Rumah terasa ramai, semua keluarga berkumpul. Kakak sulungku-- Mbak Sekar pulang dari Qatar bersama suaminya Mas Aryo dan putra mereka untuk Liburan. Mas Damar pun ada bersama Mbak Naya yang tengah mengandung anak kedua mereka. Sementara itu yang terakhir sampai adalah Mas Wira dan Mbak Lita yang datang langsung dari Papua. Dan Alfa sudah di rumah sejak beberapa hari lalu, bahkan dia yang mengangkatku untuk ke rumah sakit.
Sebenarnya ini bukan kumpul keluarga dalam rangka tahun baru. Lebih tepatnya adalah untuk perayaan jelang keberangkatanku ke US untuk melanjutkan kuliah dan mengambil spesialis keperawatan forensik. Hal yang sama seperti saat Mbak Sekar, Mas Damar sebelum mereka melanjutkan S2 ke Australia. Namun, saat Mas Wira akan berangkat ke Jepang aku tak hadir, hanya bisa mengucapkan doaku lewat panggilan.
Aku tahu Mbak Sekar dan Mas Wira terkejut melihat interaksiku dengan Ibu yang kini terkesan normal. Sementara Mas Damar mungkin sudah tahu melalui Alfa, informan sekaligus orang terpercaya yang sudha ada lebih dulu di rumah ini. Aku dan Ibu sudah baik-baik saja.
Ingin menjadi tuan rumah perayaan yang baik aku bahkan menyiapkan semuanya sendiri. Memasak makanan sendiri hanya dengan sedikit bantuan Ibu dan Bi Las. Mencegah Mbak Sekar, kedua kakak iparku Mbak Lita dan Mbak Naya untuk membantu. Aku ingin mereka menjadi tamu seutuhnya, biarkan aku yang menyiapkan.
"Jaga diri di sana, jangan lupa selalu kasih kabar untuk kita." Pesan Mbak Sekar.
"Hati-hati, kasih tahu Mas kalau kamu butuh sesuatu dan ada sesuatu. Sebisa Mas akan susul kamu kesana."
Aku mengangguk dalam pelukan Mas Damar.
"Jangan buat kita khawatir. Jangan lupa makan---"
"Jangan lupa minum, jangan lupa mandi, jangan lupa cek hp, jangan lupa tidur." Aku menyela kalimat Mas Wira dan mengundang tawa semua orang.
Aku tertawa dalam pelukkan Mas Wira.
Acara inti telah selesai hanya tersisa acara sisa. Berkumpul untuk duduk bersama di halaman belakang seraya menikmati cemilan ringan. Tapi, aku pamit untuk kembali ke kamarku usai membuatkan dan mengantarkan teh untuk dinikmati mereka.
Kembali masuk ke kamarku, membuka jendela dan duduk di kusennya. Aku menikmati pemandangan langit, jika biasanya kulakukan bersama Alden di balkon apartemen, kali ini aku sendiri disini. Tak akan ada lagi melihat keramaian jalan raya di komplek Monas atau menikmati hamparan laut dan ombak di Ancol.
Aku menatap langit, berharap Tuhan mengabulkan doa-doa baik yang kupanjatkan ke atas langit. Membiarkan angin malam meniup-niup wajahku dan kurasakan dingin.
Sesekali terdengar sirine ambulan yang mengingatkanku akan pria itu, kali pertama kami bertemu saat aku menolong seorang korban luka dan dia turut membantuku. Suara kereta api yang pernah membawaku dan Alden dari Jakarta-Brebes dan kembali ke Jakarta dengan kekecewaan.
Kudengar seseorang mengetuk pintu disusul suara, "Mbak boleh aku masuk?"
Aku menengok ke arah pintu, menemukan kepala Alfa menyembul dari balik pintu. Aku tersenyum pada si bungsu dan mengangguk.
"Kenapa belum tidur Mbak,"
"Belum ngantuk," jawabku.
Dia menarik kursi meja rias untuk duduk di balik jendela samping. Pandanganku kembali pada langit, seraya memeluk lutut dan menumpu wajah.
"Apa yang Mbak lihat disana?" Tanya Alfa.
"Langit malam yang hitam." Jawabku, tanganku terangkat, ingin menyentuh bintang tapi tak bisa. Rasanya sama-sama sulit kugapai seperti wajah Alden yang tak bisa lagi kusentuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Step With You (SELESAI)
RomanceTulisanku ini mengisahkan sebuah tahapan hidup yang pernah terlewati. Bagaimana kenangan terbentuk di dalamnya. Bagaimana hari-hari indah yang pernah ada. Bagaimana bisa hubungan berjalan pada kenyataanya. Bagaimana aku mencintai pria itu, dan bagai...