"Aku... Ayah terburuk yang pernah ada."
Pernyataan Jaehyun membuat Jisoo mengerjap, kemudian ia kembali tersenyum. "Setelah apa yang kau lakukan untuk Jeno? Justru kau adalah ayah terbaik untuknya."
Jaehyun menggeleng. "Aku tak merawatnya dengan baik sehingga dia bisa mengalami hal ini. Kalau saja aku bisa memberikan waktu lebih banyak untuk bersamanya, merawatnya dengan baik, memberikan perhatian lebih dan memastikan semuanya baik-baik saja pasti hal ini tak akan pernah terjadi. Aku terlalu sibuk bekerja, aku hanya berkutat dengan duniaku sendiri sampai lupa jika ada Jeno yang harus aku perhatikan. Aku hanya-"
Jisoo menempelkan jari telunjuknya di bibir Jaehyun, "ssst... Berhenti untuk menyalahkan diri sendiri." Jisoo kembali tersenyum, "tak ada sekolah menjadi orang tua. Semua orang tua belajar dan melakukan kesalahan adalah bagian dari proses tersebut. Semua keputusan yang diambil, tindakan yang dilakukan orang tua adalah demi kebaikan anaknya. Sebagai orang tua kita mengupayakan yang terbaik untuk anak kita, menurut kita. Meskipun anak kita atau orang lain belum tentu sependapat. Tapi, kau sudah melakukan sebaik yang kau bisa. Menjadi ayah sekaligus ibu untuknya. Itu bukan perkara mudah, tidak semua orang bisa namun kau bisa melakukannya sampai sejauh ini."
Jaehyun menatap lekat fitur wajah Jisoo, meskipun waktu sudah berlalu namun wajah Jisoo masih sama seperti terakhir kali Jaehyun melihatnya. "Apakah aku boleh memelukmu?"
"Tentu saja." Jisoo melebarkan tangan, disusul Jaehyun yang mendekat dan membawa perempuan itu ke dalam dekapannya.
"Aku merindukanmu." Jaehyun bisa mencium dengan jelas aroma tubuh Jisoo, merasakan sebuah pelukan seperti yang selama ini selalu ia dambakan. Kehangatan yang sudah lama menghilang, kini kembali Jaehyun rasakan. Berada dalam pelukan Jaehyun adalah salah satu hal yang menenangkan Jaehyun dan bisa membuat hatinya menghangat. Perempuan itu, mempunyai magnet tersendiri untuk menarik Jaehyun meleburkan sekat. "Temani aku, aku tak bisa berdiri sendirian."
"Kematian hanyalah sebuah pintu menuju dimensi lain." Jisoo mengelus surai hitam Jaehyun. "Kau tidak sendiri dan tidak pernah kehilangan aku, karena sejak awal aku memang tak pernah pergi."
"Kau... Pergi."
Jisoo menggelengkan kepala, "aku selalu menemanimu, menemani Jeno. Aku tidak benar-benar lenyap dalam dari hidupmu, kita hanya berada di ruangan yang berbeda."
"Namun aku tak bisa melihatmu dan berkomunikasi denganmu, lagi."
"Ini adalah cara kita untuk saling berkomunikasi, kau bisa melihatku dengan cara ini."
Rasanya Jaehyun tak rela jika pelukan ini akhirnya terlepas. "Lalu mengapa hari itu kau bisa-kau, kau tak ada setelah itu."
Jisoo menarik tangan Jaehyun untuk duduk di sebuah kursi kosong, "ada alasan kenapa aku lebih mencintai kereta dan stasiunnya di bandingkan dengan moda transportasi lainnya, Jae." Jisoo menunjuk sebuah papan bertuliskan arrival baru setelahnya Jaehyun sadar ia sedang berada di sebuah stasiun tempat dimana Jisoo sering menunggunya dulu.
"Hidup itu perihal kedatangan dan kepergian, menyambut yang datang merelakan yang pergi. Ada kehidupan lain yang lahir, kebalikan dari itu maka akan ada kematian yang menyertainya entah dalam waktu cepat ataupun lambat. Aku tak bisa selamanya berada dalam gerbong yang sama denganmu, seperti apa yang kau inginkan."
"Hari itu aku seperti kehilangan pijakan, kau tak ada dan aku tak tahu harus berbuat apa kepada Jeno. Aku tak tahu bagaimana menjadi seorang ayah baik, bagaimana cara menghadapi bayi baru lahir yang belum bisa melakukan apapun selain menangis-tentu saja, aku-bahkan menyentuhnya saat itu aku takut. Aku takut jika bisa melukainya, karena tubuhnya-kau tahu lah."
"Tapi nyatanya, kau bisa Jae." Jisoo berujar. "Kau sudah melewati masa itu dan kau berhasil menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuk Jeno. Ketakutan-ketakutan itu hanya ada di dalam pikiranmu saja, namun sebenarnya kau lebih daripada itu. Ada satu hal yang harus Jeno ketahui juga syukuri, Jae-"
"Bahwa Jeno memilikimu sebagai ayahnya, kau adalah ayah terhebat untuk Jeno."
Jaehyun terdiam sepersekian detik, "ada saat dimana aku ingin menyalahkan semesta. Kenapa harus aku yang mengalami kehilangan seperti itu. Aku menangis bahagia menatap wajah mungil Jeno karena akhirnya aku bisa bertemu dengannya setelah menunggu cukup lama namun saat bersamaan aku harus menangis, berduka karena kehilanganmu."
"Kita tak pernah benar-benar kehilangan orang yang kita cintai, seperti halnya kau tak pernah kehilangan aku. Kita hanya berada di gerbong yang berbeda, Jae." Jisoo menggenggam tangan Jaehyun erat, "waktu tidak bergerak namun tidak juga menetap. Waktu itu berubah. Di masa lalu, kita berada di gerbong yang sama namun di masa sekarang ada Jeno yang berada di gerbong yang sama denganmu."
"Lalu, setelah ini apakah kau akan membawa Jeno ke dalam gerbong yang sama denganmu?" Tanya Jaehyun. "Lalu bagaimana denganku?"
"Tidak sekarang." Jisoo mengulurkan tangan menyentuh salah satu pipi Jaehyun, "masih ada waktu untuk kau bisa belajar menjadi orang tua yang lebih baik untuk Jeno, anak kita."
Bisa dikatakan Jeno adalah Jaehyun namun dalam versi lain, Jeno memiliki postur dan visual seperti yang dimiliki Jaehyun namun tidak dengan matanya. Jeno memiliki mata Jisoo. Terkadang Jaehyun sampai tak sanggup memandang Jeno tepat di retina, karena mengingatkannya pada sosok Jisoo. "Jeno memiliki matamu."
Jisoo mengangguk setuju, "hanya itu. Selebihnya sama persis denganmu. Aku bisa melihat dua Jaehyun secara bersamaan."
Peluit-peluit dibunyikan, kilat-kilat cahaya terlihat semakin mendekat. Jaehyun bisa melihat bahwa ada kereta yang sedang mendekat.
"Kau harus pulang, Jae." Jisoo berdiri dari tempat duduknya. "Ada Jeno yang menunggumu." Jisoo berdiri di hadapan Jaehyun, menatap manik Jaehyun begitu dalam kemudian membubuhkan ciuman di dahi. "Keretaku akan berangkat, aku menyayangi kalian. Always."
Jisoo berlalu, ia naik ke dalam kereta kemudian tak butuh waktu lama kereta itu beranjak pergi meninggalkan stasiun tempat dimana Jaehyun sekarang terduduk.
"Ayah."
Jaehyun mendengar Jeno memanggilnya. Suaranya sangat jelas dan terasa sangat dekat.
"Ayah."
Jaehyun bisa merasakan bahwa Jeno ada disini, di tempat yang sama dengannya, sekarang. Lalu, sebuah cahaya putih yang menyilaukan muncul. Jaehyun tak bisa melihat apa-apa lai setelahnya, tidak dengan kereta, tidak dengan papan kedatangan, tidak dengan rel kereta bahkan tidak dengan stasiunnya. Ia hanya melihat ruangan serba putih dan-
"Ayah bangun, badan ayah bisa sakit kalau tidur disini."
-wajah Jeno.
Saat Jaehyun membuka mata, ia mendapati Jeno yang menatapnya dari atas kursi roda. Jaehyun terbangun kemudian mengucek kedua mata, ia mengerjap-ngerjap sembari berusaha mengembalikan kesadaran.
"Aku sudah selesai menjalani beberapa tes, kalau hasilnya sudah keluar nanti dokter Seo akan menghubungi ayah." Jeno berujar. "Padahal aku sudah bisa jalan, tapi dokter Seo masih saja menyuruhku untuk memakai kursi roda. Padahal katanya aku harus banyak latihan jalan-jalan biar-"
Jaehyun mendekati Jeno kemudian memeluknya erat, membuat Jeno kehabisan kata-kata. "Ayah mencintaimu, Jen."
Satu hal yang tak Jaehyun sadari adalah bahwa Jeno tahu jika dirinya menangis di bahunya.
▪︎▪︎◇▪︎▪︎
[soo]
Ada saat dimana orang tua jadi cengeng, apalagi jika itu menyangkut tentang anak
sejauh ini, udah kerasa belum angst nya?
tiba-tiba masuk draft lagi :( oia, di kalian bab nya acak atau urut? Kok di aku acak2 an ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Dad, I'm Dying | JENO ✓
Fanfiction[ANGST] [SICK] [JENO] [JAEHYUN] Ini bukanlah sesuatu hal yang istimewa, ini hanyalah sebuah catatan seorang remaja bernama Jung Jeno yang di pilih oleh sebuah penyakit aneh. *** #1 sadending 06072022 #7 jeno 20092022 bahasa | semi baku Pict. Cr. Pin...