Step 23 : Diam.

109 16 0
                                    

Sore Natal, menjelang akhir tahun terakhirku bersama Alden.

Alden masih disini, bersamaku. Aku memeluknya erat, tak membiarkan dia pergi.
Aku bahkan melarangnnya untuk pergi makan malam dengan rekan-rekannya untuk merayakan keberhasilan tim mereka memecahkan kasus terbaru. Tak biasanya aku seposesif ini, memintanya memelukku kian erat alih-alih mengantarnya untuk pergi. Baru lepas ketika aku ingin meraih sebuah benda tebal di atas nakas televisi.

Sejenak kulepaskan pelukan kami, lalu kembali pada tempatku semula. Namun, lekas kembali kurasakan pelukan oleh lengan hangatnya membungkus tubuhku, tak sekali dia mengecup keningku.

Aku membuka lembar pertama album foto itu, menyentuh tinta timbul berwarna putih di sana. Menggoreskan setiap kata dari nama kami yang terasa magis.

Esmeralda Maurain
🖤
Aldeno Hakal Asmodjo

Tanganku bergerak sekali lagi, membuka lembar kedua. Halaman berisi foto diawal kami bersama. Aku menyentuh sudut foto yang diambil dengan buram.

"10 April." Kubaca pelan tanggal yang tertera disana.

"Sehari sebelumnya adalah ulang tahun kamu, dan saya terlambat." Jawabnya.

Aku mengangguk, "sekaligus ulang tahun saya yang pertama bersama kamu."

Dalam setiap lembar awal, tertera tahun disana tampak aku masih Alda yang begitu tak tersentuh dengan senyum kaku dan Alden tampak begitu hangat disana.

Duduk berdua di pantai Marina dengan latar senja, meski wajah kami gelap aku masih bisa melihat deretan gigi rapih Alden. Berdiri berdampingan di depan rumah sakit, dia dengan kaos hitam dan jeansnya. aku berbalut seragam kerja batik.

Membuka lembar selanjutnya dan kami menemukan foto yang tampak lebih hidup.

"Kamu berhasil membuat saya mau menunjukan diri saya." Kataku pelan.

Alden mengangguk, "ya saya berhasil dan saya beruntung."

Swafoto kami di dalam mobil, menikmati makan siang di tengah kemacetan.

Foto saling merangkul dengan basahan keringat di area GBK, usai lari sore. Kala itu menjelang dia menuju kenaikan pangkat.

Foto kami yang duduk di kursi masing-masing seraya menatap lekat tampak begitu romantis, diambil saat perayaan tiga tahun hubungan kami di sebuah restauran fine dining.

Foto ketika pertama kali aku datang ke rumah orang tuanya, tanganku menyentuh foto sebelumnya yang tercetak lebih besar dari foto lainnya. Situs Ratu Boko menjadi tempatnya, aku dan Alden masuk ke sebuah bagian yang nampak seperti pintu. Alden memeluk pinggangku dari belakang, menempelkan dagunya di atas kepalaku yang lebih pendek dan berada satu undakan lebih rendah.

Aku menatap lebih teliti ekspresi wajahku di dalam foto itu. Aku tertawa begitu lebar dan mataku menyipit nyaris hilang memeluk lengan Alden. Alden malakukan hal serupa, kami tertawa sama bahagianya.

"Coba katakan lagi lelucon yang kamu ucapkan disana." Pintaku tak benar-benar ingin.

Alden diam sesaat.

Aku menengok ke arah wajahnya yang menatapku lebih dulu.

Dia masih tak menanggapiku.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Saya mendadak lupa, sebentar saya coba untuk mengingat..." Jawabnya, alisnya nyaris menyatu. Dia menyentuh pelipisnya dengan jari, nampak kesakitan.

"Kamu baik-baik saja?" Aku mencemaskannya. "Kamu perlu sesuatu Mas?"

Dia mengangguk. "Saya butuh cinta dari kamu."

A Step With You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang