Semilir angin berhembus menerpa permukaan kulitnya. Jemari kanan tergerak menyibakkan sejumput rambut yang menutup sebagian mata. Seperti hari-hari sebelumnya, Nara kembali mendatangi cafe dekat persimpangan untuk sekedar menikmati americano triple shot yang belakangan ini menjadi minuman wajib untuknya.
Netra terang Nara menatap kursi kosong di hadapannya, entah berapa lama waktu berlalu fokusnya sama sekali tak teralihkan.
Di tempat yang sama, beberapa saat yang lalu, Jeno duduk di sana. Malam itu, entah hanya perasaan Nara atau memang Jeno terlihat berbeda?
Hoodie oversize berwarna hitam membalut tubuhnya, sementara rambut legamnya di cepol asal. Nara sempat terpana sekian detik sebelum akhirnya kesadarannya kembali, jangan sampai Jeno mengetahuinya!
Nara melihat sisi lain dari Jeno, laki-laki yang terlihat sangat tertutup, pendiam dan sering menyendiri di sekolah bisa terlihat sangat berbeda ketika tak mengenakan seragam. Yang Nara tahu, Jeno bukan siswa yang menonjol di sekolah bahkan keberadaannya pun mungkin tak disadari oleh orang di sekelilingnya.
Lagi pula siapa yang akan sadar keberadaan Jeno, jika ia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri, makan siang sendiri sembari mendengarkan musik dari earphone nya atau tidur di pojok perpustakaan selama jam istirahat walaupun sesekali ia bersama sahabat dekatnya siapa lagi kalau bukan Jaemin.
Saat para siswa banyak yang mengikuti berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler atau bergabung dengan salah satu club dari banyaknya club yang ada di sekolah, Jeno enggan. Intensitas Jeno di sekolah juga terbilang saat singkat, hanya mengikuti pelajaran dan setelah usai ia akan meninggalkan lingkungan sekolah. Entah kegiatan apa yang Jeno lakukan di luar sekolah, Nara tak mengetahuinya.
Hei, lihatlah sejak kapan Nara jadi paham dengan kegiatan Jeno di sekolah? Terkesan seperti stalker.
Entah apa yang merasuki Nara belakangan ini, sejak pertemuan Jeno tempo hari ini di tempat ini kemudian ia meninggalkan secuil kertas berisikan nomor teleponnya ia tak bisa berhenti memikirkan Jeno bahkan hal tersebut berhasil mendorong kakinya untuk datang lagi ke cafe ini berharap sosok Jeno akan muncul. Nara hanya tak habis pikir, bagaimana Jeno menghilang dalam sekejap mata bahkan menghubunginya pun tidak sama sekali.
Beberapa hari yang lalu, sepulang sekolah ia mendatangi kediaman Jeno yang tak jauh dari rumahnya namun rumahnya terlihat kosong tanpa penghuni. Lampu teras pun dibiarkan menyala meskipun hari sudah siang. Jaemin berjinjit dari balik gerbang, melihat ke sekitar rumah namun ia tak menemukan apa pun selain rerumputan di halaman yang sudah mulai lebat.
Nara akan menoleh setiap kali ia mendengar suara lonceng di atas pintu masuk berbunyi, berharap jika Jeno yang datang. Namun, puluhan kali orang silih berganti keluar masuk tidak ditemui Jeno di sana. Satu gelas americano telah berpindah ke dalam perutnya, titik-titik air menetes meninggalkan jejak melingkar di bawah gelas bahkan langit di luar mulai gelap.
Hari ini sudah tiga jam Nara duduk seorang diri, mengharap kedatangan seseorang yang tak tahu bisa di diharapkan atau tidak. Mungkin hanya orang bodoh yang akan melakukan hal seperti yang dilakukan oleh Nara, namun jujur, dari dalam lubuk hati Nara paling dalam ia yakin bahwa Jeno akan muncul entah kapan.
Nara ingat, di sebuah sore beberapa tahun silam saat ayah masih ada berteman dengan cookies buatan ibu dan segelas cokelat hangat ayah pernah mengatakan padanya, "cukup ikuti kata hatimu, jika kau yakin akan hal itu maka lakukan saja. Tak peduli orang lain mau bicara apa, jika bukan kita yang mendengarkan apa kata hati siapa lagi yang mau mendengarkannya?"
Nara mendengar nasehat ayah dengan seksama, bagi Nara ayah adalah guru terbaik. Setiap ucapan yang keluar dari bibir ayah entah mengapa selalu benar, Nara sudah membuktikannya sendiri. Jika tidak benar hari ini, kemungkinan akan benar di kemudian hari. Jadi, tak ada alasan bagi Nara untuk tak mendengarkan ucapan ayah.
"Kebanyakan orang hanya mendengar ucapan orang lain dan merasa takut jika tak menjadi seperti yang di ucapkan orang lain, meskipun ucapan orang lain belum tentu benar. Bahkan terparah sampai mengingkari diri sendiri. Ra, ayah selalu bilang hal utama yang harus kau lakukan adalah membahagiakan diri sendiri sebelum kau membuat orang lain bahagia. Dengarkanlah kata hati sebelum mendengarkan orang lain. Selama kau bisa adil dengan diri sendiri maka kau juga akan begitu dengan orang lain. Jangan lupa bahagia, itu adalah hal terpenting untukmu."
"Ra, nanti jika saatnya tiba kau akan bertemu dengan seseorang yang bisa membuat jantungmu berdegup lebih cepat dari biasanya, seseorang yang membuat tidurmu tak nyenyak karena kau terus saja memikirkannya, seseorang yang membuat mu tak ingin berjauhan darinya bahkan tanpa alasan jelas kau ingin selalu tahu tentang orang itu entah keberadaan nya, kabarnya, apa yang sedang dilakukannya. Saat itu terjadi, ikuti kata hatimu namun kau juga harus gunakan akalmu untuk bisa mengendalikan perasaan mu." Entah apa yang dibayangkan ayah sore itu, namun wajahnya terlihat sangat bahagia senyumnya berseri-seri. "Saat hari itu tiba, tandanya anak ayah sudah dewasa karena sudah mengenal cinta."
Pada akhirnya Nara mengerti apa yang ayah katakan sore itu, membutuhkan waktu beberapa tahun untuk Nara memahaminya. Dan saat hari itu tiba, ayah hanya sebatas bayangan lalu ucapannya hanya sekedar kenangan.
"Meski demikian, bagi ayah kau tetap Nara kecil ayah. Sampai kapanpun dan selamanya akan seperti itu."
Nara tak tahu, jika ucapan ayah sore itu adalah pesan terakhir untuknya. Jika saja Nara tahu, maka sore itu ia akan lebih lama duduk bersama ayah ketimbang mengerjakan tugas sekolah yang pada akhirnya diundur batas waktu pengumpulan nya menjadi satu minggu setelahnya. Terlalu banyak hal yang ingin Nara pelajari dari sosok ayahnya, namun waktu tak bisa di putar ulang.
Seperti penyesalannya kepada ayah, Nara tak ingin mengulanginya untuk kali kedua. Menunggu Jeno kembali muncul adalah hal yang saat ini harus ia lakukan.
Kata orang menunggu itu melelahkan, karena tak tahu harus berapa lama waktu yang dibutuhkan sehingga penantian usai, tak jarang banyak membuat orang menyerah ditengah jalan bahkan rasanya waktu berjalan dengan sangat lambat. Nara hanya berusaha menikmati penantian nya, sehingga tak membuat nya menyerah di tengah jalan. Lagipula, cerita tentang Jeno belum juga dimulai bagaimana mungkin ia harus menyerah lebih dulu. Entah hal apa yang sedang Jeno alami, Nara rasa memang Jeno harus melakukannya dan bukan karena sengaja untuk menghindar darinya.
Dimanapun kau berada semoga semuanya baik-baik saja, Jen!
Nara melihat ponselnya yang tergeletak di meja menunjukkan pukul tujuh sebelum akhirnya mati karena kehabisan baterai. Sepertinya ia harus menyudahinya untuk hari ini.
Pada akhirnya Nara pulang.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Dad, I'm Dying | JENO ✓
Fanfiction[ANGST] [SICK] [JENO] [JAEHYUN] Ini bukanlah sesuatu hal yang istimewa, ini hanyalah sebuah catatan seorang remaja bernama Jung Jeno yang di pilih oleh sebuah penyakit aneh. *** #1 sadending 06072022 #7 jeno 20092022 bahasa | semi baku Pict. Cr. Pin...