Catatan Ketiga puluh tiga

646 36 6
                                    

Seperti biasa, pencet bintangnya dulu lalu spam komentar

Sudah? jangan lupa follow akun trulyzen yaa~

Tarik napas dan selamat membaca

▪︎▪︎◇▪︎▪

Pada akhirnya permintaan Jeno untuk pulang di kabulkan oleh Jaehyun dengan bantuan Jessica tentu saja.

Jaehyun sudah berdiskusi dengan tim dokter sebelum akhirnya membawa Jeno pulang, apa saja yang boleh dan tidak boleh Jeno lakukan. Latihan seperti apa yang bisa Jeno lakukan untuk melatih anggota geraknya, dan apa yang harus Jaehyun lakukan ketika Jeno mendapatkan serangan episode. Jaehyun mencatat segala sesuatu yang penting sehingga bisa menjadi ayah siaga untuk Jeno.

Lalu untuk biaya pengobatan selama di Amerika, bersyukurlah Jaehyun karena sejak catatan harian di terbitkan Jaehyun mendapatkan pemasukan lain untuk pengobatan Jeno walaupun selebihnya dibantu oleh ayah Jung. Jaehyun benar-benar tidak bisa menebak pikirannya ayahnya, meskipun sebenarnya berat bagi Jaehyun untuk menerimanya mengingat keadaan mereka berdua yang belum juga membaik namun Jessica memaksa agar Jaehyun menerimanya. Karena bagaimanapun ayah Jung adalah kakek Jeno jadi sudah sepantasnya seorang kakek membantu cucu nya.

Jeno menolak ketika akan di bawa ke rumah sakit, remaja Jung itu lebih memilih pulang ke rumah karena seujurnya ia sudah bosan berada di rumah sakit selama beberapa bulan terakhir. Lagi-lagi Jaehyun mengalah dan mengabulkan permintaan Jeno. Jessica yang mendengar kabar dari Jaehyun tentu saja merasa khawatir, berakhir pada Jessica mengirim tim dokter dan perawat untuk memasang semua alat yang Jeno butuhkan agar Jeno tetap mendapatkan perawatan intensif walaupun di rumah.

Jeno terlelap sesaat sampai di rumah, bahkan Jeno harus menggendong Jeno masuk ke dalam kamar. Saat ini Jeno menempati kamar di lantai satu untuk mempermudah Jaehyun jika Jeno membutuhkan sesuatu dan tidak perlu naik turun tangga.

Jaehyun telah menyuruh orang untuk membersihkan kamar bawah dan memindahkan semua barang-barang yang sebelumnya berada di kamar Jeno ke bawah.

Jeno tertidur dengan syal di leher, syal rajut milik Jaehyun yang dulu di buat oleh Jisoo dengan tangannya sendiri. Jaehyun menarik kursi kemudian menatap wajah damai Jeno yang sedang tertidur, sesekali remaja Jung itu tersenyum dalam tidurnya. "Ternyata kau sedang merindukan bunda, Jen." Jaehyun bermonolog. Baru kali ini Jaehyun melihat Jeno tidur senyenyak ini sejak ia di rawat di rumah sakit. Melihatnya mampu membuat hati Jaehyun menghangat.

Jaehyun beralih, ia pergi ke ruangan tempat favorit Jisoo dulu. Laki-laki itu membuka tutup piano yang sudah usang dan memainkan sebuah lagu—lagu kesukaan Jisoo. Jaehyun mencurahkan segala emosinya pada lagu itu, membuat siapa saja yang mendengar permainan piano Jaehyun ikut tersentuh karena terlalu sendu di telinga.

Jemari tangan Jaehyun berhenti saat mencapai bait paling ujung, lantas ia menundukkan kepala bersama dengan lelehan air mata yang menetes. Belakangan ini Jaehyun sering menangis, sebab rasa sakit yang ia rasakan. Ia tidak tahu kapan pesakitan ini akan berakhir dan dunia berhenti mempermainkannya.

Saat ini, Jaehyun merasakan seseorang tengah mengusap kepalanya. Jaehyun mengenal sentuhan ini bahkan aroma yang menguar taka sing bagi indera penciuman Jaehyun. Jaehyun mengangkat kepala dan mendapati sosok wanita berdiri di belakangnya. "Soo-ya?"

Wanita itu duduk di sebelah Jaehyun, kemudian ia meletakkan jemarinya pada tuts-tuts piano. Lalu sebuah melodi terdengar di telinga Jaehyun. Jaehyun masih diam mencerna situasi yang sedang terjadi, bagaimana mungkin istrinya berada disebelahnya? Persetan dengan hal itu Jaehyun bergabung untuk memainkan sebuah lagu bersama dengan Jisoo.

Di ujung bait Jisoo membuka perbincangan, bibirnya berucap dengan lembut tanpa menatap ke arah Jaehyun. "Pada akhirnya, sungai-sungai akan bermuara ke tempat yang sama." Meskipun waktu sudah berlalu, namun suara Jisoo terdengar masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu. "Laut yang dulu mempertemukan kita dan kini laut yang akan mempertemukan aku dan Jeno." Jaehyun masih belum bisa menangkap maksud ucapan Jisoo.

Jisoo tersenyum menatap Jaehyun, detik berikutnya air muka Jisoo berubah ada raut khawatir di wajahnya. "Apakah kau lelah, Jae?" Jisoo menyentuh pipi Jaehyun yang semakin tirus lantas beralih pada mata Jaehyun ada lingkaran hitam di sekitar mata Jaehyun—hasil dari begadang selama ini.

Jaehyun menggeleng, "tidak ada kata lelah jika itu untuk Jeno, anak kita."

Jisoo kembali melempar senyum, "Jeno memiliki ayah yang hebat sepertimu."

Jaehyun menggeleng, "aku... Aku... Bahkan aku malu menyebut diriku seorang ayah, terutama untuk anak seperti Jeno."

"Jae, apakah kau ingat saat Jeno masih di dalam perutku?" Jaehyun mengangguk. "Jeno bertumbuh, yang sebelumnya tak kemudian menjadi ada, yang sebelumnya hanya berukuran segini," Jisoo mengempalkan tangan dan memperlihatkan pada Jaehyun, "kemudian bertumbuh besar seiring berjalannya waktu dan pada akhirnya dia lahir."

Tentu saja Jaehyun mengingatnya dengan jelas, tumbuh kembang Jeno di dalam perut Jisoo sampai lahir bahkan sampai sebesar sekarang.

"Dunia itu bergerak secara dinamis, perubahan terjadi dimana-mana, Jae." Jisoo berujar. "Dan kita harus siap dengan perubahan-perubahan yang akan terjadi cepat atau lambat."

Jaehyun menatap wajah damai Jisoo yang kini terlihat lebih bersih dan berseri. "Kalau yang kau maksud dengan perubahan adalah suatu kehilangan, aku tak siap Soo-ya."

Jisoo menarik Jaehyun dan membawanya ke dalam pelukan, "aku mencintaimu Jae, sungguh. Aku jug mencintai Jeno seperti hal nya kau mencintainya."

Jisoo menepuk-nepuk punggung Jaehyun, "kau terlihat sudah lelah, Jae."

"Sudah aku katakan, jika itu untuk Jeno tidak ada kata lelah bagiku."

"Bibir mungkin bisa berkata demikian, namun wajahmu, tubuhmu mengatakan yang sebaliknya." Jisoo menjeda kalimatnya. "Seperti yang aku katakan dulu, kita tidak pernah benar-benar kehilangan orang yang kita cintai seperti hal nya kau tak pernah kehilangan aku. Karena sejak awal aku memang tidak pernah pergi."

Jaehyun menggelengkan kepala, "tidak, Soo-ya, aku mohon tidak kali ini."

Jisoo melepaskan dekapan tangannya di tubuh Jaehyun, ia memajukan wajahnya untuk mencium bibir Jaehyun dalam. Terasa hangat, sejak air mata Jaehyun menetes. "Sekarang saatnya bagiku untuk menjaga Jeno, kau sudah terlalu lelah Jae." Jaehyun terus menggeleng. "Aku mohon Soo-ya, aku masih sanggup untuk menjaga Jeno aku ingin bersama dengan Jeno lebih lama lagi."

"Kita tidak bisa selalu berada di gerbong yang sama seperti apa yang kau mau Jae." Kata Jisoo. "Hal ini berlaku pula untuk Jeno."

Jaehyun menggeleng, "aku mohon, aku tak mau lagi. Setelah kau kali ini Jeno? Lalu, aku ditinggalkan sendiri di dunia ini begitu maksudmu?"

Jisoo hanya tersenyum sebagai jawaban.

"Aku tidak bisa, Soo-ya. Aku tak akan pernah bisa, Jeno adalah hidupku, duniaku, segalanya bagiku."

"Aku tidak bisa berlama-lama disini, Jae." Kata Jisoo. "Aku yakin kau bisa melakukannya, Jae. Melewati semuanya seperti dulu, kau pernah mengalami ini dan berhasil melaluinya."

Jaehyun menggeleng dan berusaha menahan Jisoo, laki-laki menggenggam tangan Jisoo erat.

"Apakah ini bagian dari karma masa lalu?"

Jisoo hanya tersenyum, "aku mencintaimu Jae, sungguh."

Lalu sebuah cahaya sangat terang muncul begitu saja dan Jisoo hilang setelahnya. "Soo-ya!"

Napas Jaehyun memburu, keringat dingin mengucur di pelipis. Ia menoleh ke sekitar dan mendapati dirinya berada di kamarnya. Jaehyun meraih gelas di nakas dan meminum semua air di dalamnya. Mengusap peluh yang membanjiri pelipis, Jaehyun menghembuskan napas berat. "Hanya mimpi." Jaehyun berusaha mengatur napas nya yang tersengal-sengal.

"Namun kenapa rasanya begitu nyata?"

Jaehyun masih mengingat dengan jelas ucapan Jisoo tadi, dan ucapan itu terus terngiang di benak Jaehyun sampai beberapa hari berikutnya.

Sekarang saatnya bagiku untuk menjaga Jeno, kau sudah terlalu lelah Jae.

▪︎▪︎◇▪︎▪

Dad, I'm Dying | JENO ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang