Adin memandang pantulan dirinya di cermin dengan tatapan yang kosong. Padahal seharusnya dia sedang berbahagia menantikan dimana proses acara pengajian akan dimulai. Tetapi saat ini mood nya sedang tidak baik-baik saja.
Adin merasa ada yang hilang, sesuatu yang selama ini selalu ada didekatnya mendadak hilang tanpa jejak. Seseorang yang sangat mengerti dirinya kini tak nampak. Anindira, hanya nama itu yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Jujur saja, Adin merasa sangat sedih saat mengetahui kenyataan bahwa Dira tidak datang ke acara siraman hari ini.
Bahkan mereka tidak lagi bertukar pesan setelah insiden menyedihkan dua hari yang lalu dan sejak saat itu juga Adin dihantui rasa bersalah.
Sayup-sayup Adin dapat mendengar suara ibu-ibu yang akan mengikuti pengajian. Lantunan sholawat merdu yang sengaja diputar melalui alat pengeras suara menjadi backsound kesyahduan acara ini.
Adin menghela nafas untuk yang kesekian kali, gadis itu masih berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran negatif tentang Dira. Dia pun memilih untuk membenahi kembali gamis putih yang menjadi seragam untuk keluarganya.
"Tok... Tok... Tok..." Adin menolehkan kepalanya ke arah pintu yang baru saja diketuk oleh seseorang dari luar.
Tak lama pintu terbuka menampakkan presensi seorang gadis cantik yang juga memakai gamis berwarna senada dengan Adin. Gadis itu adalah, Syahla.
"Din, lo kenapa?" tanya Syahla kepada sepupunya.
"Gapapa, gue cuman kepikiran sama Dira," jawab Adin pelan.
Syahla mengeryitkan dahi. "Lah, emang kalian belum baikan? Gue kira peperangan ini cuman sebentar, gak baik loh, Din, marahan lama-lama."
"Ya gue juga gak mau marahan lama-lama, tapi Dira sakit hati banget sama omongan gue. Gue malu mau minta maaf duluan, soalnya Dira itu kalo udah sakit hati sama seseorang sampe kapan pun dia bakalan ngejauh."
Syahla menghela nafas lalu berjalan mendekati Adin.
"Lo udah nyoba minta maaf?" tanya Syahla.
Adin menggelengkan kepalanya tanda bahwa dirinya belum mencoba menghubungi Dira.
"Lo kenapa bisa ngomong gitu sedangkan lo belom nyoba. Din, Dira itu sahabat lo kalian sahabatan bukan cuman baru satu bulan dua bulan tapi udah bertahun-tahun. Dia gak mungkin ngebenci lo cuman karena kejadian kemaren."
Adin termenung, gadis itu mencoba memahami perkataan Syahla yang menurutnya benar.
"Yaudah nanti selesai acara gue coba hubungin Dira."
"Nah, gitu dong. Sekarang lo harus senyum jangan keliatan sedih. Masa nanti depan ustadz sama ibu-ibu komplek cemberut, ntar dikiranya lo nikah karena terpaksa."
Adin mendelik tajam ke arah Syahla ya walaupun perkataan sepupunya itu memang betul, tapi mana ada sih perempuan yang menikah terpaksa jika pasangannya adalah Arkan.
Kedua gadis itu pun meninggalkan kamar Adin untuk menuju ruang tamu kediaman Adin yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Sehingga ruangan tersebut terlihat sangat cantik dan mendukung suasana syahdu pengajian ini.
Dengan anggun Adin yang digandeng Syahla berjalan menuruni tangga untuk memasuki barisan keluarga yang berhadapan langsung dengan ustadz serta anak-anak santri yang akan mengisi acara.
Sedangkan dibelakang barisan keluarga terdapat ibu-ibu dan bapak-bapak yang ikut serta dalam pengajian tersebut.
Adin duduk diantara Yasmin dan Syahla sedangkan Ammar duduk dengan ustadz di bagian depan. Tanpa membuang banyak waktu acara pengajian pun dimulai. Diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh ustadz dan diikuti seluruh jama'ah.
Dilanjut dengan membaca sholawat thibbil qulub sebanyak 3 kali. Kemudian ustadz mempersilahkan Adin untuk membacakan surat Al-Waqiah.
Dengan sedikit gugup Adin membacakan surat tersebut dengan suaranya yang sangat merdu.
Setelah itu setiap rangkaian acara dilaksanakan dengan khidmat tanpa terlewat. Tak terasa semua rangkaian acara telah dilaksanakan. Saat ini para jama'ah yang hadir sedang mengantri untuk mengambil makanan yang telah disediakan.
Seperti sudah menjadi kebiasaan, ibu-ibu akan sangat semangat dengan hal-hal yang berbau gratis. Jadilah ruang tamu yang tadinya dipenuhi oleh suatu khidmat kini tidak kondusif.
Adin dan keluarga berpindah ke pojok sebelah kanan menghindari para jama'ah yang akan makan.
Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang duduk didepan Adin. Hal tersebut sukses membuat Adin mematung karena terkejut.
"Mbak, baju saya beda sama para jama'ah ibu-ibu. Tapi gapapa kan kalo ikut makan? Laper soalnya," ujar seseorang tersebut sambil tersenyum tanpa dosa.
"Mbak! Hei, Mbak! Kok malah bengong, sih? Ini saya boleh, kan? Kalo nggak mau pulang aja."
Dua detik setelahnya Adin segera menarik seseorang tersebut ke dalam pelukannya. Tangis gadis itu pecah saat usapan tangan sang sahabat terasa di punggungnya.
"D-Dira... Maafin gue..." Adin berucap lirih sambil menjauhkan pelukan mereka, gadis itu menatap nanar Dira yang juga yang menatapnya tak kalah berkaca.
"Iya, gue Dira, Din..." jawabnya tak kalah lirih.
Adin kembali memeluk Dira sambil terus terisak. Perasaan lega menyeruak di dalam dadanya, mengenyahkan rasa sesak yang beberapa hari ini menghantuinya.
"Gue gak nyangka lo dateng ternyata," ujar Adin.
"Ya dateng, lah, ini kan pengajian bestie gue masa iya gak dateng, sih. Sahabat macem apa gue kalo gak dateng?"
"Terus kenapa gak nyamperin gue? Lo tadi diem dimana? Kok gak keliatan, sih?!" tanya Adin sewot sambil menghapus air matanya menggunakan tisu.
"Gue tadi diem di belakang, biar fokus aja gitu merhatiin ustadz nya," jawab Dira.
"Emang kalo duduk deket gue lo jadi gak fokus gitu?" tanya Adin yang tetap sewot.
"Tentu saja, soalnya kita itu gak mungkin diem-diem doang pasti ada aja yang dighibahin apalagi lo orangnya gak jelas cicek lewat aja lo omongin. Kalo gitu terus mau kapan gue pinternya? Emang lo mau sahabatan sama gue yang bodoh ini?"
Degggg!
Adin tergugu, gadis itu menatap Dira tak percaya. Perkataan yang seharusnya membuatnya kesal justru membuatnya merasa bersalah.
"Ra," tegur Adin lirih.
Dira menggelengkan kepalanya, gadis itu tersenyum lebar. "Gapapa, Din, gue tau kok gue emang bodoh."
"Nggak, Ra... Gak gitu..." lirih Adin.
"Iya, Din, gue itu bodoh. Mana masih suka modus sama mantan gebetan padahal udah ditaksir santri tampan."
"Ra, please.... Lo jangan kayak gini dong."
"Tapi beneran, Din, gue tuh bodoh banget Pak Surya rugi bandar nyekolahin sama masukin gue bimbel mahal-mahal kalo anaknya malah kayak gue."
"Ra, udah dong. Kan gue udah minta maaf gak usah diperpanjang," cegah Adin.
"Iya, Din-"
"Udah! Gue yang bodoh, gue yang suka modus!! Udah!! Lo berdua udahan bacotnya, mending makan. Laper kagak?"
Syahla yang sejak tadi hanya diam akhirnya angkat bicara, gadis itu kesal melihat Adin dan Dira yang seperti anak kecil, drama sekali.
"Apaan, sih, lo? Orang lagi melow-melow gini," sahut Dira tak terima saat drama yang sedang dia mainkan terganggu.
"Tau, tuh, si Syahla makan mulu gede kagak," sambung Adin sinis.
"Dahlah, serah lu pada aja gue mah laper." Syahla melengos pergi meninggalkan Adin dan Dira.
-tbc-
jangan lupa pencet bintangnya guys! makasii <3
KAMU SEDANG MEMBACA
EUNOIA
Teen Fiction(n.) beautiful thinking ; a well mind. Seperti makna dari kata 'eunoia' yang bermakna niat baik. Pertemuan tak sengaja mengundang perasaan. Menumbuhkan niat baik dari dua pemuda paham agama yang atas dasar ingin membimbing wanita yang mereka temui...