Ketika aku selesai bersiap dan keluar dari kamar Alfa menyambutku. Kami sama-sama dibalut jaket hitam, aku dengan celana olahraga panjang semetara dia dengan dengan celana olahraga di atas lutut.
"Kita naik apa?" Tanyaku pada Alfa.
"Ngga usah manja, jalan kaki." Jawabnya galak.
Aku mendelik, mencubit lengannya membuat dia mengaduh.
"Sakit Mbak!"
"Ngomong yang bener yah, mana ada aku manja." Dia membuatku jengkel.
"Iya Mbak Alda, maaf..." dia mencubit pipiku.
Terkadang Alfa memang sejail itu, dia juga menjengkelkan. Kurasa hal itu wajar, seperti aku yang sering memerintahnya.
Baru aku berbalik hendak menuju ke halaman belakang rumah, lenganku ditahan seseorang. Aku menatap Alfa dengan tanya.
"Mau kemana?"
"Mau izin ke Ibu dan Bapak."
Alfa lebih dulu menarik jaketku keluar rumah, aku tersaruk-saruk mengikuti kaki panjangnya. Dia menutup pintu besar rumah penuh ke hati-hatian, menghentikanku di teras.
"Kenapa?" Tanya benar-benat tak mengerti akan tingkah anehnya.
"Ibu memang sudah berubah, tapi kalau tahu kita keluar malam begini sudah pasti tetap dilarang Mbak." Jawabnya berbisik-bisik.
Aku mengangguk mengerti.
Alfa melangkah lebih dulu, aku mengikuti langkahnya sembari menunduk untuk memasang sandal dengan pas. Ternyata aku salah, dia menunggu di pinggir teras.
Berjalan mendekati bocah itu, menatap tangan kanannya yang terulur padaku. Sekian waktu aku diam, aku tak tahu apa yang Alfa maksud.
"Pegang tanganku Mbak."
Aku tersenyum, setelah diberi tahu baru aku tahu maksudnya
Alfa menggandeng lenganku hangat, langkahnya kali ini lebih santai menyamai langkahku. Tanganku juga kini terasa hangat dalam genggamannya. Dan seketika aku ingat dengan Alden, bukan oleh gandengan tangan Alfa melainkan lorong jalan yang kini kami lalui untuk sampai ke kedai kopi di lampu merah.
Hari dimana aku dan Alden datang ke Brebes dengan niatan pria itu menyapa Ibu dan Bapak. Namun, Ibu menolaknya, menamparku berkali-kali hingga sudut bibirku berdarah. Aku melihat kekecewaan di wajah Alden, meski disembunyikan tapi aku tahu. Dia menyembunyikannya dan justru sibuk menenangkanku, mengecup bibirku dan menghilangkan rasa sakit yang Ibu sebabkan.
"Kalau diminta memilih, Mbak akan pilih dia atau Alfa?" Dia masih berusaha meminta jawabanku.
"Mbak akan pilih kamu," aku menjawab pertanyaan Alfa yang membuyarkan pikiranku tentang Alden.
"Kenapa bukan dia Mbak?"
"Dia bukan siapa-siapa Mbak lagi."
Dia berdecak, "aku penasaran sehebat apa dia Mbak, sampai bisa mendapatkan cinta Mbak Alda."
"Dia sangat hebat, lebih dari kamu mungkin." Aku menyombong.
Melihat Alfa yang kejengkelan terasa menyenangkan.
"Aku taruna,"
Satu tanganku yang lain mencubit lengannya lagi, "jangan sombong."
"Iya Mbak Maaf," sesalnya. "Apa pekerjaannya."
"Dia polisi, bisa dibilang dia seniormu. Dinas di Polda Metro Jaya."
"Oh..." kali ini dia tak bersuara. "Dia pintar mbak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
RomansTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...