“Mampir ke rumah gue dulu, ya.”
Ajakan yang mereka duga akan menyenangkan justru berubah menjadi mala petaka untuk mereka, sebab myawa mereka dipaksa melayang dengan siksaan Devon yang pedih.
Devon dengan tanpa hati terus memukuli seluruh badan Mawar sedangkan Stevi ia suruh menonton.
“Gu-gue mohon, Dev.” Stevi tersedu melihat temannya yang bersimbah darah, sama seperti dirinya. Ia tidak kuat lagi melihat dan merasakan siksaan fisik dan batin begitu tahu kalau Mawar sudah tiada, mungkin sebentar lagi dia akan menyusulnya.
“Sabar, Sayang. Waktumu sebentar lagi akan tiba.” Devon berucap manis.
“Enggak, Dev! Gue mohon, lepasin gue…hiks.” Tidak, bukan mati yang dirinya inginkan, tetapi bebas!
“No.”
“Gue mohon, gue bakalan lakuin semua yang lo minta. Gue-gue juga gak akan buka mulut soal masalah ini.” Anggap saja dirinya tidak setia kawan karena mementingkan diri sendiri dan melindungi penjahat yang telah membunuh temannya, tetapi apa daya? Nyawanya juga dipertaruhkan di sini. Kalaupun Tuhan ingin mencabut nyawanya, ia tidak berharap begini caranya.
“Gue janji, apapun yang lo mau pasti gue akan berusaha untuk kabulin.” Stevi berusaha berunding dengan Devon.
“Lo bukan Tuhan yang bisa hidupin kembali Mama gue, lo bisa, penuhin itu?” balasan Devon membuat Stevi terdiam takut. “Tapi, kalau lo mau bebas…itu gak mungkin!”
Dan setelahnya hanya terdengar teriakan dari mulut Stevi. Devon tahu dirinya kejam, tetapi dirinya tidak perduli. Wajahnya yang tampan sudah terciprat oleh darah milik kedua gadis malang itu.
Devon berjongkok di depan wajah Stevi, “lo beruntung karena mati ditemenin idola,” ujar sosiopat itu sambil terkekeh saat deru napas Stevi tak terdengar lagi, ia mengelus surai milik gadis itu. “Gue bakalan rindu bacotan kalian.”
-o0o-
Kayrani tersenyum saat melihat mobil pacarnya memasuki pagar rumahnya.“Hai.”
“Hai, Dev. Telat lima menit, but it’s okay.”
Devon mengacak rambut Kayrani gemas. “Mama sama Papa kamu mana?”
“Lagi ke kondangan, aku jadi sendirian di rumah malam-malam begini.” Adu Kayrani manja.
“’Kan sekarang ada aku, kamu gak usah takut.”
Kesempatan bagus buat apa-apain dia. Devon menggeleng begitu pikiran buruk menggelayuti otaknya.
“Kapan kamu ajak aku main ke rumah dan kenalin ke orang tua kamu?” gadis itu cemberut.
“Kalau kamu ketemu, nanti kamu takut.”
“Kenapa? Galak, ya?”
“Bukan, nanti kalau udah waktunya pasti kamu aku ajak. Sekarang mau jalan kemana?”
“Kemana aja, asalkan sama kamu.” Gombalan manis dari gadisnya membuat Devon tersenyum.
“Lidah kamu manis.”
Sampai rasanya pengen gue tarik.
-o0o-
Jovan memuntahkan isi perutnya di toilet rumah Devon. Seharusnya dirinya terbiasa melihat wujud para korban sahabatnya.
Bisa-bisanya saat dirinya membuka pintu dan berjalan ke ruang keluarga disambut dengan dua mayat yang di dudukkan di sofa dengan televisi yang menyala. Jangan lupakan juga jamuan berupa es sirup dan buah.
“Devon gila!” ujar Devon, setelah pulih ia mencari keberadaan sahabatnya.
“DEV! DEVON!” teriaknya saat rumah besar ini begitu sepi, padahal dirinya ingin meminjam buku tugas, ia sudah mengirim pesan, tetapi tidak dibuka oleh Devon. Jadi, dirinya berinisiatif untuk datang langsung ke rumah Devilio.
“YA TUHAN!” lagi, jantung Jovan serasa dicabut dari tempatnya tatkala ia membuka sebuah pintu kamar terdapat sebuah peti. “Tenang…tarik napas.”
Perlahan Jovan mendekati peti itu. “Tuhan, sahabat saya sudah gila.” Keluhnya dengan mata merem melek melihat sosok mayat wanita paruh baya. Ternyata, kegilaan Devon sudah sampai tahap mengawetkan mayat.
“Ini gak bisa dibiarin, tapi entar kalau gue beritahu dia. Gue yang mati gimana?” jerit Jovan frustasi.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
WANTED ✓
Teen Fiction• PERINGATAN! 16+ • FOLLOW AKUN AKU, DULU, YA^^. WANTED! _________ Kayrani Angeline, baru mengetahui kalau pacarnya, Devilio Devon adalah seorang sosiopat. Ia ingin lepas dari hubungan mereka yang tidak sehat, sebab, cowok itu selalu berlaku kasar k...