15.0. Fly

943 94 2
                                    

Tujuh bulan kemudian.

Jovan memasuki sebuah kafe, menghampiri Kayrani yang duduk seraya menatap keluar jendela.

“Eh, Jov!” gadis itu melambaikan tangannya.

“Oit, dah lama?”

“Enggak.” Artinya iya, “lo udah gue pesenin minum, sampek sekarang antreannya rame. Jadi pas gue antre sekalian pesenin lo,” jelas Kayrani.

Jovan memberikan jempol pada gadis yang akhir-akhir ini selalu bersamanya.“Bulan depan gue udah berangkat ke New York.” Ia akan menempuh gelar S1 di negara maju tersebut.

Kayrani memberikan tepuk tangan, “gak kerasa, ya. Perasaan baru kemarin kita masuk SMA, eh, udah lulus aja.”

Cowok itu menatap Kayrani dalam, “lo tetep kuliah di sini?” tanyanya. “Gak mau ikut gue?"

“Orang tua gak ngizinin gue kuliah jauh-jauh." Kayrani lalu menyesap smoothies.

“Bakal pisah, dong. Gimana kalau gue yang minta izin?” Jovan tertawa atas pemikirannya itu.

“Sinting!” cecar Kayrani seraya terkekeh. Sedetik kemudian, dirinya berhenti tertawa karena tangan Jovan mengusap sudut bibirnya.

Jovan menarik tangannya kembali. Lantas menunjuk objek yang diusapnya tadi. “Kotor.”

“Oh, makasih,” ucap Kayrani canggung. “Em...kalau udah di sana, jangan lupa komunikasi sama gue, ya. Termasuk kalau lo mungkin ketemu Devon."

“Tentu, maaf soal tadi.” Ah, sial, jadi canggung 'kan. Lo, sih! Kutuknya dalam hati. “Lo sama Devon sahabat gue, artinya kalian gak akan gue lupain walau pergi sejauh apapun. Kita juga udah janji bakalan cari Devon sampai ketemu,” celetuknya.

Kayrani melihat Jovan dengan tatapan sendu. “Padahal orang tua lo nyuruh agar kuliah di Jerman, tapi karena janji itu. Lo milih buat kuliah di Amerika,” tutur Kayrani tidak enak. “Harusnya gue seperti lo, Jov.” yang tidak mementingkan diri sendiri demi bisa kembali bersama.

“Hey, gak usah sedih, Sist. Lagian gue dari dulu pengen banget ke Amerika dalam waktu yang lama, kalau Devon gak ilang, mungkin keinginan gue gak bakalan kecapaian.” Jovan bergumam dalam hati, kalimatnya ini belibet atau tidak, ya?

“Serius?” selidik gadis itu.

Spontan Jovan mengangguk. “Lagian, kalau semisal lo beneran ikut gue ke Amrik, gue takut ilmu lo gak bakal berkah soalnya gak ada restu dari orang tua.” entar kalau tiba-tiba pesawat yang ditumpangi mereka meledak, 'kan, bisa gawat!

Ciiiit...BRAK!

Seisi cafe menoleh keluar jendela, kemudian mereka menjerit histeris ketika melihat adanya kecelakaan mobil menabrak pejalan kaki.

Semua orang yang melihat berbondong-bondong mendekati tempat kejadian, begitupun dengan Kayrani dan Jovan.

Mata mereka berdua melotot saat tahu siapa korbannya.

“NALTA!”

-o0o-

Kayrani tersedu melihat jenazah Nalta, teman kelasnya yang merupakan rival pacarnya.

“Dari hasil pemeriksaan, korban sudah overdosis Narkoba. Kemungkinan efek dari obat-obatan itu yang membuatnya tidak sadar ketika sedang menyeberang, alhasil dirinya tertabrak mobil yang melaju kencang.”

Keterangan dari polisi yang mengurus kecelakaan ini membuat mereka berdua terkejut.

“Bocah gendeng! Gue kira, lo udah stop pakek begituan,” terang Jovan. “Nge-fly beneran, 'kan, lo sekarang.”

Kenangan mereka terhadap sosok Nalta tidak begitu banyak, tetapi cukup berkesan.

“Waktu kita tabrakan, lo gak KOit.” Jovan mengingat pertemuan mereka. “Kita gak tahu alamat keluarganya, Pak. Lebih baik dimakamkan di pemakaman umum sini saja, soal biaya biar saya yang menanggung.” kata Jovan kepada Polisi.

“Baik. Dan, sebelum korban meninggal, dia sempat bicara ponsel dan Kay. Saya tidak tahu pasti, mungkin korban ingin memberikan ponselnya kepada orang bernama, Kay.” ujar Polisi.

“Saya, Pak?”

“Iya, mungkin ponsel ini untuk Anda. Kalau begitu Saya pergi mengurus beberapa berkas kasus ini.”

Kayrani kembali menangis, tangannya gemetar ketika memegang ponsel Nalta.

“Kita keluar, Kay.” Jovan mengajak gadis itu keluar kamar jenazah.

Mereka kini duduk di kursi taman rumah sakit. Jovan terlihat mengotak-atik ponsel Nalta yang untungnya tidak di sandi, ia bingung mengapa cowok itu menyerahkan ponselnya kepada Kayrani.

Jovan terpaku, ia terdiam melihat sesuatu pada chatting Nalta. Dengan perasaan tak menentu, dirinya membuka pesan tersebut.


Setan :

| Gue Devon. Sorry, kalau dulu gue sempet mau bunuh, lo. Soalnya lo orangnya gak baik, sih!
| Gue mau minta tolong, buat bilang ke Jovan & Kayrani. Kalau mereka gak usah khawatir sama keadaan gue, karena gue berada di tempat yang tepat.
| Berhenti make narkoba, jgn jd tolol! Gue bakal



Kayrani segera merebut ponsel itu dari tangan Jovan. “Kelanjutannya apa? Devon bakal apa?”

Jovan masih mencerna pesan tersebut, “kenapa dia kirim ke Nalta?” ia malah balik tanya. “Dan Devon kirim pesan itu, tujuh bulan lalu.”

Nalta sudah tiada, kini mereka hanya bisa menyimpan tanda tanya besar. Mereka hanya bisa berusaha mencari keberadaan Devon dan entah kapan pencarian mereka akan membuahkan hasil.




TBC.

WANTED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang