Sudah hampir dua jam lamanya Dira berada di rumah Adin. Gadis itu bahkan ikut membantu anggota keluarga Adin untuk menyiapkan beberapa persiapan menjelang hari pernikahan Adin dan Arkan.
Namun, hingga detik ini Adin belum juga menemuinya. Terakhir saat Dira menanyakan Adin, Yasmin menjawab jika putrinya itu sedang mandi dan akan segera turun. Tapi Dira tak kunjung melihat batang hidung Adin.
"Ma, Adin belum selesai ya mandinya? Kok lama banget?"
Yasmin menolehkan kepalanya ke arah Dira, wanita paruh baya itu tersenyum lembut lalu mengusap bahu Dira pelan.
"Kamu langsung ke kamarnya aja gih, tapi pas dipanggil katanya dia males keluar."
Setelah mendengar penuturan Yasmin, Dira segera berlari menuju kamar Adin yang berada di lantai dua. Entah kenapa perasaannya mendadak tidak enak, apa ini karena mood Adin yang sedang tidak baik lalu dengan ajaibnya Dira dapat merasakannya juga?
Tanpa mengetuk pintu, Dira langsung memasuki kamar Adin. Gadis itu sudah menyiapkan banyak kata-kata julid, lagipula siapa yang tidak kesal jika harus menunggu seseorang mandi hingga dua jam lamanya.
"Ngapain lo?"
Dira menghentikan langkahnya ketika pertanyaan yang cukup menyinggung itu memasuki gendang telinganya.
"Gue tanya lo mau ngapain? Kenapa malah diem?"
"Lo lagi gak mood ya, Din?"
Bukannya menjawab, Dira justru balik melemparkan pertanyaan. Hal itu sontak saja membuat Adin berdecak kesal, lalu memutar tubuhnya yang tadi membelakangi Dira, menjadi menghadap Dira.
"Lo gak bisa ngebedain intonasi orang nanya sama ngomong biasa?"
Alis Dira terangkat sebelah, dia menatap Adin dengan pandangan tak percaya. Cewek yang saat ini berada di depannya bukanlah Adin, ini bukan sahabatnya.
"Lo kenapa, sih, Din? Gue ada salah sama lo?"
Akhirnya Dira mulai mengerti dengan keadaan saat ini. Adin pasti sedang marah kepadanya, karena terakhir Adin seperti ini adalah saat Dira tak sengaja melupakan janji mereka untuk bermain ke taman hiburan saat SMP dulu.
Tapi, apa yang membuat Adin bisa semarah ini? Perasaan Dira, dia tidak melupakan sesuatu, karena dia tidak menjanjikan apapun belakang ini.
"Elo yang kenapa, Ra? Kenapa lo bisa sebodoh ini, sih, jadi manusia?"
Deg!
Perkataan Adin sukses membuat hatinya berdenyut sakit, tangannya bahkan dengan reflek langsung meremat pinggiran celana kulot yang dikenakannya.
"Lo kemaren pergi ke Bandung sama Kak Jordan, kan? Lo gak mikirin perasaan Kak Riznan? Lo gak mikir kalo perbuatan lo bisa ngerusak hubungan kalian yang bahkan belum dimulai!"
Adin berbicara dengan nada membentak, bahkan wajahnya ikut memerah saking kesalnya dia pada Dira.
"Gue sama Kak Jordan gak ngapa-ngapain, Din, dia cuma dimintain tolong sama Ayah buat nganterin gue," jelas Dira pelan, suaranya bahkan sudah sedikit bergetar akibat menahan tangis.
Namun, respon Adin benar-benar tidak pernah Dira duga sebelumnya. Gadis yang sebentar lagi akan menjadi pengantin baru itu memajukan langkahnya lalu dengan pandangan sinis menatap Dira marah.
"Kenapa harus Kak Jordan? Lo sengaja kan biar bisa modus? Kenapa gak gue aja, Anindira?!"
Dira memejamkan matanya saat lagi dan lagi hatinya merasakan sakit yang teramat sangat. Perkataan Adin bak belati yang menghunus jantungnya, mengoyaknya hingga benar-benar hancur.
Menghela nafas pelan, Dira membuka matanya perlahan. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Adin.
"Gue gak tau kalo gue serendah itu di mata lo Din," lirih Dira pelan, suaranya pun mulai bergetar.
"Lo nanya kenapa gue gak ngajak lo aja? Din, gue gak segila itu buat ngajak lo yang bentar lagi bakalan nikah. Gue gak mau nyesel seumur hidup kalo sampe lo kenapa-napa di jalan Din."
"Kalo lo mikir gue gak mikirin Kak Riznan, lo salah, Din. Gue mikirin itu semua bahkan lebih dari yang lo bisa bayangin. Gue juga sejujurnya gak mau dianter kak Jordan, tapi gak ada lagi yang bisa nganterin gue, Din! Lo mau gue ngajak Riznan? Lempar gue ke dasar jurang kalo dia mau."
"Lo pikir gue mau kayak gini? Nggak, Din, gue gak mau!"
Dira mengusap kasar wajahnya, menghapus air mata yang sudah tak dapat lagi dia bendung. Dadanya sesak bukan main, apalagi saat menyadari jika Adin lebih peduli pada Riznan ketimbang dirinya.
"Makasih banyak lo udah khawatir sama hubungan gue sama Kak Riznan, makasih juga udah buat gue nunggu dua jam lamanya cuma buat ngeliat lo marah-marah kayak gini. Sumpah, gue beneran tulus berterima kasih sama lo."
"Tapi, Din, apa lo gak mikirin perasaan gue?
Adin terkesiap, seolah dipaksa kembali ke pada kesadarannya. Matanya membelalak terkejut saat melihat Dira yang sudah terisak dengan bahu yang gemetar, belum lagi pipi gembul sahabatnya itu dibasahi oleh air mata.
"Ra, maafin gue..."
Dira dengan cepat menggeleng, gadis itu terlihat sekali memaksakan senyuman lebar yang justru terlihat sangat menyedihkan di mata Adin.
"Gue yang minta maaf karena bikin lo khawatir. Tapi kalo lo khawatir karena takut masalah ini berdampak buruk buat pernikahan lo sama Kak Arkan, lo gak usah khawatir, gue bakal pastiin semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. Bahkan kalo Kak Riznan beneran ragu dan marah sama gue, terus dia memutuskan buat gak lagi merjuangin gue, itu semua gak ada sangkut pautnya sama lo atau Kak Arkan."
Kali ini Adin yang menggeleng ribut, tangisnya mulai pecah saat lagi-lagi Dira tersenyum. Hatinya sakit, rasa bersalah membuncah didadanya. Adin sadar jika dia memang sudah sangat keterlaluan.
"Ini murni karena kebodohan gue yang masih mau dianterin sama mantan gebetan. Dan kenyataannya gue emang gak cukup meyakinkan buat jadi pendampingnya Kak Riznan. Lo aja yang sahabat gue masih berpikir kalo gue serendah itu, apalagi orang lain, kan, Din?"
"Udah kan? Atau masih ada yang mau lo omongin ke gue? Kalo ada, mending sekarang aja biar gue nangisnya gak tanggung-tanggung, hehe."
Tangis Adin pecah, hatinya tak kuasa melihat Dira serapuh ini. Namun ternyata dia terlambat, Dira terlanjur marah. Sahabatnya itu bahkan menghindar ketika dia ingin membawa Dira ke dalam pelukannya.
"Oke, gue anggep lo udah selesai. Gue pamit ya, maaf bikin lo bad mood padahal harusnya lo sekarang lagi bahagia. Semoga pernikahan lo lancar, dan kalian bener-bener berjodoh, doain sahabat bodoh lo ini biar dapet seseorang yang pantas dan gak akan ragu cuma karena ngeliat gue dianterin Kak Jo ke Bandung."
"Ra... nggak gitu, maafin gue hiks..."
"Haha gapapa sans aja kali, gue cabut dulu, bye bestie."
Setelah mengatakan kalimat terakhirnya dengan suara tercekat dan senyum yang dipaksakan, Dira berbalik lalu pergi meninggalkan Adin yang sudah jatuh terduduk di atas lantai.
Adin memukul-mukul dadanya saat sesak itu tak kunjung hilang, bahkan semakin menjadi saat dia bisa mendengar isakan tertahan Dira saat sahabatnya itu berjalan cepat meninggalkannya.
"Maafin gue, Ra, gue gak maksud nyakitin lo."
-tbc-
jangan lupa pencet bintangnya guys! makasii <3
KAMU SEDANG MEMBACA
EUNOIA
Teen Fiction(n.) beautiful thinking ; a well mind. Seperti makna dari kata 'eunoia' yang bermakna niat baik. Pertemuan tak sengaja mengundang perasaan. Menumbuhkan niat baik dari dua pemuda paham agama yang atas dasar ingin membimbing wanita yang mereka temui...