Lembar 46: Percayalah

43 12 1
                                    

Lembar 46

Gerombolan teman-teman Bima yang kujumpai tadi sekarang berada di ujung jalan parkiran motor. Wajah mereka terlihat kaget, namun tak bergerak sedikit pun untuk menghentikan Alvin yang membabi buta. Aku menutup mulutku yang berusaha terisak-isak. Napasku masih tersengal dengan jantung yang tak berhenti berdegup dengan keras. Rasanya seperti aku sudah dirobek-robek menjadi kepingan kecil yang kemudian dibiarkan begitu saja.

Salah satu teman Bima bergegas ke arahku ketika melihat keadaanku yang masih syok di atas lantai. Alvin berhenti memukuli Bima, menghentikan teman Bima saat melihat ia akan menyentuhku.

"Jangan sentuh, Nabila." Peringatnya, menepis tangan teman Bima dari arahku. Mata tajam Alvin yang menusuk, membuat orang tersebut gagap dan perlahan mundur.

Alvin berdiri dari atas lantai, masih dengan napas yang memburu ia menunjuk Bima yang mengerang kesakitan di bawah. "Kalian, urusi saja bajingan ini."

Teman-teman Bima yang lain tetap membungkam mulut mereka, tak berani berkata apa pun untuk membalas perkataan Alvin. Mereka pun mengangkat badan Bima yang sudah tidak bertenaga, matanya pun sayu dan ia tak merespon apa pun yang dikatakan temannya.

"Kalian semua sampah!" sekali lagi, mereka hanya membisu. Terlihat mereka justru bersalah kala menengok ke arahku.

Alvin berbalik ke arahku dengan raut sendu, ia mengangkatku seperti bayi. Dipelukku erat seperti aku sudah menghilang bertahun-tahun lamanya. Lenganku merangkul leher Alvin, tangisan bisu terdengar nyaring jika didengarkan oleh hati.

"Kamu ke motor dulu aja." Aku mengikuti suruhan Alvin.

Sambil menyeka sisa air mata dengan ujung lengan, aku memperhatikan Alvin mengambil handphoneku yang telah berubah menjadi beberapa kepingan. Ia pun memberikan tatapan benci kepada Bima dan teman-temannya.

Aku tak menegok kebelakang sama sekali ketika aku dan Alvin pergi dari sini dengan menaiki motor. Ada banyak sekali kata-kata yang tak terucap, mengiringi sepanjangan perjalanan kami. Pikiranku sendiri masih keruh seperti kaca di dalam lumpur. Namun aku segera mengerjapkan mata, berusaha menenangkan pikiran. Yang terpenting sekarang aku harus mempertemukan Nora dengan Ibunya. Kejadian dengan Bima tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan berminggu-minggu diteror oleh hantu pendendam.

**

Di lorong apartemen Alvin yang sepi, aku terhenti ketika melihatnya memutar kunci ke dalam gagang pintu. Sejumput memori berhembus masuk dan pergi. Seperti peri yang menyapa kemudian pergi dengan jejak kerlip yang mengikuti kala ia menghilang. Peri itu adalah perasaan De Javu yang beberapa kali aku rasakan bersama Alvin. Dalam penglihatan yang hilang dalam hitungan milidetik itu aku melihat diriku berdiri di atas lantai apartemen sambil memandangi Alvin.

Seperti di dunia yang berbeda, aku melihat lelaki itu berdiri di depan pintu dengan kunci-kunci yang menyatu bersama gantungannya. Wajahnya tampak dingin seperti jaket biru dongker yang ia kenakan di atas seragamnya. Ia pun menoleh ke arahku. Tetap dengan raut dingin tanpa senyuman. Matanya memperhatikanku bosan, lalu tak memperdulikanku dan mulai memasukkan kunci yang ia genggam ke dalam lubang kunci.

Perasaan di luar realitas membuatku membatu, akalku masih di antara dua dunia untuk memproses apa yang kualami barusan.

"...Nabila?"

Aku tersentak ketika mendengar namaku, kulihat Alvin menungguku masuk dengan raut khawatir. Ia mengkerutkan alis, tanda tak yakin melihatku. Walaupun tenaga agak terkuras, sebuah senyuman kuberikan kepadanya dengan bersungguh-sungguh. Namun yang diterima Alvin malah senyuman lemah dariku.

"Mau minum teh?" tawarnya ketika aku duduk di sebuah sofa, aku pun mengangguk.

Tak lama, sebuah cangkir berisi teh ada di hadapanku. Mataku mengikuti pergerakan uap-uap tipis yang berlomba naik ke udara. Aku bisa merasakan tatapan Alvin yang duduk di sebelahku.

"Kamu ngga apa-apa?" tanyanya.

Apakah aku tidak apa-apa?

"Aku kaget aja, ternyata Bima orang yang seperti itu." Ujarku, mata masih tertuju pada air bewarna coklat keemasan dalam cangkir. Apa yang kukatakan tadi itu benar, aku kira Bima orang yang ramah saat kita makan bersama di kantin dulu. Mungkin ia sering membuat masalah dengan Alvin, tapi aku tak pernah menyangka kalau Bima akan memaksaku seperti tadi. Dia sudah kelewatan.

"Kamu nggak perlu mikirin orang seperti dia lagi." Kata Alvin kesal, tapi kekesalannya ditujukan untuk Bima. "Maaf tadi gengnya Bima menceggatku pas aku mau cepat-cepat menjemputmu di parkiran." Ia berusaha menjelaskan.

"Kalau saja aku mengabaikan mereka mungkin sa—"

"Oh... Pantes aja tadi aku lihat mereka ke lorong kelas IPA." Aku bergumam.

"Apa?" kata Alvin agak terkejut.

Ah, aku tidak bermaksud untuk mengatakan hal tadi. Kiraku kalimat itu hanya terlintas di benak, nyatanya tak sengaja terucap.

Kedua tangan Alvin memegangi pipiku untuk menghadapkan pandanganku kepadanya. Mataku kini terfokus pada mata karamel milik Alvin. Pada jendela terlihat sinar matahari mulai meredup akibat awan-awan yang merangkak perlahan. Iris Alvin ikut menggelap, sekarang yang kulihat hanyalah wajahku yang terpantul di atas mata penuh perhatiannya.

"Kalau kita berhenti saja bagaimana?"

Aku menggeliat ke luar dari cakupan tangannya untuk memprotes usulan tadi. "Engga. Kita udah sejauh ini, aku ngga mau rencana kita gagal hanya karna si Bima."

"Tapi kamu barusan saja mengalami hal buruk, handphonemu hancur, dan—"

Kepalaku menggeleng keras. "Aku ngga yakin kalau aku bisa kuat terus-terusan ditempeli Nora. Aku ingin masalah ini kelar hari ini juga."

Alvin menatapku dengan pesimis, "Kalau ternyata Nora tidak mau masalah ini diselesaikan?".

Aku menggapai tangan Alvin, seolah memohon kepadanya. "Percaya kalau masalah ada jalan keluarnya. Walaupun mungkin kita gagal, setidaknya kita sudah berusaha."

Lelaki di depanku menimbang kata-kata yang kuucap, setelah menarik napas dalam ia pun setuju denganku. "Baiklah, kita akan coba hari ini." Sementara wajahku terlihat senang setelah berhasil membujuknya, mimik Alvin justru terlihat serius.

Setelah menghabiskan satu cangkir teh yang membantu memfokuskan tekadku, aku dan Alvin mulai bergerak keluar dari apartemen. Sebuah bayangan merayap di lorong, leherku merinding karena tahu apa yang mendekati kami. Nora muncul dan memblokir jalan, ia mulai mengumpulkan semacam aura hitam di sekelilingnya. Ruangan terasa sempit dan menggelap. Aku menoleh ke Alvin karena tak tahu harus melakukan apa.


Author Note: harusnya di lembar ini bisa sampai 2rb kata, tapi aku ngga kuat lanjutin lagi karena sudah lama ngga nulis :( 

semoga lembar selanjutnya bisa sampai 3k buat membayar utang2 sebelumnya. Aku cuman mau melanjutkan cerita ini agar selesai karena nanggung banget udah mau kelar tp ngga aku lanjut hampir setahun :)

karena faktor skripsi dan masa corona membuatku agak malas ngelanjutin cerita ini. Padahal niatku tahun kemarin aku ingin menyelesaikan cerita ini lalu mau aku terbitkan di tahun 2020/2021. eh ada corona. Sebelum corona saja penjualan novelku yg sebelumnya ngga terlalu banyak, apalagi corona gini. membuatku ngga ada motivasi. 

semoga saja setidaknya aku bisa menyelesaikan cerita ini untuk diriku dan kalian yang masih membaca :D

terima kasih. sampai jumpa di lembar selanjutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang