17.1. A Truth (b)

1.1K 92 11
                                    

--- Olla, kalian tahu cerita ini dari mana?


“Aku melakukan segala cara agar Dirga tidak mengetahui kehamilan ku, dengan pergi ke sana kemari agar dia tidak menemukan ku. Namun semua itu percuma, ujung-ujungnya Dirga tahu kalau anaknya telah tumbuh di rahim ku.” Sofia menuangkan teh dalam cangkirnya yang kosong, kemudian meminum teh tersebut untuk menenangkan batinnya.

“Dirga juga tahu di mana aku kala itu, tetapi aku melarangnya datang. Atau anak dalam perut ku akan mati,” lanjut Sofia. “Sampai lima tahun kemudian, aku baru mengizinkan Dirga untuk bertemu dengan Ellena. Aku pikir dirinya telah berpamitan dengan Verenita, sehingga Dirga bisa tinggal dengan kami dalam waktu yang lama.”

Kayrani menatap air mancur yang indah, “saat itu...ketika Om Dirga pergi, Devon berusia enam tahun. Saat ada perampok yang menjarah rumahnya dan membunuh Tante Verenita, apakah kalian tahu?”

Sofia mengangguk, “Dirga menyuruh seseorang untuk mengawasi Verenita dan anaknya. Saat mengetahui Verenita meninggal, dia langsung membeli tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia. Namun setelah Dirga tiba di sana, rumah itu seperti tiada penghuni, tidak ada orang yang melayat. Kosong, seperti tidak ada bekas kejadian apa-apa.”

Koneksi internet dalam otak Kayrani seketika melejit dengan cepat. “Apa mungkin Devon sengaja menghilangkan jejak perampokan itu, ya, Tan?” bila ia putar ulang, pacarannya itu sangat suka menghilangkan bekas kejahatannya.

Sofia tersenyum lalu menggeleng, “mungkin, kami juga tidak tahu.”

“Bukannya Om Dirga menyuruh mata-mata untuk mengawasi mereka?”

“Dia meninggal, pada saat Dirga tiba di sana.” Berarti mata-mata itu meninggal setelah mengabari Dirga. “Kecelakaan.”

“Lama sekali...selama dua belas tahun. Aku sering kali melihat Dirga memandangi foto perkembangan Devon yang dikirimkan mata-matanya yang baru.” Sofia terkekeh, “dia bilang ‘Aku ingin memeluknya ketika dia merasa sendirian’.”

-o0o-

“Papa selalu mengawasi ku setiap hari lewat seseorang, aku tidak terkejut sama sekali,” tutur Devon ketika Kayrani menyuapi dirinya.

“Verenita akan dimakamkan,” tutur Dirga.

“Apa Anda sudah berlutut di depannya?” Devon menatap tajam papanya.

Dirga memandangi duplikat dirinya sendiri, “ya.”

Devon tertawa, “aku tidak percaya!”

“Papa tahu reaksi mu akan seperti ini, tidak apa-apa, itu adalah hak mu. Papa tahu ketika mamamu meninggal, papa juga tahu ketika kamu sengaja membuat rumah itu seperti tidak berpenghuni. Otak mu dulu terlalu bodoh untuk mengelabuhi orang dewasa seperti Papa,” tutur Dirga seraya tertawa sinis di akhir kalimat.

“Kalau sudah tahu, kenapa tidak menemui kami?”

“Karena Papa tidak berani muncul di hadapan mu yang tengah diliputi amarah,” balas Dirga cepat.Tetapi dalam hati ia senang, sebab Devon merubah panggilan formalnya. “Namun rupanya, amarah mu belum juga padam hingga kamu beranjak dewasa. Hingga takdir membawa mu bertemu dengan Ellena, Papa senang dan takut. Senang karena kalian akhirnya bertemu dan takut Ellena akan kamu habisi nyawanya.”

“Pertanyaan ku, kalau sejak awal Papa tahu kelakuan ku. Mengapa baru menyuruh ku ke mansion ini setelah aku menyakiti Ellena? Tenang saja, dia tidak terluka parah.” dengkus Devon. Kasih sayang Dirga untuk Ellena ternyata besar sekali.

“Papa merasa adik kamu adalah jembatan untuk kita bertemu. Dan lihat, sekarang kamu berada di sini.”

Devon menatap senja dari balkon kamarnya, sebuah fakta yang bertahun-tahun ingin dirinya ketahui akhirnya terjawab. Mamanya adalah selingkuhan Dirga, bukan Sofia.

“Apa Papa mencintai mama ku?”

“Ketika Verenita mengandung, Papa mencoba untuk mencintainya.”

Mencoba? “Sampai sekarang apakah Papa masih mencoba? Aku mengerti.” Kalau ia dan mamanya hanyalah parasit dalam hidup Dirga.

“Papa mencintai mamamu. Papa kecewa ketika kamu mengawetkan jenazahnya. Papa mencambuk mu keras, sebab kamu membuat Verenita tersiksa di dunia, apakah kamu tidak sadar?” tanya Dirga marah. Begitu melihat Devon tertunduk, ia melunakkan hatinya. “Saat ikat pinggang Papa mendarat di punggung mu. Papa juga merasakan sakit yang sama.”

Devon tersenyum ketika Kayrani mendengarkan ceritanya dengan serius.

“Ketika kamu dijauhi teman-teman mu, ketika kamu sakit, saat penerimaan raport sekolah, ketika orang-orang berbicara buruk tentang mu. Papa mengetahuinya, Papa ingin ada di samping mu, memegang tangan mu, menutup telinga mu. Supaya kamu baik-baik saja.”


TBC.

Thanks for reading 😍
---- jangan lupa tinggalkan jejak vote+komen.🐾
------ see you on next chapt!

WANTED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang