Tahun ketiga bukannya semakin tak erat karena menyadari perbedaan yang ada, kami justru menemukan semakin banyak alasan untuk terus bertahan.
Libur peringatan hari buruh ketika Alden mengajakku mendatangi kediaman keluarganya di Yogyakarta. Kampung halamannya, kota dimana dia dibesarkan dan kedua orang tuanya berasal.
Libur dan memberanikan diri, kami datang ke sana bersama. Alden senantiasa mengandeng tanganku erat, merangkulku nyaman. Aku cukup gugup, takut tapi ratusan kali pria itu menyakinkanku bahwa tak ada yang perlu ditakutkan.
"Percaya saya, Mama adalah ibu paling lembut dan ramah yang pernah ada." Dia mengecup punggung tanganku saat baru beberapa waktu pesawat landing.
Ketika sampai dan bertemu wanita itu, Alden benar, tak pernah ada kata-katanya yang berbohong. Tante Rianti adalah gambaran seorang Ibu yang ingin dimiliki anak di seluruh dunia, dia cantik dengan rambut bobnya juga gaun batiknya. Om Roy juga bukan bapak-bapak galak yang suka menatap tak suka pada orang asing yang datang ke rumahnya.
Disana aku juga bertemu kakak perempuan Alden bernama Mbak Grace dan kakak laki-lakinya bernama Mas Brian. Masing-masing sudah menikah dan memiliki seorang anak yang lucu. Jika melihat Alden dalam kesehariannya tak akan menyangka jika dia anak bungsu.
Semua kehangatan mendadak normal krmbali ketika hanya aku dan Tante Rianti yang ada di dapur sekembalinya aku menunaikan kewajibanku pada Tuhan.
Tante Rianti mengajakku duduk di kursi meja makan yang nampaknya menjadi sentral rumah ini. Dia menyajikan dua cangkir teh berwarna merah. Sementara itu, yang lain berada di balik dinding kaca pembatas dapur dan taman belakang.
Aku meraih cangkir teh, ketika dia memintaku meminumnya saat kami telah duduk nyaman. Aku menghirup aromanya lebih dulu, lalu menyadari teh jenis apa.
"Ini teh Mawar, tante?" Tanyaku
Dia tersenyum, "teh mawar, tante buat dari mawar yang tante tanam sendiri." Dia memberitahuku nampak dengan senang. "Coba rasakan Alda."
Tante Rianti adalah pencinta ritual minum teh, Alden memberitahuku. Aku melihat banyak cangkir teh dan teko beraneka bentuk yang menghiasi lemari kaca. Dia juga nampak begitu bersemangat ketika membuka bingkisan kecil dariku yang berisi seperangkat poci teh khas Slawi. Tanpa ragu memajangnnya di salah satu sisi kosong lemari kacanya.
"Rasanya segar, ada sedikit asam dan manis yang..." setelah menyesapnya pelan aku merasakan perasan lemon dan rasa manis yang sedikit asing. "Ini bukan dari gula pasir dan gula batu."
"Iya Alda, tante pakai air tebu langsung." Curahnya. "Kamu juga suka minum teh?" Tanyanya.
"Cukup suka," Jawabku, aku sebenarnya cukup bingung cara menjelaskannya.
"Sebesar apa?"
Aku meringis, "Sebenarnya saya suka semua jenis teh, tapi sekarang saya minum teh karena perlu."
"Teh Chamomile?" Kulihat wajah tante Rianti tampak mengerti.
Aku tersenyum dan mengangguk. "Sekarang dia favorit saya."
Aku sebenarnya cukup suka dengan teh, bingkisanku untuk tante Rianti sebenarnya adalah salah satu perangkat minum teh yang beberapa bulan lalu kubeli dan hanya kusimpan srbab sayang.
"Alden juga begitu," ucapnya.
Aku menunggu Tante Rianti melanjutkan kalimatnya.
"Dia suka Chamomile, setelah saya beritahu itu bisa membuat tidur nyenyak."
Aku mengerti alasan Alden juga menyukai teh Chamomile sepertiku. Jam kerja kami tak tentu, dan sering melawan arus kerja tubuh. Mengharapkan sesuatu yang lebih ringan dari efek obat adalah teh tidur.
"Alda sudah kenal berapa lama dengan Alden?" Tante Rianti kembali bertanya saat aku menuangakan kembali teh ke gelas kami.
"Sekitar tiga tahun Tante." Aku menjawab.
Dia mengangguk, tersenyum begitu lembut. "Alden sering bercerita tentang kalian. Bagaimana kalian bertemu, tapi boleh tante tahu lebih banyak tentang Alda?"
Aku mengangguk, senyum lembutnya begitu menular padaku.
"Di Jakarta Alda sendiri atau bersama orang tua?"
"Saya tinggal sendiri, Bapak dan Ibu tinggal di Brebes, Tante." Jawabku.
"Bapak dan Ibu kerja dimana?"
"Bapak bekerja di Dinas perhubungan, dan mengelolah pabrik kayu untuk produksi furnitur juga."
"Ibu bagaimana?"
"Ibu guru di SMA Negeri." Aku sedikit menelan ludah.
Aku berusaha terlihat baik-baik saja saat Ibu disinggung, meski setelah peristiwa itu hubungan kami tak baik-baik saja. Cukup sulit ketika membahas perihal Ibu.
Tante Rianti menyesap tehnya lagi, aku ikut melakukan hal yang sama.
"Lihat ke sana..." Dia menunjuk ke arah Alden yang tengah bermain dengan salah satu ponakan.
"Bagaimana Alden menurut kamu?"
Aku diam. Alden di mataku ya Alden.
"Hasil perbandingan yang kira-kira kamu dapatkan saat membandingkan Alden dengan laki-laki lain."
Kini aku mengerti maksud Tante Rianti. Jari-jariku bergerak mengusap cangkir teh yang ikut menghangat.
"Alden laki-laki pertama yang datang ke hidup saya. Jadi kalau diminta membandingkan saya tidak tahu, Tante..." Aku menggeleng pelan. "Tapi, jika diminta menilai Alden, terlalu banyak hal yang saya sukai dari dia."
"Misalnya?" Tante Rianti menatapku penuh perhatian.
"Dia baik, kepada siapapun. Dia pendengar yang baik, dia laki-laki terbaik yang pernah saya kenal."
Kudengar tawanya. "Kamu mencintai Alden?"
Aku mengangguk,"sangat, saya sangat mencintai dia." Mataku melirik ke arah pria itu. "Saya terlihat murahan ya Tante?"
Tante Rianti menggeleng. "Cinta itu murni, tidak pantas seseorang yang punya cinta lantas dianggap murahan."
"Saya sangat mencintai Alden." Ucapku pelan.
"Alden tahu?"
Sejenak aku terdiam. "Alden tahu saya mencintai dia, tapi dia tidak tahu bahwa saya sangat mencintai dia."
"Itu takaran perasaan kamu Alda, tapi tante mau kamu tahu bahwa Alden juga sangat-sangat mencintai kamu." Ujarnya.
Lagi aku terdiam.
"Kamu mencintai Alden. Alden mencintai kamu. Kalian saling mencintai." Ucapnya memahami.
Kurasakan telapak tangan Tante Rianti menyentuh punggung tanganku. Aku menatap dia yang juga menatapku dengan senyum lembutnya.
"Tante tahu ini terlalu awal untuk kalian memutuskan, tapi tante harap pilihan apapun yang kalian ambil nanti tidak akan menyakiti siapapun." Dia berusaha tak berucap kasar dan menyakiti perasaanku. "Tante tahu kalian sudah dewasa, jadi jangan pernah berpikir untuk saling membesarkan ego masing-masing."
Alden memang benar, Tante Rianti adalah sosok yang sangat baik. Dia adalah Ibu yang diharapkan seluruh anak di dunia. Dia juga sangat baik memperlakukanku. Terasa menyenangkan saat mengobrol bersamanya.
Dekat, aku dan Tante Rianti semakin dekat. Tapi aku dan Alden semakin tak tahu jalur yang dipilih agar selalu beriringan walaupun tak satu tujuan.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dipublish di Brebes (Jatibarang) Rabu, 28 Juli 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
Любовные романыTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...