6.1. Hai

1.2K 119 31
                                    

“Nama gue, Nalta Kevano. Panggil gue Nalta,” ujar siswa baru itu dengan lantang.

“Kalau aku panggil Sayang, boleh?” tanya seorang siswi seraya memilin rambutnya.

“Terserah.” Nalta tersenyum menatap anak perempuan yang tengah malu diperhatikan olehnya.

“Oke, Nalta. Selamat datang di kelas MIPA 1, ibu harap kamu cepat menyesuaikan diri. Kamu bisa duduk di samping Ronald.” Guru perempuan tersebut menunjukkan bangku kosong di sebelah cowok yang melambaikan tangan ke arah Nalta.

Nalta melewati jajaran bangku, sebab, bangku yang akan ia tempati berada di belakang sendiri. Saat ia lewat, matanya bertatapan dengan mata tajam seorang cowok yang akan pernah membunuhnya.

“Kamu kenapa tatap anak baru itu segitunya? Kamu suka, ya?” selidik Kayrani.

“Ngaco,” ujar Devon.

“Terus, ngapain kamu tatap-tatapan sama Nalta. Kamu incar dia?”

Devon menggenggam tangan Kayrani, “selama ada kamu, aku....”

“Kamu janji gak akan lukain orang,” sahut gadis itu.

Devon terkekeh seraya mengelus rambut Kayrani.

“Buka buku paket Kimia halaman 200, untuk Nalta bergabung dulu dengan Ronald, ya. Istirahat nanti kamu bisa ambil buku paket di perpustakaan,” pesan guru Kimia.

“Baik, Bu.”

-o0o-

Nalta membasuh mukanya. Kepalanya pening, jantungnya berdebar-debar saat ia bertemu lagi dengan psikopat yang batal membunuhnya.

“Ekhm.”

Mata Nalta membulat tatkala melihat pantulan seorang Devon dari kaca.

“Gue gak akan buka mulut,” tuturnya cepat. Ia bergeser agak jauh, ketika Devon mencuci tangan tepat di sampingnya.

“Cih.” Devon tersenyum sinis, “jadi lo kelas dua belas?” ia bersandar di dinding. Tangannya dia masukkan ke dalam saku celana, matanya menatap fokus Nalta.

“Hm. Gue mau ambil buku ke perpus,” ucap Nalta, kemudian berjalan keluar.

Devon tidak mengejar, hanya melihat punggung bekas korbannya yang sudah keluar toilet. Ia tidak menyangka, kalau Nalta sekelas dengannya. Dirinya kira, anak itu adalah adik kelasnya.

“Impressive.”

-o0o-

Nalta berjalan cepat tanpa tahu arah.

Brukk....

Saat di belokan, ia bertabrakan dengan seorang cowok.

“Mata oh mata, kenapa gak dipakek?”

Nalta mengerutkan keningnya, “maaf, gue buru-buru.”

“Lo siapa? Gue belum pernah liat muka kaya lo di SMA Jaya.” tanya cowok itu sambil menelitinya dari bawah ke atas.

“Gue anak baru.”

“O, kenalin, gue Jovan CS.IPS.”

Menurut Nalta, cowok bernama Jovan ini kelihatannya cukup ramah dan humoris.

“Nalta, CS.IPS apaan?”

“Calon Sarjana Ilmu Pengetahuan Sosial, gampangannya IPS!” tegas Jovan.

Sudut bibir Nalta terangkat, ternyata bertubrukan dengan Jovan tidak buruk juga.

“Eh, mau traveling kemana, lo?” tanya Jovan, “maksud gue, lo mau pergi kemana?”

“Gue cari perpustakaan, mau ngambil buku.”

“Ya, iyalah, ambil buku. Masa mau berak. Sini, gue anterin.” Jovan merangkul pundak Nalta. “Habis ini bolos, gue ajakin traveling di SMA Jaya.”

Dirinya baru masuk dan sudah diajak bolos. Benar-benar tidak ada rasa sungkan untuk mengajak sesat dalam diri Jovan.

“Lain kali, deh. Kalau ada jam kosong,” jawab Nalta.

“Oke, serah lo. Ini perpusnya, gue juga mau ke dalam, tidur.”

Nalta mengiyakan, kemudian dirinya mendekati meja penjaga perpustakaan untuk bertanya apa saja buku paket yang dibutuhkan.

Jovan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru perpustakaan, siapa tahu matanya tidak sengaja melihat penampakan.

Jeng, jeng, jeng!

“Gila, serem banget!” kaget Jovan. Ketika Devon berdiri di hadapannya.

“Tumben?” heran Devon, manusia macam Jovandra Abian mustahil untuk ke perpustakaan. Hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak tidur, ya mengambil buku paket tiap ganti semester.

“Gue nganterin klien.” Jovan menguap, lalu kembali menaruh kepalanya di meja.

“Jov, gue....” Nalta menghentikan kalimatnya.

Devon mengangkat alis, apakah murid baru ada hubungan dengan sahabatnya?

“Oh, udah? Lo udah kenalan sama sobat gue yang satu ini, belum?” tunjuk Jovan kepada Devon.

Nalta meneguk ludah, “belum.” Memang dirinya belum berkenalan dengan teman kelasnya yang sempat ingin menghabisinya dulu. Kalau saja cowok itu tidak menerima telepon, dan membeli garam yang katanya untuk membumbui dirinya. Tapi untunglah, dirinya dibebaskan. Siapapun yang menelepon saat itu, dirinya sangat berterima kasih.

“Ini Devilio Devon,” ucap Jovan. “Dia agak pendiam, mukanya bentukannya juga ketus. So, jangan sungkan ngomong sama Devon.”

Devilio? Setan? Batin Nalta.

Devon seolah menghunus badannya menggunakan tatapan tajam.

“Hai.” Devon melambaikan satu tangannya, bibirnya menyeringai.

“O-oke, gue harap. Kita bisa jadi teman.” Kalau gak bisa juga gak apa-apa, malah bagus kalau ia dan Devon berada di radius yang berbeda jauh. Soalnya, dirinya pindah ke SMA Jaya untuk mendapatkan ilmu yang lebih baik, karena sekolah ini adalah sekolah unggulan dan sekaligus mencari teman, bukan kematian.



TBC.

WANTED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang