Catatan Kedua belas

688 73 3
                                    

Kilat-kilat cahaya menantang melintang di penjuru langit, tak berapa lama kemudian disusul suara guruh yang menggelegar—petir menyambar-nyambar. Hujan turun begitu deras di iringin angin kencang yang bertiup dari barat. Setengah jam berlalu, sejak Jaehyun pamit untuk pulang mengambil beberapa barang penting dirumah meninggalkan Jeno seorang diri di ruang rawatnya. Jeno tak melakukan apapaun dan hanya berbaring di tempat tidur seperti malam yang sudah-sudah.

Niatan Jeno untuk menghubungi Nara tempo hari akhirnya ia urungkan, walaupun sebenernya ia sudah beberapa kali menyusun kata untuk berkirim pesan namun hal tersebut nampaknya kurang tepat. Lebih baik baginya menunggu waktu sampai ia bisa kembali ke sekolah dan bertemu langsung dengan gadis itu. Setelah serangkaian terapi Jeno lakukan, keadaannya semakin membaik setiap harinya. Bahkan ia melakukan terapi untuk melatih kembali kaki-kakinya yang sempat mati rasa dan tak bisa digerakkan.

Jeno melirik jam dinding yang kini sudah menunjuk angka sembilan, tak mungkin Jaehyun akan kembali ke rumah sakit dalam waktu dekat jika hujan masih turun dengan deras. Tangan Jeno teralih untuk mengambil buku catatan yang sengaja di bawa oleh Jaehyun beberapa waktu yang lalu. Dari lima buku catatan, Jeno mengambil buku bersampul biru yang terletak paling bawah.

November, 11 2009

Diluar hujan dan aku tak bisa tidur, aku masih menunggu ayah yang belum pulang. Pagi tadi ayah sudah janji, kalau ayah akan bercerita lagi tentang bunda. Tentu saja aku senang!

Tiba-tiba, aku ingat perkataan ayah dulu. Waktu aku belum lahir, ayah sering memainkan piano bersama bunda setiap kali turun hujan. Kata ayah biar suara petirnya tidak kedengaran, karena bunda takut dengan suara keras. Ayah bermain piano dan bunda bernyanyi. Kata ayah, suara bunda itu baguuuuuusssss bangeeeeeeeeet sampai-sampai ayah bilang begini, "kalau bunda nyanyi, suaranya itu bikin ayah jatuh cinta lagi dan lagi" bahkan ayah senyum-senyum sendiri sambil bayangin bunda.

Tapi, kenapa ayah tak pulang-pulang, sih? Padahal aku sudah tak sabar, dengar kelanjutan cerita tentang bunda.

Sampai sekarang pun, Jeno masih mengingat dengan jelas hari itu. Unjung bibir Jeno tertarik ke atas, saat ia membaca kalimat demi kalimat yang terukir diatas kertas yang kini mulai menguning termakan waktu. 

Menyibak lembar-lembar berikutnya, Jeno kembali tersenyum saat menemukan catatan masa lalu tentang Jisoo. Jaehyun merekam semua hal tentang Jisoo dalam ingatannya sampai detail-detail terkecil, kemudian menyeritakan pada Jeno sedikit demi sedikit dan terus berlanjut. Tak kurang sedikitpun, walaupun Jeno belum pernah melihat sosok Jisoo secara nyata namun selama pertumbuhannya sejak kecil sampai sekarang, ia merasa bahwa Jisoo ada didekatnya dan menemani hari-harinya melalui lisan-lisan Jaehyun.

Januari, 11 2010

Aku di hukum!

Ayah batal bercerita tentang bunda, gara-gara aku bolos sekolah. Memang aku salah, tapi kenapa ayah sampai membatalkan janjinya? Padahal tadi aku sudah menghadap tembok untuk merenungkan kesalahan kemudian meminta maaf. Apa tidak cukup ayah menghukumku dengan memotong uang saku seminggu ke depan, sampai ayah batal bercerita?

Padahal aku kangen bunda

Bunda. Kenapa tempat bunda begitu jauh. Jadi, Jeno tak bisa ke tempat bunda, Jeno tak bisa cerita sama bunda kalau ayah lagi marah kaya gini. Eh tapi, kalau Jeno nulis di buku harian kaya bunda berati kan sama saja Jeno sedang cerita sama bunda, ya?

Ayah memang baik tapi kadang jahat, masa uang saku Jeno di potong setelah Jeno menghadap tembok satu jam, bun. Kalau bunda disini, bakal hukum Jeno juga tidak bun seperti ayah? Kan bolos sekali tak masalah, teman-teman Jeno juga ada yang bolos tapi ayah hanya hukum Jeno. Jadinya Jeno ikutan marah sama ayah, eh tapi kalau Jeno marah juga sama ayah nanti bunda sedih ya? Tapi Jeno sudah terlanjur marah bun, aduh Jeno pusing.

Dad, I'm Dying | JENO ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang