19.0. Back To Junior High School

2.3K 107 20
                                    

#Extrapart

Tahun ajaran baru di mulai, tepatnya pada kenaikan kelas. Grusa-grusu terjadi di setiap tempat di sebuah Sekolah Menengah Pertama. Para siswa sibuk mencari daftar nama, di kelas mana mereka akan duduk.

“Gak ada, gak ada... wadidaw! Ternyata di sini!” ujar Jovan seraya menunjuk kertas yang tertempel di mading dengan wajah julid. Ia kembali menajamkan pengelihatannya. “Eh, siapa, nih? Baru tau ada yang namanya Devilio.”

“Eh, lo gak tau siapa dia?” sahut seorang perempuan di sampingnya.

“Emang dia siapa? Murid sini juga 'kan?” kalau gak, mana mungkin namanya diketik di kertas itu.

Cewek tersebut mengangguk, “tapi dia kayak anak anti sosial.”

“Hari gini, masih ada anak ansos? Fix!  Si Devil ini pasti kurang piknik.” Jovan menjentikkan jarinya, merasa kalau pemikirannya sangat benar.

Tiba-tiba Jovan merasa kalau hawa di sekitarnya telah berubah, yang tadinya blink-blink sekarang menjadi suram. Jovan menoleh, cewek yang bicara dengannya entah pergi kemana. Dan tergantikan oleh cowok jangkung, rahang tegas, dan... tatapannya tajam.

“Anak baru?” tanya Jovan, “sepanjang gue touring di sekolah ini, gak pernah gue liat muka lo.”

Cowok itu kemudian pergi, tanpa menjawab pertanyaan Jovan. Ekspresi wajah Jovan menjadi muram. Yang pertama, dirinya tidak satu kelas dengan sahabatnya. Kedua, cowok tadi menghancurkan moodnya.

-o0o-

Jovan memandang penjuru kelas barunya, semua meja sudah terdapat tas para siswa. Itu tandanya, bangku itu sudah ada yang punya, apalagi di deret tengah dan belakang.

“Woy, Sal! Lo sama temen lo pindah, gih, ke depan. Gue mau duduk di sini,” perintah Jovan, menunjuk bangku pojok belakang.

“Enak aja suruh pindah. Gue ogah di depan,” jawab Salsa.

“Ah, di depan gue gak bisa leha-leha,” keluh Jovan.

“Kenapa lo gak duduk sama Devon aja, tuh, sama-sama di pojok belakang.”

Jovan mengikuti arah pandang Salsa, itu bukannya cowok tadi? Alisnya mengernyit. “Namanya Devon? Gak kenal.”

“Ya mangkannya kenalan, Bego!”

Jovan mengaduh saat kepalanya dipukul pelan oleh Salsa. Kemudian ia menyugar rambutnya yang jabrik, baru mendekati Devon.

“Oit, gue mau duduk di sini.” Kata Jovan.

Sedetik, dua detik, tiga, empat... tidak ada jawaban lagi.

“Woy, lo bisa denger, 'kan apa omongan gue?” Jovan mulai ngegas.

Cowok yang namanya Devon menunjuk kursi di sampingnya dengan dagu. “Duduk tinggal duduk.”

“What the f--” omongan Jovan terhenti akibat datangnya seorang guru laki-laki.

Jovan segera duduk. Namun matanya tidak bisa tidak melirik cowok di sampingnya ini. Tinggi, kulitnya kecoklatan, seperti ada darah blasteran. Namun sayang, cowok itu tidak lebih tampan dari dirinya yang keren, ramah, tentunya baik hati, dan sedikit sombong.

“Jovan Abiandra! Gurunya ada di depan, bukan di samping kamu!” Suara peringatan membuat Jovan tersentak. “Lagian kamu itu cowok, kenapa menatap sesama cowok sedalam tadi. Suka kamu?”

“Enggak, Bu.”

“Kalau begitu fokus ke depan.”

Saking fokusnya Jovan sampai berusaha tidak berkedip melihat guru yang tengah menjelaskan.

WANTED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang