Sudah menjadi kebiasaan rutin bagi Adin dan Yasmin setiap sore, mereka akan memasak makan malam bersama sambil berbincang-bincang ringan.
"Din, kamu setelah lulus nanti mau kuliah apa kerja?"
Adin menoleh ke samping, ke arah sang Mama yang sibuk memotong sayuran, sedangkan dirinya sendiri sedang sibuk mencuci beberapa buah-buahan yang akan dipotong sebagai hidangan cuci mulut.
"Adin sih maunya kuliah, mau lebih mendalami bidangnya sebelum Adin kerja nanti. Biar nyari kerjanya gampang," jawabnya yang langsung diangguki Yasmin.
"Mama juga maunya gitu. Kamu mending kuliah dulu biar pas kerja udah cukup ilmu."
"Gak usah kuliah, gak usah kerja juga. Kamu langsung nikah aja," ujar Ammar ─ Ayah Adin yang tiba-tiba datang. Pria paruh baya itu tersenyum penuh arti pada istri serta putrinya yang masih mematung karena terkejut.
Pasalnya lima menit yang lalu, Ammar masih sibuk dengan beberapa berkas di ruang kerjanya. Namun sekarang tiba-tiba muncul.
"Loh? kok gitu, sih? Adin kan mau kuliah dulu, terus kerja, Pa," protes Adin sedikit merengek. Karena sumpah demi apapun, Adin merasa bahwa dia masih terlalu muda untuk membina rumah tangga. Adin masih memiliki banyak keinginan yang sepertinya tak mungkin lagi ia gapai jika sudah menikah nanti.
Ammar terkekeh. "Gak usah, Papa mau jodohin kamu sama seseorang. Inget! Kodrat seorang perempuan adalah mengandung, melahirkan dan menyusui. Kalo kamu mau kuliah juga gapapa nanti aja setelah menikah, tapi wajib dapet izin dari suami kamu," jelas Ammar tegas.
Adin mengerucutkan bibirnya sembari merengek. "Papa.... Tapi Adin mau menikmati masa muda Adin dulu."
"Sayang, dengerin Papa. Gak ada gunanya kamu mengejar hal-hal duniawi seperti itu, memang duniawi juga harus kita kejar dengan maksud memperdalam ilmu. Tapi, yang harusnya kamu utamakan itu hal-hal yang bisa membantu kamu menuju surganya Allah," jelas Ammar penuh kelembutan, dia ingin putrinya dapat memahami apa yang baru saja dia jelaskan.
"Hubungannya sama nikah apa?" tanya din bingung, entahlah otaknya mendadak nge-lag.
"Astaghfirullah, masa kamu gak ngerti-ngerti juga sih, Din," tegur Yasmin sambil menepuk pundak Adin.
"Ya kan kalo kamu nikah, insyaAllah suami kamu bisa membimbing kamu. Nikah itu penyempurna ibadah, Nak. Karena ada banyak hal yang bisa kamu lakukan dengan suamimu kelak yang sifatnya ibadah, namun haram hukumnya jika kamu lakukan bersama orang lain."
"Selain itu juga, kamu akan lebih bisa menghargai banyak hal. Percaya sama Papa, menikah gak semenakutkan yang kamu bayangkan. Selama suami kamu kelak adalah jodoh yang Allah tetapkan, maka pernikahan kalian akan selalu dilingkupi kebahagian. InsyaAllah calon kamu itu benar-benar kriteria suami idaman, Nak. Pemahaman agamanya juga sangat baik, dia pasti sudah siap menikah," sambung Ammar dengan yakin.
Adin termenung, gadis cantik itu sedang berusaha memahami semua perkataan sang Papa. Jika dipikirkan dengan sangat serius, apa yang Papanya bilang memang memiliki banyak makna. Tapi Adin masih ingin menikmati masa mudanya dengan Dira lebih lama lagi. Masih banyak hal-hal yang belum bisa mereka lakukan, padahal mereka sangat ingin melakukannya. Ah, entahlah, Adin bingung.
Ammar memandangi keterdiaman Adin dengan raut wajah yang sulit diartikan. Sejujurnya berat juga melepas putri sematawayangnya untuk menikah, yang itu artinya dia tidak lagi memiliki hak penuh atas hidup Adin. Tapi akan sangat berat jika harus membiarkan Adin lebih lama lagi menikmati masa mudanya. Apalagi di zaman sekarang, pergaulan sudah tidak lagi aman untuk para gadis-gadis muslim.
- - -
"Jelasin! Kenapa bisa nilai kamu menurun kayak gini?!" bentak Surya sambil melempar kertas-kertas salinan hasil ujian mingguan milik putrinya, siapa lagi jika bukan Dira.
Dira hanya diam menunduk sambil meremat jari-jari tangannya yang sudah dibasahi keringat dingin. Walaupun sudah terlampau sering dimarahi karena nilai yang turun, tapi Dira masih selalu merasa ketakutan saat bentakan sang Ayah sampai di telinganya.
"JAWAB, ANINDIRA!"
"Maafin Kakak, Yah, Kakak salah..." lirih Dira sambil tetap menunduk.
"Ayah gak butuh maaf kamu, Ayah butuh nilai bagus kamu. Kalaupun gak sempurna kayak Adin, tapi setidaknya nilai kamu gak turun!"
"Adin lagi," batin Dira dalam hati.
Surya menatap tajam putrinya, amarahnya siap meledak jika saja ia tidak mendengar isakan tertahan Dira. Maka dengan helaan nafas pelan, Surya berusaha menstabilkan emosinya.
"Bahasa inggris itu basic, seharusnya nilai kamu semakin tinggi bukannya semakin turun. Ayah selalu bilang, belajar dari hal-hal kecil yang kamu suka. Dengerin lagu-lagu berbahasa inggris, hapalin liriknya, pahami artinya. Bukannya malah nyanyi lagu-lagu korea, itu gak akan ada gunanya, Kak."
"I know you often use english, but why you're test so bad!" lanjut Surya masih dengan emosi yang kentara.
"Temen sekelas kamu yang biasanya dapet nilai 50, sekarang dapet nilai 80! Kamu gak malu? Biasanya dapet nilai 95 yang hampir sempurna, sekarang cuma dapet 80?"
Dira mengepalkan tangannya, untuk kesekian kalinya Dira merasa marah. Kenapa bisa Ayahnya semudah itu mendapatkan setiap salinan hasil ujian teman sekelasnya. Memperhatikan nilai semua teman Dira, bahkan Ayahnya bisa hapal siapa saja yang nilainya selalu bagus dan selalu dibawah rata-rata.
"Buat apa selama ini Ayah bayar mahal bimbel kamu? Beliin segala macem kebutuhan kamu? Ayah gak pernah minta aneh-aneh, Kak, Ayah cuma minta Kakak jadi yang terbaik! Jadi orang cerdas yang pintar!"
"Karena Kakak yang bisa Ayah andalkan buat megang perusahaan nanti, Kak! Kakak adalah Ayah versi perempuan, Ayah tau Kakak bisa menjadi 'Ayah' di masa depan."
Dira memejamkan matanya, hatinya sesak saat kembali mendengar Ayahnya yang selalu ingin Dira menjadi seperti dirinya. Menjadi wanita karir yang sukses dengan perusahaan besar serta nama yang tersohor di kalangan masyarakat.
"Yah, Kakak juga punya cita-cita. Ayah gak bisa maksa Kakak buat jadi seperti yang Ayah mau. Kapan Ayah mau dengerin Kakak? kapan Ayah berhenti memaksakan kehendak? dan kapan Kakak bisa melakukan hal yang Kakak suka tanpa dihantui rasa takut Ayah marahin?"
Entah keberanian dari mana, Dira dengan tegas menanyakan apa yang selama ini hanya bisa dia pendam. Hal-hal yang selalu membuat kepalanya pening dan matanya bengkak akibat menangis semalaman.
Surya tertegun, Ayah dari dua anak itu menatap nanar putrinya yang hanya bisa menunduk dengan bahu gemetar. Hatinya seolah tercubit, perkataan Dira sedikitnya membuat Surya tersadar bahwa selama ini Dira hidup seperti bidak catur yang dikendalikan. Tapi persetan dari itu semua, Surya lebih tak mau hidup putrinya sengsara.
"Masuk kamar! Ayah gak mau denger apa-apa lagi. Berhenti bantah Ayah atau kamu bakal menyesal akhirnya."
Setelah mengatakan itu Surya pergi meninggalkan Dira yang semakin keras menangis. Gadis itu bahkan memukul-mukul dadanya saat rasa sesak begitu terasa menghimpit tubuhnya. Segelintir kalimat yang dikatakan Ayahnya dengan nada dingin kelewat datar itu taak akan mungkin bisa ia bantah.
- tbc -
jangan lupa pencet bintangnya temen-temen, makasi <3
KAMU SEDANG MEMBACA
EUNOIA
Teen Fiction(n.) beautiful thinking ; a well mind. Seperti makna dari kata 'eunoia' yang bermakna niat baik. Pertemuan tak sengaja mengundang perasaan. Menumbuhkan niat baik dari dua pemuda paham agama yang atas dasar ingin membimbing wanita yang mereka temui...