Hari rasanya berjalan begitu lambat, tak pernah kurasakan selambat ini. Kukira esok adalah hari keberangakatanku pergi, tapi tak selama itu.
"Sudah tiga hari kamu pulang ke rumah dan hanya diam saja di kamar." Keheningan milikku dipecah Ibu.
Pegas di sisi lain tepi ranjangku tertekan, Ibu duduk di ba1lik punggungku. Aku beranjak dari posisi berbaringku, duduk di samping perempuan itu. Menggantungkan kakiku dan menjaga jarak darinya.
Air mataku tak lagi deras, namun masih tetap menetes. Kuusap ujung mataku, menghapus dua tetes yang baru saja keluar. Duduk tegap, menumpuk tangan di atas paha.
Kudengar hela napasnya.
Aku diam, bekas gigitanku pada bibir kini berubah menjadi sariawan terasa perih-ngilu.
"Mau sampai kapan kamu begini?"
Aku menunduk, benar-benar tak tahu apa yang harus kukatakan sebagai jawaban. Aku bahkan tak mampu sekedang mengucapkan kata dalem.
Lagi Ibu menghela, aku menunggu bentakannya.
Dia lalu bangun dari duduknya, kulihat kakinya melangkah di atas lantai kamar.
Cahaya matahari masuk melalui celah kaca jendela yang terbuka. Terdengar suara kontrol AC, lalu langkah kaki Ibu yang mendekat.
"Hadap ke jendela." Titahnya.
Kuturuti, aku memunggungginya.
Tangan Ibu bergerak mengusap rambutku. Dia menyisir halus rambut panjangku dengan lembut. Aku bisa merasakan wangi dry shampoo yang dia semprotkan.
Ingatanku muncul ketika masih duduk di sekolah dasar. Ibu memang selalu menyiapkan perlengkapanku hingga aku duduk di tahun kedua SMP meski aku bisa melakukannya sendiri. Saat SD dia selalu mengikatkan rambutku dengan rapih, sesuai keinginannya, meski dia terlambat. Ibu tak membiarkanku melakukannya sendiri, dia selalu ingin aku lebih dari rapih.
Aku tahu saat ini tangan Ibu bergerak mengepang rambutku.
"Tiga hari kamu hanya diam di kamar. Tidak makan, tidak mandi, hanya menangis dan membuang waktu tanpa melakukan apapun." Ujar Ibu.
Aku sedikit terkejut sebenarnya, Ibu berbicara tanpa nada tinggi. Aku merasa asing akan suara dengan frekuensi rendah itu, tapi aku merasakan ingatan masa kecilku kembali. Suara Ibu yang tak lembut tapi selalu mampu membuatku tahu.
"Kamu perlu menyelesaikan masalahnya Alda."
Aku menyusut hidungku, "semuanya sudah selesai Bu. Kami memang tidak bisa bersama."
"Lalu apa yang kamu tangisi?" Tanyanya.
Aku terdiam sejenak.
"Apa yang membuat kamu jadi selemah ini, kamu bukan Alda anak Ibu." Suaranya rendah penuh tekanan.
Hatiku tergelitik, Ibu salah. "Kali ini Alda-anak perempuan Ibu, kemarin bukan."
"Bukan,"
Aku benar-benar tak tahu maksud Ibu.
"Ibu masih bisa mengenali kamu kemarin, tapi tidak kali ini."
Aku tertunduk semakin dalam. "Alda pikir selama ini Ibu benar, semua yang Ibu ajarkan untuk Alda harusnya selalu Alda lakukan."
"Apa?"
"Menuruti semua perkataan Ibu."
Tak kudapatkan jawaban dari perempuan itu.
Ibu memasang karet di ujung rambutku sebagai pengikat kepang. Dia kembali bangun, berjalan ke arah meja rias di tepi jendela meletakkan sisir pada tempatnya kembali. Kembali melangkah mendekati pintu, tangan Ibu menyentuh gagang pintu.
"Bu..." panggilku.
Ibu terdiam di tempatnya, berdiri membelakangiku.
"Alda salah, maafkan Alda ya Bu?" Aku ingin menyuarakan maafku.
"Untuk apa?"
"Membuat kita jadi seperti ini."
"Ibu juga yang membuat hubungan kita jadi seperti ini."
"Alda,"
Aku diam, menunggu kelanjutannya.
"Ibu pun bisa salah. Maafkan Ibu Alda."
Aku bangun, mendekati ibu dan memeluknya. "Bu, bagaimana caranya kami tetao bersama tanoa menyakiti siapapun?" Aku mengadu padahal tahu Ibu pun tak tahu bagaimana.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dipublish di Brebes (Jatibarang) Kamis, 29 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
RomanceTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...