tempat ibadah masing-masing lebih dari sering untuk kami lakukan.
Dia menoleh ke arahku. "Boleh."
Aku mengangguk.
Langkah kami teriring, melangkah semakin dekat ke pintu gereja. Aku memilih duduk si ayunan di halaman gereja, sembari menatap punggung kokohnya hingga hilang di balik pintu kayu gereja.
Kutatap tanda salib di atas pintu megah yang tadi menelan tubuh pria itu. Tanganku bergerak pula menyentuh ujung pashmina yang menjuntai. Dua hal yang seharusnya mengingatkan kami akan perbedaan ini. Doaku dengan tangan menengadah sedang tangannya menggenggam. Masjid dan Gereja adalah dua tempat yang berlawanan.
Kurasa ini saatnya. Tante Rianti dan Ayah benar, kami butuh waktu. Kami butuh waktu untuk berpikir, tapi bukan berarti mereka membiarkan, lalu aku dan Alden menjadi lupa waktu. Kami sudah cukup dewasa untuk mampu mengesampingkan ego. Caranya bukan dengan saling mengalah dan memaksakan keyakinan masing-masing, tapi menyudahi hal yang sia-sia.
Cukup lama aku memandangi salib di atas pintu gereja. Lalu menyadari tampak senyuman pria yang berjalan keluar dari dalam. Dia ikut duduk di sampingku. Senyumannya membuat wajah itu sama bersinarnya dengan lambang representasi itu.
Aku tersenyum membalas senyumannya, semakin lebar saat kurasakan tanganku digenggamnya erat. Namun aku kembali membiarkan diam melingkupi sekeliling, aku masih ingin terus memperhatikan salib itu juga bangunan dengan arsitektur indah di depan mata.
"Ini hanya tentang cara kita menyembahNya yang berbeda." Ucapnya membuatku menoleh menatapnya.
Aku tersenyum seolah yang dia ucapkan sama seperti yang ada di pikiranku.
Tuhan, jikapun bisa ingin aku berpikir demikian, sangat.
Aku ingin mempertegas bahwa yang berbeda dari kami hanyalah cara menyembah-Nya. Tapi beribu sesal, di dalam kepercayaanku tak demikian. Aku diajarkan bertoleransi, tapi tak begitu.
Yang ingin kuyakini seperti itu, tapi aku akan berdosa. Sama seperti aku yakin dengan kamu. Ingin sekali kusuarakan itu pada laki-laki di sampingku.
"Alda..." mata kami lurus.
"Ya?"
"Saya mencintai kamu,..." Dia masih menatapku, dengan tatapan yang menjelaskan seluruh perasaannya padaku, mengecup lembut punggung tanganku.
Bukan lagi sekali aku mengangguk, berkali-kali diikuti air mataku yang berjatuhan.
Lagi aku juga ingin menjerit. Bahkan setelah Tuhan yang paling kucintai adalah kamu, bukan Bapak apalagi Ibuku.
Aku hanya bisa semakin membisu saat dia membawaku ke pelukannya. "Jika kehidupan selanjutnya ada dan kita terlahir kembali. Saya pastikan kamu akan selalu menjadi milik saya."
Air mataku semakin deras, tangisku tak tertahan lagi. Aku menderu pilu.
Kugenggam kain kemejanya erat-erat, tak ingin pelukan ini lepas.
Tuhan yang aku inginkan hanya bersama dengannya, bahkan jika seluruh yang kumilikki harus kulepas aku ingin dia selalu bersamaku. Aku selalu ingin pria yang kini memelukku.
Mengapa sesial ini. Genggamanku terlalu alot untuk melepas semua yang kupunya, tapi dipaksa tak kuasa untuk menggenggam tangannya agar terus di sisiku.
"Saya mencintai kamu, bisakah kamu selalu bersama saya?" Dia bertanya, entah pada dirinya sendiri atau padaku.
Aku ingin, lebih dari ingin.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
RomanceTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...