1.2. Romantic sociopath

2.6K 190 2
                                    

Air mata mamanya terus terngiang diingatan Devon, begitu seorang perampok dengan kejam memukul kepala mamanya dengan guci, lalu menusuk dada orang yang melahirkannya menggunakan sebilah pisau. Kemudian perampok itu melarikan diri bersama hasil jarahannya.

Untuk anak umur tujuh tahun seharusnya tidak boleh melihat kejadian itu. Namun rupanya pengecualian baginya, wanita yang mengandung dirinya, tewas di depan mata.

Kejadian nahas itu berlangsung dua belas tahun lalu, dan pembunuh itu masih berkeliaran di luar sana. Darah, tusukan, pembunuh mama, teriakan kesakitan mamanya terus berputar bagai kaset rusak di kepala Devon.

Terlahir sebagai anak yang tidak mempunyai figur seorang ayah adalah hal yang berat baginya dulu, tidak adanya kepala keluarga yang melindungi dan mencari nafkah untuk keluarga membuatnya sempat iri dengan teman-temannya.

“Aku pergi dulu, ya, Ma. Yang tenang di sini,” ucap Devon kepada jasad mamanya yang ia awetkan dalam peti.

Devon memakai topi warna hitam sebelum keluar mencari angin, mungkin juga mangsa. Cowok itu melihat keadaan sekitar, angin berhembus teratur tidak terlalu kencang, hujan rintik-rintik, dan bulan masih bersinar terang.

“Let’s go,” ucap Devon seraya memakai kupluk hoodienya.

-o0o-

“KAY, BELIKAN MAMA GARAM SAMA MERICA BUBUK.”

“IYA MA, GAK USAH TERIAK.” Kayrani keluar kamar dengan menghentakkan kaki, kegiatan menonton drama korea-nya jadi terhambat akibat perintah dari Nyonya Rumah.

Gadis itu melihat sebentar jam dinding, “udah malam loh, Ma. Masa nyuruh sekarang? Besok pagi aja di tukang sayur, aku takut keluar rumah sekarang.”

“Masih jam setengah delapan, Kay. Cuma beberapa langkah aja dari rumah, lebih baik kamu berangkat sekarang.”

“Tapi Ma….”

“Sekarang, Kay.”

Mengerucutkan bibir, Kayrani berjalan keluar rumah dengan perasaan takut. Ia memegang lehernya yang terasa dingin, entah kenapa bulu dikulitnya berdiri.

“Serem banget sih, jalannya.”

Kayrani mempercepat jalannya menuju warung langganan.

“Mak Kas, ada garam sama merica bubuk, gak?” tanyanya kepada pemilik warung.

“Cuma ada merica biasa, garamnya abis. Ini Mak juga mau tutup warung. Hawanya gak enak soalnya, takut ada preman.”

“Oh, yaudah, Mak. Kalau begitu Kay balik.”

“Iya, hati-hati.”

Benar kata Mak Kas, hawa malam ini lebih aneh dari malam kemarin. Bulu kuduknya sampai meremang.

Ponselnya berbunyi, ada telepon masuk dari pacarnya. Seketika wajahnya langsung cerah karena ada teman mengobrol.

“Pulang.”

“Hah?”

“Pulang, udah malam kenapa masih di luar?”

Kayrani celingak-celinguk, tidak ada keberadaan Devon.

“Dari mana kamu tahu aku lagi keluar rumah?”

“Aku selalu tahu, Sayang. Sekarang pulang!”

“Mau beli garam sama merica dulu,” rengek Kayrani.

“Kalau begitu  biar aku yang beli, sekarang pulang, jangan bantah omongan aku!”

Telepon diputuskan sepihak oleh Devon. Langkah kaki Kayrani sangatlah ragu untuk pulang ke rumah tanpa membawa belanjaan. Namun, tidak ada salahnya ‘kan, untuk sedikit percaya dengan pacarnya.

Tidak jauh dari lokasi Kayrani, Devon tengah membekap mulut seorang remaja yang ia perkirakan umurnya ada di bawahnya.

“Sut, diem!” Devon menaruh telunjuknya di bibir, “lo, gue iket di sini sebentar. Gue mau beliin garam sama merica, buat bumbuin daging lo nanti.” Cowok itu mengikat tangan dan kaki korbannya, membawanya ke balik semak belukar.

“Lo boleh teriak, itu kalau bisa, sih. Oke, gue mau cabut dulu,” ucap Devon seraya menepuk pundak mangsanya.

Setelah memastikan korbannya mengangguk, sosiopat itu berjalan mencari toko atau warung yang masih buka di jam segini.

Setelah mendapatkan apa yang Kayrani bilang, cowok itu langsung bergegas ke rumah pacarnya yang tidak jauh dari tempat ia mengintai gadis itu.

“Kay.”

Mata gadis itu berbinar senang saat Devon memanggilnya.

“Ini, pesanan kamu.”

“Uwah, makasih Dev!” Kayrani mengambil kresek hitam dari tangan Devon, “aku kira kamu bohong.”

Devon tersenyum, “mana mungkin aku bohongi kamu.”

“Ya, siapa tau? Aku kira kamu gak akan keluar rumah, ‘kan udah malem.”

Tawa ringan keluar dari bibir Devon. “Justru cowok malah suka keluar malem-malem, terus dari tadi kamu di luar rumah?” Devon melihat pintu rumah Kayrani yang tertutup.

“Aku enggak mau mauk kalau gak ada hasil,” ucap Kayrani malu.

“Hasilnya udah ada, sekarang masuk!” perintah Devon.

“Kamu juga langsung pulang, ya. Jangan nongkrong terlalu malam, apalagi kasus pembunuhan misterius lagi marak sekarang.”

Devon mengangguk serta memandang wajah Kayrani dengan serius.

“Good night, My Medicine,” ucap Devon kala gadis itu sudah menutup pintu.

Devon kembali menemui calon korbannya, matanya melihat ada air mata yang menetes dari mata remaja laki-laki itu.

“Untuk pertama kalinya, gue lepasin korban, tapi asal lo tau! Kalau sampai lo buka mulut soal ini, siap-siap aja gue ambil lidah lo.” Ancam Devon seraya melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan mangsanya.

Selepas ikatan itu terbuka, remaja laki-laki itu langsung lari terbirit-birit menjauhi Devon.

Sosiopat itu langsung tertawa remah, menertawakan dirinya sendiri. Atas apa yang dilakukannya tadi.

“Detak sialan!” tangan Devon memegang dada bagian kirinya.

TBC.

WANTED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang