Pagi-pagi sekali Adin sudah berlarian di jalanan komplek. Gadis yang sudah rapi dengan seragam sekolah itu menuju ke arah rumah sahabatnya, siapa lagi jika bukan Anindira Yazia Alkhansa.
Adin tak sabar menunggu dijemput oleh Dira, entah kenapa hari ini Dira berangkat agak ngaret. Sedangkan Adin sudah tidak tahan ingin bercerita, rasanya setiap kata yang ia susun sudah berada di tenggorokan, siap diluncurkan.
Sampai di rumah Dira, Adin segera masuk ke dalam rumah. Memberi salam lalu menyalimi tangan Anita sopan sebelum kembali berlari menuju kamar Dira.
Brak!
Adin membuka pintu kamar Dira dengan kasar, menimbulkan bunyi yang tidak pelan. Si empunya kamar sukses dibuat berjengkit kaget atas ulahnya.
"LO NGAPA-"
"Sstt, lo jangan marah dulu. Gue haus!" potong Adin lalu segera masuk ke dalam kamar Dira, tanpa kata langsung meminum air bekal Dira yang belum sempat dimasukkan ke dalam tas.
"Lo ngapain lari-lari? Dikejar setan? Atau dikejar debt collector?" tanya Dira sinis.
Adin menolehkan kepalanya ke arah Dira, memasang senyum cerah lalu berlari untuk menutup pintu kamar Dira yang terbuka sepenuhnya.
Setelah itu, Adin menarik tangan Dira untuk berdiri berhadapan dengan dirinya di tengah-tengah kamar.
"Lo kenapa, sih, Din? Pagi-pagi udah ngerusuh di rumah orang. Untung aja tadi gue udah selesai pake kerudung, kalo pas lagi masang jarum gimana? Kan gak lucu kalo gue mati kegorok jarum, Din," protes Dira panjang lebar. Memang ya, kalau sudah emosi bawaanya jadi pintar nge-rapp.
"Stop. Jangan marah-marah dulu, gue ada berita penting."
Dira memutar bola matanya malas. "Berita penting apa, nih? Lo mah kucing tetangga beranak juga disebut berita penting. Lo kan gaje, " ujar Dira malas.
"Iihh bukan itu, Anindira! Gue yakin banget lo bakal terkejut denger berita ini!" sungut Adin menggebu.
"Ya udah apa? Cepet ngomong."
"Setelah lulus nanti..." Adin menghentikan ucapannya, ia mengambil jeda sebentar untuk mengambil nafas dalam.
"... GUE OTW JADI ISTRI ORANG!"
Dira memandang Adin tanpa ekspresi. Tangannya dilipat di depan dada lalu mendorong bahu Adin pelan agar tidak menghalangi jalannya untuk mengambil tas sekolah.
"Please, Din, ini masih pagi. Nyawa gue aja masih berceceran, lo gak usah halu," ujarnya tanpa melihat Adin.
"Ayo berangkat!" lanjut Dira sambil menarik tangan Adin. Namun ternyata Adin menepis pegangan Dira, lalu mencekal bahu sahabatnya itu sehingga kini keduanya kembali berhadapan.
"Gue serius, Dira! Semalem gue dikhitbah Arkan!"
Untuk beberapa detik Dira terdiam.
"BENERAN?!!" Pekik Dira masih tak percaya. Sedangkan Adin tak menjawab, gadis itu memasang senyum penuh arti sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Demi ap-"
"KAKAK, ADIN, CEPETAN BERANGKAT UDAH SIANG SAYANG."
- - -
"Ceritain gimana kronologinya si Arkan bisa ngelamar lo," pinta Dira sembari fokus pada kemudi.
Iya, kedua gadis itu berangkat menggunakan mobil milik Dira. Bukan tak sayang lagi pada si tambun atau ingin sombong karena punya mobil, tapi karena Dira merasa risih saat roknya sering kali tersingkap tak sengaja saat mengendarai motor.
Jadilah Dira memakai mobil yang dibelikan Surya sebagai hadiah ulang tahunnya tahun lalu. Mobil Rubicon wrangler hitam yang gagah itu pun melenggang membelah jalanan kota.
"Lo tau? Gu-"
"Gak."
Adin berdecak lalu menoyor kepala Dira pelan.
"Woy! Yang bener aja, kalo gue oleng gimana? Mau lo gak jadi nikah?" pekik Dira terkejut.
"Ya gak mau lah, amit-amit. Lagian lo main potong aja, aturannya tuh dengerin dulu, " protes Adin tak terima.
"Ya udah apaan?"
"Jadi awalnya tuh gue mau dijodohin, ya jelas gue auto nolak lah orang gue gak tau bentukan cowok yang mau dijodohin sama gue. Tapi gak bisa, ini perintah Papa, lo kan tau sendiri Papa gue kalo sekalinya marah serem banget."
Baru saja Adin ingin kembali melanjutkan penjelasannya, Dira sudah kembali menyela.
"Makanya nurut kalo orang tua bilang. Pilihan orang tua, tuh, pasti yang terbaik, Din, ya walaupun kita gak suka. Apalagi lo anak tunggal, pasti bokap nyokap lo khawatir sama masa depan lo. Duh, gimana sih, Din? Lo gitu aja gak tau? Harus gue ajarin, nih, keknya gimana jadi anak yang penurut," selaan panjang lebar yang berhasil membuat Adin menatap Dira horor.
"Ra, lo hobi banget keknya motong omongan gue? Lagian lo itu bukan anak penurut, tapi anak yang dipaksa nurut."
Dira mendengus. "Gak usah diperjelas juga kali."
"Lanjut mbak," ujar Dira sambil menepuk pundak sahabatnya.
"Nah terus ternyata yang datang si Arkan. Gimana gak meleyot gue, Ra?" lnjut Dira dengan senyum cerah, secerah matahari pagi saat upacara bendera.
"Terus lo terima?"
"Ya gue terima, lah! Gila kali kalo gue tolak. Lagian cewek mana, sih, di dunia ini yang gak mau sama Arkan?"
"JADI SELAMA INI LO SUKA SAMA ARKAN?" teriak Dira sambil membulatkan matanya ke arah Adin.
"Sialan gak pernah cerita!" desis Dira tak terima.
"Heh! Sini deketan, cocot lo minta digaplok keknya," decak Adin.
"Hehe sorry bestie, ayem peri terkejoed," balas Dira sambil tersenyum lebar tanpa dosa. Sedangkan Adin hanya mendengus kesal.
"Oh pantesan waktu kita shalat dzuhur di sekolah lo halu kalo arkan jodoh lo, sedangkan Riznan jodoh gue. Ternyata lo gak mau gue suka sama si Arkan."
Mendengar itu sontak saja Adin meledakkan tawanya.
"Haha, gue kira lo peka, tapi ternyata lo emang sebodoh itu," seloroh Adin sambil terus tertawa.
"Ya gue kira kan lo cuma halu doang waktu itu," dengusnya tak terima.
"Intinya lo gak boleh suka sama calon suami gue, kalo Riznan sih terserah mau lo suka atau enggak. Yang penting Arkan ganteng cuma punya Adinda cantik."
Dira memandang Adin julid, wajahnya dibuat seolah mual saat mendengar penuturan Adin. Tak tahu saja jika dalam hati Dira sudah bersorak kegirangan.
"Riznan harus buat gue," batin Dira dalam hati.
- tbc -
jangan lupa pencet bintangnya temen-temen, makasi <3
KAMU SEDANG MEMBACA
EUNOIA
Teen Fiction(n.) beautiful thinking ; a well mind. Seperti makna dari kata 'eunoia' yang bermakna niat baik. Pertemuan tak sengaja mengundang perasaan. Menumbuhkan niat baik dari dua pemuda paham agama yang atas dasar ingin membimbing wanita yang mereka temui...