Bagian 41

853 144 8
                                    

BAGIAN 41 It’s Not A Secret

Jelas, adegan penculikan ini membuat Xiao Zhan terpana untuk beberapa saat. Bagaimanapun, semua terlalu mendadak. Ia sedang berjalan menyusuri trotoar jalanan dengan pikiran kacau, tatapan mata kosong, dan langkah gontai. Tiba-tiba sebuah tangan menariknya masuk ke dalam mobil yang entah muncul dari mana. Setelah itu suara familier tiba-tiba menginterogasi dan menuduhnya mencari penyakit.

Pulih dari kebingungan, ia tidak merasa tertekan atau takut layaknya seseorang yang telah diculik, tetapi merasa kesal. Ada amarah kecil tersulut di hatinya oleh tindakan sembrono Wu Yifan ditambah sisa-sisa kekesalan dari obrolan bersama Liu Yifei.

“Apa yang kamu lakukan dengan menculikku?” dia bertanya dengan pandangan tak lepas dari sosok yang sedang menyetir. Matanya membara seperti siap membakar orang itu.

Melihat reaksinya, Wu Yifan tidak bisa tidak terhibur. Tertawa nyaring sampai mata menyipit dan kepala bergerak naik-turun. Sangat jarang baginya merasa begitu bahagia hanya karena reaksi konyol seseorang yang bahkan baru dikenal beberapa minggu. Biasanya ia hanya tertarik pada hal-hal berbau pemaksaan, ketika bermain atau balapan liar dengan teman-temannya, mereka akan membuat taruhan besar. Tidak peduli apakah itu merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi orang lain atau tidak.

Pernah suatu kali, ia balapan mobil dengan salah satu pesaingnya di komunitas. Orang itu bukanlah seseorang yang berasal dari keluarga yang memiliki banyak uang serta kuasa seperti ayahnya, bahkan mobil yang dimiliki pun mampu dibeli setelah menabung beberapa tahun dalam kesulitan.

Mengetahui hal itu, Wu Yifan dengan sengaja meminta mobilnya sebagai taruhan. Jika orang itu menang, Wu Yifan akan memberi sebuah mobil padanya. Pun sebaliknya jika ia kalah, mobilnya menjadi milik Wu Yifan.

Dengan beragam provokasi, pada akhirnya orang itu menuruti pengaturan Wu Yifan. Mereka melakukan balapan liar yang disaksikan oleh sebagian besar anggota komunitas dan sebagian besar lainnya orang-orang generasi kedua kaya yang merupakan lingkup pergaulan Wu Yifan.

Hasil pertandingan jelas kemenangan di pihak Wu Yifan, ia tidak ragu untuk mengambil alih mobil orang itu. Sekalipun mengetahui kesulitannya. Namun, orang itu tidak ingin menyerah dan mulai mengungkapkan kelicikan yang dilakukan Wu Yifan. Ya, memang benar jika Tuan Muda Wu itu melakukan cara licik.

Namun, kesombongannya tidak bisa diremehkan. Meski omongan orang itu 99% adalah kebenaran tak banyak yang percaya. Bagaimanapun, uang dan kedudukan jauh lebih benar. Wu Yifan puas dengan persepsi orang-orang di sekitarnya.

Pada akhirnya, dengan kemurahan hati Tuan Muda Wu, ia tidak mengambil mobil orang itu. Melainkan mengambil kebebasannya dan menjadikan orang itu sebagai pesuruh.

Menyaksikan keputusasaan orang lain, bagaimana mereka bergantung padanya, dan cara mereka memperlakukan diri sebagai seorang budak, merupakan kesenangan Wu Yifan. Ia akan dengan senang hati tertawa terbahak-bahak di atas penghinaan orang lain.

Namun, Xiao Zhan adalah pengecualian, ia bisa tertawa hanya dengan melihat ekspresi kesal di wajah laki-laki itu. Cukup puas sekadar mengganggu dan menggodanya. Wu Yifan melirik ke samping, pada saat ini wajah Xiao Zhan diselimuti kemerahan. Entah karena marah atau efek kedinginan. Tampak lucu, menambah kesan manis, dan seksi.

Selesai tertawa, mulai menjelaskan maksudnya. “Aku membawamu untuk mengambil mobilmu. Kamu tidak lupa, ‘kan?”

“Tentu saja,” jawab Xiao Zhan otomatis. Menoleh ke samping untuk menyembunyikan wajah. Tentu saja dia lupa. Karena terlalu bahagia dengan kehidupan kecilnya di apartemen, bagaimana Wang Yibo berlaku sangat lembut dan baik, menjaga selama ia sakit. Ia sampai melupakan salah satu harta berharga dalam hidupnya. Memalukan.

“Tapi kamu tidak harus menculikku, ‘kan? Kamu bisa meminta dengan baik-baik.”

Xiao Zhan masih kesal. Tidak mudah mengubah perasaan hanya karena satu kebaikan.

Wu Yifan menghela napas panjang. Terdengar pasrah dan putus asa. “Aku sudah meminta dengan baik, tapi kamu tidak menggubris. Beberapa pesan juga sudah kukirim.”

Itu benar. Wu Yifan sudah mengirim pesan sejak pagi pada Xiao Zhan bahwa ia akan membawanya mengambil mobil, tetapi tak ada satu pun balasan. Lalu, memutuskan untuk berkendara menuju tempat terakhir mereka berpisah ketika menurunkan Xiao Zhan. Secara kebetulan melihat siluet tak asing keluar dari restoran hotpot, tentu tidak akan disia-siakan. Mobilnya bergerak maju dan pelan-pelan membuntuti di samping Xiao Zhan.

Beberapa kali memanggil namanya, tetapi orang itu tak menghiraukan sama sekali seolah mobil yang melaju pelan mengikuti langkahnya hanya bayangan. Jika seperti itu, apa yang bisa dilakukan Wu Yifan selain menghentikan mobil, membuka pintu penumpang, dan menarik sosok itu dari dalam mobil? Cara itu yang terbaik, bukan?

Xiao Zhan mendengarkan dengan rasa malu. Sama sekali tak menyadari bahwa ada mobil di sampingnya, benar-benar tenggelam dalam pemikiran sendiri. Adapun suara yang memanggil, terdengar samar-samar, berpikir jika itu hanya ilusi.

Dia mengedarkan pandangan ke luar jendela. Melihat sisi jalan yang dipenuhi pohon-pohon botak, ada satu dua tumpukan salju di ujung ranting coklat tua. Sepanjang jalan tampak lengang dan damai, tidak banyak kendaraan yang melintas di atas jalan.

Pada detik itu ia terkesiap, membelalakkan mata, dan menoleh ke arah Wu Yifan. Menyadari sesuatu yang salah terjadi. “Hei, ini bukan jalan di perkotaan. Kita mau ke mana?”

Lagi, Wu Yifan tertawa oleh reaksinya yang lamban. Mata yang semula terkulai mendadak besar, wajah menunjukkan kepanikan sesaat. Xiao Zhan sangat menggemaskan dalam benak Wu Yifan.

“Jangan bercanda, Yifan!” peringat Xiao Zhan. Meskipun hatinya gelisah, tetapi wajahnya sudah terkendali dan memperlihatkan ketenangan.

“Membawamu ke vila keluargaku. Ayah dan ibuku datang berkunjung untuk memastikan jika aku tidak mengacau, tentu saja kamu diperlukan sebagai pemberi bukti. Anggap saja sebagai bayaran atas bantuanku.”

Xiao Zhan menyipitkan mata, merasa kesal. “Kamu tidak ikhlas.” Mendengus dingin dan mengalihkan perhatian lagi pada pemandangan di luar.

Hari ini adalah hari terburuk dalam beberapa bulan terakhir di hidup Xiao Zhan. Dia baru sembuh, hanya keluar mencari makan, lalu bertemu seseorang yang membuat suasana hati hancur berantakan, di perjalanan mencari makanan lagi sebelum pulang ia diculik, dibawa paksa dan dimintai bayaran untuk sesuatu yang tidak dia minta.

Benar, ia tidak meminta bantuan Wu Yifan ketika ban mobilnya kempes di jalan, orang itu yang tiba-tiba muncul dan memaksakan bantuan.

“Aku ikhlas membantumu, hanya kamu,” Wu Yifan berkata tanpa kesombongan yang biasa ia perlihatkan di depan orang lain. Untuk Xiao Zhan ia bisa berubah. “Tapi, sebagai raja pemaksa, aku akan memaksamu untuk menemui orang tuaku bahkan jika tidak ada alasan logis.”

Bagi Wu Yifan, masalah ini bukan hanya tentang ayahnya yang merasa khawatir dia akan mengacau di tempat orang lain. Bisa saja dia mengabaikan seperti biasa, acuh tak acuh oleh kepentingan orang tua itu, tetapi ia memang berniat membawa Xiao Zhan ke hadapan ayahnya. Dia ingin mengatakan bahwa Xiao Zhan adalah seseorang yang berdiri di sampingnya, tidak ada yang boleh menggertak atau merugikannya.



.....


Wu Yifan ingin menunjukkan bahwa Xiao Zhan memiliki posisi tinggi dalam kehidupannya. Dia ingin orang lain tahu, ayah dan ibunya, lingkaran pertemanannya baik para tuan muda maupun orang-orang biasa. Ingin memamerkan Xiao Zhan tanpa persetujuan bahkan tanpa sepengetahuannya.

Itu adalah keegoisan Wu Yifan. Kepuasan sepihaknya.

Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, lebih dari setengah jam, mereka tiba di tempat tujuan. Villa keluarga Wu yang dibicarakan Wu Yifan terletak di pegunungan dengan pemandangan alam. Banyak pepohonan di sekitar, sayangnya di musim dingin seperti ini, kebanyakan tumbuhan tidak sehijau di musim semi atau musim panas. Sehingga aura suram terasa kental alih-alih bersahaja.

Namun, Xiao Zhan tidak terlalu menghiraukannya. Villa itu mewah dan besar dilihat dari luar, halaman luas dengan lapangan bola basket di samping, ada juga kolam kecil yang beku di depan.

Ketika turun dari mobil, seekor anjing jenis golden retriever berlari menyongsong mereka. Mendekat ke kaki Xiao Zhan dan menggosok-gosokkan kepala. Terlihat sangat imut. Xiao Zhan mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, berjongkok dan mengusap kepala anjing itu, bermain-mein sebentar. Dia menyukai binatang, terlepas dari jenisnya, kucing, anjing, kelinci, dan setiap binatang yang bisa berteman baik.

Anjing itu menggeliat, merasa senang karena memiliki teman bermain. Hanya sebentar, Wu Yifan mengangkat anjing itu dan menjauhkan dari Xiao Zhan. Menggenggam tangan Xiao Zhan memasuki rumah.

Golden retriever mengikuti di belakang, melangkah pelan seolah tengah bersembunyi, tetapi Wu Yifan menyadari setiap gerakannya. Menoleh ke belakang melihatnya dengan pandangan dingin, beberapa saat kemudian anjing itu pergi. Tak lagi mengikuti dan entah bersembunyi di pojokan mana, meringkuk karena rasa takut.

Villa itu berlantai tiga, ruangan dalamnya mewah dengan furnitur emas hampir di seluruh bagian, ada juga yang berwarna coklat kayu dari kayu jati kualitas terbaik.  Suasana yang tergambar tidak hangat, melainkan kosong, sepi, dan mati. Tidak ada rekam jejak tentang keluarga yang utuh, saling menyanyangi, dan merangkul seperti dalam benak Xiao Zhan.

Seorang laki-laki paruh baya, Direktur Wu, duduk di salah satu sofa tunggal dengan kepala menunduk membaca koran. Di atas meja di depannya terdapat gelas teh, teko kecil, dan camilan ringan khas musim dingin.

“Aku datang,” seru Wu Yifan membawa Xiao Zhan ke hadapan ayahnya.

Merasakan keberadaan orang lain, Direktur Wu mengangkat kepala, melihat pada putranya sebelum menyadari pihak asing. Ia melayangkan tatapan tanya pada Xiao Zhan sebelum mengingat sesuatu.

“Ah, Anda adalah asisten pribadi Tuan Wang.” Suaranya tegas. Meski telah berumur lebih dari lima puluh, Direktur Wu masih tampak kuat, punggungnya tegap, berkarisma, dan dapat diandalkan. Tipikal seorang pemimpin.

Xiao Zhan selalu mengagumi sosok seperti ini. Mengingatkannya pada gambaran seorang ayah dalam benak. Ia juga sering mengingat tentang karakter bijak ayahnya di masa lalu, mampu mengayomi, dan sangat keras. Namun, dibalik semua kriteria itu dia adalah sosok ayah yang lembut dan menyanyangi dua putranya.

Ingatan tentang ayahnya membuat Xiao Zhan menumpukan penghormatan pada Direktur Wu. Menundukkan kepala dengan sopan dan menjawab, “Benar, Direktur. Saya Xiao Zhan. Senang bertemu denganmu.”

Mendengarnya begitu kaku, Direktur Wu tertawa ringan. “Jangan terlalu formal. Ini bukan kantor, tidak perlu memanggilku direktur.” Menyuruh Xiao Zhan untuk duduk.

Xiao Zhan mengangguk setuju, lalu duduk di sofa bersama Wu Yifan yang lengket. Sesekali Xiao Zhan akan menyenggol laki-laki itu untuk secara implisit menyuruhnya menjauh, tetapi Wu Yifan mendadak tidak peka seperti murid bodoh.

Memperhatikan sekeliling, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain di tempat tersebut, hanya suara bising dari dapur. Xiao Zhan berpikir jika nyonya rumah sedang memasak. Pada saat itu, Direktur Wu menutup koran di tangan, meletakkan di meja dan mengambil gelas tehnya. Memegang dengan elegan.

“Jadi, bagaimana dengan Yifan selama di perusahaan? Apa dia membuat kekacauan?” Direktur Wu bertanya setelah menyeruput teh.

Melirik ke arah sosok yang menjadi bahan pembicaraan, Xiao Zhan mendengus sebal di dalam hatinya. Orang itu tampak acuh tak acuh dengan jawaban yang akan dikatakan Xiao Zhan seolah sudah yakin jika jalan hidupnya akan baik-baik saja. Keyakinan yang patut dibanggakan. Karena Xiao Zhan memang tidak bisa mengatakan hal buruk meski sangat ingin.

“Tidak. Awalnya Yifan memang membuat masalah dengan datang terlambat, tapi setelah teguran Tuan Wang, perlahan mulai mempelajari hal-hal baik,” jawab Xiao Zhan tidak lupa menyanjung Wang Yibo.

“Ya, ya. Tuan Wang bisa diandalkan, saya tahu itu.” Direktur Wu memiliki pemahaman bahwa dia tidak salah mempercayakan putranya pada Wang Yibo. Sulit mengatur Wu Yifan, bahkan sebagai ayah, Direktur Wu menyerah untuk terus-menerus memperhatikan perkembangan putranya.

Berbeda dengan sikap menyanjung yang ditunjukkan oleh dua orang itu, wajah Wu Yifan muram, gelap, dan tidak sedap dipandang. Bagaimanapun, keseriusannya dalam melakukan pekerjaan tidak berkaitan dengan Wang Yibo. Dia bahkan tidak menyukai orang itu. Untuk apa menjadi lebih baik karena dia, tetapi tidak ingin menyanggah pembicaraan Xiao Zhan dan ayahnya. Hanya diam-diam melirik ke samping dari waktu ke waktu.

Pembicaraan semakin bergeser, dari pembahasan mengenai Wu Yifan menjadi pembahasan mengenai kebaikan Wang Yibo. Pada titik ini, secara ajaib perasaan tidak suka di hati Wu Yifan berubah ke titik benci. Yang membuatnya tentu saja Xiao Zhan.

Laki-laki itu bercerita tentang bagaimana Wang Yibo membantunya dari kesulitan ketika rumor buruk mengguncang Xiao Zhan. Wang Yibo yang tegas dan bijaksana. Wang Yibo begini, Wang Yibo begitu. Setiap kali Xiao Zhan menceritakan tentang laki-laki itu, wajahnya akan berseri-seri, antusias terdengar dari suaranya.

Semua itu menyebalkan. Perubahan suasana hati Wu Yifan tidak bisa disembunyikan, Direktur Wu merasakannya dengan sangat jelas. Sesekali melirik putranya, dia adalah satu-satunya orang yang tahu tentang tabiat keturunannya. Tak sulit bagi Direktur Wu untuk memahami perasaan Wu Yifan terhadap Xiao Zhan.

Sebagai orang tua normal seharusnya dia mencegah hal melenceng seperti ini terjadi, tetapi Direktur Wu berbeda. Dia acuh tak acuh, baginya selama Wu Yifan memiliki potensi sebagai pewaris yang andal, apa pun yang dilakukan bukan urusannya, tidak peduli benar atau salah.

Lagi pula, seperti yang dipaparkan, Direktur Wu tahu bagaimana tabiat putranya. Dia tidak mungkin benar-benar menyukai Xiao Zhan. Namun, jika ia benar-benar menyukai Xiao Zhan, dilarang pun tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik. Sebaliknya, hal buruk akan terjadi, buruk bagi Wu Yifan, buruk juga bagi Xiao Zhan, dan lebih buruk bagi seseorang yang menjadi penghalang.

Direktur Wu lebih suka mencari jalan aman.

Di tengah pembicaraan, seorang wanita tiba-tiba berteriak histeris dari arah lantai dua. Isak tangis yang pilu pecah membuat setiap orang di lantai pertama panik kecuali Wu Yifan. Suara itu memanggil-manggil satu nama, “Yunho! Yunho! Yunho!”



.....



Teriakan itu membuat suasana menjadi tegang. Kepanikan tampak jelas di wajah Direktur Wu yang sebelumnya sangat tenang. Ia meletakkan cangkir tehnya di atas meja dengan terburu-buru, tanpa gerakan anggun seperti sebelumnya, berdiri dari duduk, dan melangkah menuju tangga.

“Aku di sini, Shen Yi!” seru Direktur Wu lembut. Aura tegas dan keras seorang direktur yang sombong lenyap bagai ditelan bumi.

Xiao Zhan merasakan perubahan tajam itu, tetapi tak berani berkomentar. Pada saat itu, langkah pasti telah diambil sang direktur, perlahan ia menaiki satu per satu anak tangga. Di ujung bagian atas tangga, seorang wanita anggun muncul. Seharusnya sangat cantik, lembut, dan penyanyang jika saja tidak ada titik air mata di sudut mata, lalu rambut tersisir rapi, dan ekspresi menunjukkan senyum.

Sayangnya, meski terlihat cantik, penampilan wanita itu agak kacau dan sangat membutuhkan perhatian. Melihat kedekatannya dengan Direktur Wu, wanita itu pastilah ibu Wu Yifan, nyonya rumah ini.

Berbeda dengan Direktur Wu yang tampak sangat lembut dan perhatian pada wanita itu, ekspresi wajah Wu Yifan yang sebelumnya jelek semakin jelek. Ia menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan. Tetap duduk di tempat dan mulai mengoceh. “Wanita itu lagi, kapan dia tidak mengacau?”

Mendengar perkataan Wu Yifan, Xiao Zhan tidak bisa menghilangkan kebingungan. Mengapa laki-laki ini begitu kasar?

“Bukankah dia ibumu?”

Wu Yifan tidak punya keinginan untuk berbohong, mengangguk acuh tak acuh.

Ketika Xiao Zhan ingin bertanya tentang alasan sikap cuek Wu Yifan pada ibunya, laki-laki itu sudah lebih dulu berbicara. Menceritakan masalah dalam keluarganya dengan santai seperti membaca novel biasa.

“Ibuku punya penyakit mental. Dia akan depresi jika jauh dari ayah, seperti lem yang akan terus menempel. Terkadang ayah akan memberi obat tidur dengan dosis tinggi jika ia memiliki kepentingan di luar. Kalau tidak, wanita itu mungkin akan bunuh diri ketika tidak melihat suaminya dalam beberapa menit saja.”

Penjelasannya mungkin tidak terlalu rinci, tetapi Xiao Zhan dapat menangkap maksudnya. Secara garis besar wanita itu sakit mental atau bisa dikatakan sakit jiwa.

Xiao Zhan melirik Wu Yifan yang tetap tenang setelah mengatakan kebenaran yang menyakitkan itu. Tak tahan untuk mencibir, “Kamu mengatakannya begitu mudah. Apa kamu tidak takut aku akan menyebarkan informasi ini dan membuat keadaan keluargamu terguncang secara internal?”

Tentu saja itu hanya perkataan acak. Bagaimanapun Xiao Zhan tidak memikirkan  hal seperti itu. Tidak merasa bahwa jika dia mengatakannya pada orang lain ia akan mendepat keuntungan. Lagi pula tidak baik mengungkapkan kelemahan orang lain di depan umum.

Namun, jawaban Wu Yifan memang tidak bisa diprediksi. Dengan tatapan terarah  ke manik mata Xiao Zhan dan tubuh condong ke samping ia menjawab dengan yakin, “Tidak. Kamu bukan orang seperti itu.”

Pada titik ini Xiao Zhan benar-benar merasa geli, terhibur oleh pengakuan tak langsung yang ditembakkan orang lain padanya. Hanya dengan malas menggelengkan kepala. “Belum tentu.”

Wu Yifan tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. Reaksi yang tujukan Xiao Zhan sangat wajar. Aneh jika kepercayaan bisa ditanam hanya dalam waktu singkat. Justru dialah yang bertindak terlalu tergesa-gesa tanpa memberi ruang bagi orang lain untuk menghirup napas dengan bebas selama di sisinya.

Dalam beberapa jam Direktur Wu berdiam diri di atas, tampaknya paruh baya itu berusaha menenangkan kekhawatiran istrinya. Sementara di lain tempat, Wu Yifan membawa Xiao Zhan  memasuki ruangan game yang berada di lantai teratas.  Di lantai itu hanya ada tiga ruangan utama. Setengah bagian dari ruangan merupakan kamar Wu Yifan, seperempat pertama dijadikan ruang santai yang tak tertutup, sisanya adalah ruang permainan.

Ruangan ini diisi oleh berbagai macam permainan, kebanyakan adalah jenis permainan balapan. Wu Yifan memainkan salah satunya dengan sangat baik, jelas jika dia memiliki keahlian di bidang tersebut. Xiao Zhan tidak terlalu menyukai permainan, ia hanya duduk di karpet berbulu dan memainkan ponselnya dengan bosan.

Setelah beberapa saat dan suasana membosankan semakin besar, Xiao Zhan mulai gelisah. Menatap ke sana-kemari, tetapi tidak menemukan apa pun yang bisa menarik minatnya. Menghela napas panjang, ia berkata, “Aku ingin pulang.”

Wu Yifan mendengar dengan jelas, tangannya berhenti bergerak beberapa detik, menyadari keberadaan orang lain. Ia terlalu serius bermain sampai-sampai lupa pada kemungkinan jika seseorang akan merasa bosan.

“Sebentar. Aku akan menyelesaikannya dengan cepat!” serunya tanpa mengalihkan perhatian.

Xiao Zhan mendengus pelan. Kembali memeriksa ponsel dan memikirkan sosok Wang Yibo. Ingin tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Apa dia merasa senang ketika mereka berpisah? Karena sejujurnya, sejak Xiao Zhan meyakinkan perasaannya terhadap Wang Yibo, ia merasa gelisah setiap kali memikirkan saat-saat di mana mereka tidak bersama. Seperti halnya hari ini, Xiao Zhan sangat ingin pulang dan melihat sosok itu. Namun, meskipun ia pulang sesegera mungkin, tidak ada siapa-siapa yang menunggunya.

Memikirkan hal itu membuatnya semakin kesal.

Ketukan pintu dari luar menganggu dua orang yang berada di dalam. Suara seorang wanita terdengar. “Tuan Muda, Tuan meminta Anda dan teman Anda untuk makan siang bersama!”

Baik Wu Yifan maupun Xiao Zhan terkejut. Mereka lupa waktu, satu karena terlalu serius bermain dan satu lagi karena memikirkan orang lain.

“Oke!” Wu Yifan berseru sambil menyudahi permainannya. Ia membawa Xiao Zhan turun dan duduk di ruang makan.

Sudah ada Direktur Wu yang duduk di kursi, seorang wanita cantik di sebelahnya. Sekilas tatapan mata wanita itu melirik Xiao Zhan, dingin dan kosong di saat yang bersamaan.

Xiao Zhan sangat canggung. Untungnya Wu Yifan menarik salah satu kursi untuk Xiao Zhan dan membiarkannya duduk dengan nyaman. Mereka memulai acara makan siang tanpa sepatah kata pun.

Di meja makan terdapat begitu banyak jenis makanan, hampir keseluruhan merupakan olahan ikan. Xiao Zhan mengernyitkan kening, dia tidak membenci ikan, tetapi tidak terlalu menyukainya sehingga hanya mengambil sedikit dan lebih banyak olahan sayur. Wu Yifan menyadari itu, membantu mengambil ayam goreng di sisi yang jauh dari Xiao Zhan dan meletakkan di piring laki-laki itu.

Ia berkata, “Kamu tidak menyukai ikan, di masa depan aku akan menguranginya.”

Direktur Wu mendengar dengan jelas, melirik sekilas, dan kembali pada urusannya.

Xiao Zhan pun melakukan hal yang sama, melirik ke samping. Ekspresinya sangat samar. “Tidak, tidak perlu.” Lagi pula belum tentu mereka akan makan bersama lain waktu.

Mengedarkan pandangan ke tempat lain, di seberang tempat duduk mereka, Direktur Wu tampak makan dengan tenang. Sesekali ia akan memasukkan lauk ke dalam piring istrinya, setelah memastikan tidak ada duri. Perlakuannya sangat lembut dan begitu hati-hati, seolah tengah menjaga hartanya.

Demikian halnya pada wanita itu, ia akan melakukan hal yang sama dan tidak peduli pada makanannya, tetapi terus-menerus berbicara pada Direktur Wu tentang, ‘makan ini, ini sangat enak’, ‘ikan ini bagus untuk kesehatan’, dan lain sebagainya.

Hubungan mereka sangat harmonis. Namun, satu hal yang mulai dipahami Xiao Zhan, wanita itu tidak sedikit pun memberi perhatian pada orang lain selain suaminya, bahkan Wu Yifan diabaikan begitu saja.

Cara wanita itu memperlakukan suaminya dan orang lain, termasuk caranya memandang, sangat berbeda. Lembut dan hangat pada suaminya, kasar dan dingin terhadap orang lain. 

The Cold Season ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang