16.1. After All This Time

1K 93 6
                                    

Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Namecodes Airlines dengan tujuan Penerbangan ke New York, Amerika, akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih Dua puluh dua jam dan Tiga puluh menit, dengan ketinggian jelajah Tiga puluh lima ribu kaki di atas permukaan air laut.

Pengumuman dari seorang pramugari cantik itu membuat bibir Kayrani menyimpulkan senyum. Sebentar lagi, ia akan memenuhi panggilan Jovan.

-o0o-

Kemarin.

“Welcome to Alexandre's mansion.”

Jovan terbungkam akibat kemewahan mansion milik keluarga Ellena. “Eh, kok Devon ada di mansion lo?” heran Jovan. “Jangan-jangan lo, ya, yang culik sahabat gue kemari?” tuduhnya.

Ellena menyingkirkan telunjuk Jovan dari hadapan mukanya, “bukan, lebih tepatnya...yang bawa Devon kesini itu Bokapnya sendiri.”

Bibir Jovan terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung.

Ellena menyadari kebingungan cowok itu. Itu wajar, sebab Jovan sama seperti dirinya ketika tahu fakta yang sebenarnya dulu.

“Ellena.”

Yang merasa namanya dipanggil pun menoleh. Ellena menarik napas, sepertinya ini waktu yang tepat.

“Ma, Pa. Kenalin, dia Jovan, sahabatnya Kakak.” Ellena menunjuk Jovan.

“Selamat sore Om, Tan... HEH, APA?!” Jovan mengerjap, seperti ada yang salah. Namun apa? Memori oh, memori, ayo putar balik suara Ellena tadi.

Sahabatnya Kakak

Ketiga orang bergaya elegan itu menatap Jovan yang bengong.

“Hai, Jovan....” sapa Mama Ellena.

“Ekhm!” suara berat dari Papa Ellena berhasil mengembalikan kesadaran Jovan.

“Em, anu.” Jovan melirik Ellena memohon.

“Ini Papa gue, Dirga Alexandre Devilio. Yang ini Mama, Sofia Alexandre,” ucap Ellena. “Dan gue, Ellena Alexandre.”

Cowok itu mengangguk sambil tersenyum, “saya Jovan.”

Good, Ellena.” Sofia memandang anaknya.

“Oke, lo pasti udah gak sabar ’kan, Jov?” tanya Ellena, setelah orang tuanya pergi keluar mansion.

“Di mana Devon?”

Jovan deg-degan ketika Ellena membawanya ke hadapan suatu pintu.

“Devon ada di dalam, masuk, gih.” Ellena menyenggol lengan Jovan.

“Eeeh, lo mau kemana? Ellena!” Jovan ingin menahan Ellena yang akan pergi, tetapi gadis itu terus berjalan mengabaikan seruannya.

Tangan Jovan sedikit gemetar ketika menyentuh gagang pintu.

“Huffft.” Jovan menarik napas sebentar.

Pintu besar itu telah terbuka, gelap, seketika menyambut kedatangan Jovan.

“Dev, lo ada di sini ’kan? Dev.” Suara Jovan seakan memecah keheningan di ruangan luas ini. Televisi berukuran lebar menyala tanpa ada yang menonton dan ada makanan di meja kecil masih tersisa setengah. Kemana penghuninya?

“Devon, jawab gue. Lo ada di mari ’kan?” tanyanya sekali lagi.

“Oit!”

Mata Jovan merebak, ia segera berlari menuju balkon. Ingatkan dia untuk tidak menangis. Karena ia adalah seorang lelaki jantan. Namun, ia hanya manusia biasa yang telah lama kehilangan seseorang sahabat.

“Cih,” desis seseorang yang badannya dipeluk oleh Jovan.

“Gue kira lo udah di Neraka.” Jovan menarik dirinya, kemudian memindai keseluruhan wajah Devon. “Lo kurusan, Dev.” Jovan menghirup ingusnya.

Bahkan kini jemari tangan Jovan menyentuh muka Devon, meraba beberapa bekas luka.

“Ck....” desis Devon ketika Jovan memiringkan kepalanya.

“Lo dapet semua luka ini dari mana, Dev? Lo baik-baik aja ’kan, selama di sini?”

Devon tersenyum tipis, “menurut lo?”

Jovan menggeleng, melihat luka-luka tadi, sudah bisa menggambarkan bagaimana keadaan Devon sebelum dirinya datang.

“Siapa yang ngelakuin? Kenapa lo gak lawan?” tuntut Jovan.

“Dirga Alexandre, karena gue pantes dapat luka ini.”

Sekali lagi Jovan memeluk Devon, kali ini sedikit erat. Devon sendiri terkekeh dengan tingkah sahabatnya, ia tidak berbicara lebih. Namun ia balas memeluk seraya menepuk punggung Jovan.

-o0o-

Jovan menutup pintu kamar Devon, ia baru keluar setelah sahabatnya itu tertidur pulas dengan bantuan obat.

“Udah?” Ellena menghampiri Jovan.

Jovan mengangguk, “gue mau tanya sama lo.”

“Apa?”

“Lo... adiknya Devon?” tanya Jovan.

Ellena tertawa, “iya, miris ’kan?”

“Miris?”

Gadis itu mengangguk dan mengajak Jovan turun. “Gue suka sama cowok yang dulu culik gue, mirisnya darah yang mengalir dalam diri gue dan Devon itu sama. Takdir emang gak ada yang tau,” tutur Ellena kembali tertawa. Menertawakan dirinya serta takdir yang ada.

“Brother complex,” balas Jovan. “Tapi gue gak heran, soalnya pesona Devon emang mematikan. Wajar kalau lo suka.”

Anyways... Devon masih pacaran?”

Jovan sontak melotot, kemudian menepuk dahinya. “Ya ampun! Gue lupa kabarin pacarnya!” jeritnya lantas buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya.



TBC.

Kameramen menangkap beberapa pembaca yang tidak vote📸Jadiii vote dong :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kameramen menangkap beberapa pembaca yang tidak vote📸Jadiii vote dong :)

Btw, makasih yang tetap stay baca cerita Devon♥️♥️♥️

WANTED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang