14.0. Since Devon's Disappearance

968 91 1
                                    

Kayrani mengelus meja Devon. Tiga bulan lamanya, cowok itu tidak kunjung kembali dan memberi kabar. Sebentar lagi mereka akan menghadapi masa sibuk, ulangan, ulangan, ulangan, kemudian berpisah meniti masa depan masing-masing.

Hilangnya Devon seolah meninggalkan tanda tanya besar bagi SMA Jaya. Apalagi penghuni kelas 12 MIPA 1, mereka sangat penasaran kemana cowok itu pergi. Ada kabar burung yang mengatakan kalau Devon sudah dikeluarkan dari sekolah. Namun sudah terbantahkan karena tidak ada alasan di belakangnya. Namun anehnya, guru-guru seolah melompati nama Devon ketika sedang absen.

“Lo masih mikirin dia, Kay?” tanya Nalta, ia duduk di kursi milik Devon.

“Hm.” Semakin lama. Kayrani semakin cuek.

Nalta terkekeh, terdengar meremehkan di telinga Kayrani.

“Lo pasti tau di mana Devon, ’kan?” tebak Kayrani, “waktu itu lo sama orang gak dikenal nunjuk-nunjuk Devon.”

Nalta mendekatkan tubuhnya ke Kayrani. Lalu membisikkan sesuatu yang berhasil membuat gadis itu menegang.

“Devon harus menjalani hukumannya. Mungkin dia udah mati.”

Melihat gadis itu masih terpaku akan kata-katanya tadi. Nalta mendekatkan bibirnya ke bibir Kayrani.

PLAK!

Tamparan keras itu mengagetkan seisi kelas ini.

“BRENGSEK!” umpat Kayrani.

“Lo kenapa, Kay?”

“Woy, Nalta! Kayrani lo apain?"

“Mentang-mentang Devon gak ada. Lo jangan ambil kesempatan, dong.”

Para gadis mendekati mejanya, mereka bergantian menanyakan ada apa di antara ia dan Nalta tadi. Sedangkan yang cowok sibuk mengintrogasi Nalta.

“Weis... bajingan juga lo.”

“Nakal boleh, Brother. Tapi don't be a jerk.”

Kayrani mungkin jarang berinteraksi dengan anak di kelas ini. Namun bukankah dia tetap berasal dari 12 MIPA 1, artinya gadis itu berhak mereka lindungi bila ada sesuatu yang buruk. Mereka menyadari kalau Kayrani bukanlah gadis kuat, dalam kata tidak setegas gadis lainnya di kelas ini. Apalagi sejak Devon tidak ada, Kayrani makin terlihat murung.

-o0o-

Layaknya tahanan. Devon terlihat lebih kurus dari awal ia bertandang di mansion Alexandre.

Awal dirinya dikurung dalam kamar dan mendapatkan cambukan dari papanya. Setelah itu Devon tidak diizinkan keluar dari kamar ini, kulitnya yang dulu putih kini kusam akibat tidak mendapatkan cahaya matahari.

“Devon." Panggil Ellena. Di tangannya membawa sebuah baki berisi makanan dan minum untuknya.

“Go away,” balas Devon. Lantas kembali berdiri memunggungi Ellena, melihat lukisan besar di kamar ini.

“Dari tadi malam lo belum makan.” Ellena melihat makanan yang masih utuh di nakas, “lo bisa sakit.”

Devon tersenyum miring. “Gue udah sakit.”

Ellena mengeratkan pegangannya pada baki, “mangkannya lo harus makan biar sembuh.”

Devon mendecih, gadis yang akhir-akhir ini memperhatikannya tidak tahu, kalau sakitnya tidak mudah untuk sembuh.

“Gue bakal keluar, tapi habisin ini dulu.” Ellena menaruh bakinya di meja kecil. Ia mendekati Devon, menarik cowok itu agar duduk di sofa. “Gue suapin.” Dia menyendok nasi, mengarahkan ke mulut Devon.

Pintu terbuka, terlihat Dirga berjalan ke arah mereka.

“Kamu tahu Ellena. Apa yang kamu lakukan sia-sia,” sindir Dirga. “Kalau dia tidak makan, ya, jangan dipaksa.”

Devon mendengkus, asal Dirga tahu. Dirinya masih bisa memecahkan piring dan gelas itu, lalu melukai mereka menggunakan pecahannya. Namun resiko tertangkapnya terlalu tinggi.

Kamar ini selalu terkunci, kecuali Dirga atau Ellena masuk. Kalau mereka berdua terluka, ia bisa kabur. Namun tidak sampai di luar mansion dirinya bisa dibekuk oleh para bodyguard Alexandre.

“Tinggalkan Papa dengan Kakak mu ini.” tegas Dirga seraya menekankan kata 'Kakak'. Agar anaknya itu sadar, ia mencintai orang yang salah.

Ellena menatap papanya sebelum keluar dari kamar. Dirinya takut papanya akan berbuat kasar lagi kepada Devon.

Dirga mengunci pintu kamar. Ia kemudian duduk di sofa depan Devon, satu kakinya ia tumpukan di kaki satunya. Terlihat bossy.

“Verenita akan dimakamkan,” tutur Dirga.

“Apa Anda sudah berlutut di depannya?” Devon menatap tajam papanya.

-o0o-

Jovan memberikan minuman boba untuk menenangkan Kayrani. “Setahu gue, yang manis-manis bisa jadi penenang kalau lagi sedih.”

Kayrani tersenyum menerima pemberian Jovan, “dia belum hubungin lo?”

Sahabat Devon itu menggeleng lesu. “Gue sering chat sama telepon nomor Devon. Tapi gak aktif,” jelas Jovan.

“Kira-kira dia ada di mana, ya, Jov?”

“Mungkin, ditempat yang jauh dari kita semua. Insting gue mengatakan kalau dia dalam keadaan cukup baik.” Jovan memandang langit, ia merebahkan diri pada kursi panjang di rooftop sekolah. Sedangkan Kayrani berdiri didekat pagar penghalang. “Devon tau cara untuk kembali, tapi bukan dalam waktu dekat.”

Kayrani menoleh ke Jovan. “Menurut insting?”

“Ya, menurut insting gue.” Jovan tersenyum lebar kepada Kayrani. Terlihat konyol, tetapi mampu untuk melukis seulas senyum manis di bibir cewek itu yang sudah lama hilang.






TBC.

Let's Die With Me? Kapan matinya? Yaudah, ganti judul aja.

EEEITS! Alurnya masih sama, kok, dari awal aku ngetik cerita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

EEEITS! Alurnya masih sama, kok, dari awal aku ngetik cerita.

Hohoho, makasih sudah meluangkan waktu untuk membaca💐

Follow me : WP namecodes IG @Story.namecodes

WANTED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang