Adin tahu, saat ini suasana hati dira sedang tidak baik. Bisa dilihat dari gerak-geriknya yang menjadi pendiam, banyak melamun dan tidak fokus. Entah sudah berapa kali Adin menanyakan hal apa yang membuat Dira menjadi seperti ini. Namun tak ada hasil, sahabatnya itu tetap tak mau menjawab dengan jujur dan justru membicarakan omong kosong.
"Berhenti dulu di minimarket depan, gue lupa beli tissue basah," pinta Adin yang langsung diangguki Dira.
Beberapa menit kemudian Dira memarkirkan mobilnya di parkiran minimarket. Dia membiarkan Adin turun, dan memilih menunggu di dalam mobil.
"Huft! Udah dong Ra, lo gak boleh kayak gini." Dira bergumam kesal sembari menghela nafas berat. Entah kenapa dadanya terasa sesak, belum lagi matanya yang mulai berkaca-kaca. Namun dengan cepat Dira menormalkan kembali raut wajahnya yang hampir menangis, mengelap air matanya yang belum sempat jatuh.
Dira tak percaya jika dampak dari pembicaraanya dengan Sang Bunda bisa merubah harinya sejauh ini. Membuatnya terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada harapannya.
Tak lama Adin kembali ke dalam mobil. Namun ada yang aneh, gadis itu tidak menghampiri pintu penumpang, justru menghampiri pintu kemudi. Hal itu sontak saja membuat Dira kebingungan. Gadis itu menurunkan kaca mobilnya lalu bertanya dengan kening yang mengernyit. "kenapa?"
"Turun, gue yang nyetir," kata Adin sambil membuka pintu mobil.
"Lah? Gak mau, ah, lo belum punya SIM Adin," tolak Dira tak mau. Meski demikian, gadis itu tetep turun dari mobil, lalu menyingkir saat Adin memasuki mobil.
"Gak punya SIM belum tentu gak bisa bawa mobil, udah cepet masuk."
Dira menghela nafas lalu berjalan memutar. Dia menaiki mobil dengan kesal, lalu menutup pintunya keras.
"Untung ini mobil elo Ra, kalo mobil gue, udah gue gibeng, dah, lo!" gerutu Adin yang kesal lantaran terkejut oleh suara mobil.
Dira tak menjawab, gadis itu justru mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Memandangi kendaraan serta orang-orang yang berlalu-lalang. Namun setelah beberapa menit, Dira akhirnya mengalihkan atensinya. Kini dia menghadap ke arah Adin ketika sadar jika mobil mereka tidak juga bergerak.
"Kenapa gak jalan? Kita gak akan sampe Puncak kalo ini mobil gak maju Adinda."
"Gue juga gak akan mau ngendarain mobil ini kalo lo masih kayak gini!"
Dira menyernyitkan dahi, pura-pura tak mengerti dengan ucapan Adin. Padahal dia tahu, Adin pasti mulai merasa risih atas sikapnya yang seperti ini. Namun mau bagaimana lagi? Ini bukan keinginan Dira, dia juga tak bisa mengatur moodnya semudah itu.
"Jangan pura-pura bego, gue tau lo paham maksud gue," sambung Adin dengan wajah yang serius.
"Lo lagi gak baik-baik aja Ra, muka lo sembab, mood lo jelek banget. Ayo cerita, gue sahabat lo, tangan gue bakalan selalu terbuka lebar buat lo dikeadaan apapun. Gue siap dengerin apapun keluh kesah lo Ra, jangan mikir lo sendirian, ada gue," pungkas Adin dengan nada suara tegas.
Adin mendekat, dia memegang kedua bahu Dira, mencoba meyakinkan Dira bahwa Adin akan selalu ada untuknya. Dalam keadaan senang maupun sedih, Adin tak akan pergi, bahkan ketika status keduanya sudah berganti. Persahabatan mereka tak akan berhenti.
Dira mendongak, gadis itu menatap Adin dengan pandangan yang sulit diartikan. Adin dapat melihat berbagai macam emosi di dalam sana. Sedih, lelah, dan sedikit perasaan bahagia.
"Maafin gue Din, gue egois banget."
Adin menggeleng cepat. "Lo ga egois Ra, lo cuma terlalu merasa kuat sendirian, padahal lo butuh orang-orang di sekitar lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
EUNOIA
Teen Fiction(n.) beautiful thinking ; a well mind. Seperti makna dari kata 'eunoia' yang bermakna niat baik. Pertemuan tak sengaja mengundang perasaan. Menumbuhkan niat baik dari dua pemuda paham agama yang atas dasar ingin membimbing wanita yang mereka temui...