Lembar 44: Bima Yang Takluk Dan Kedua Jantung Yang Berdegup

108 24 3
                                    

AN: Sorry banget, udah lama ngga update. Berbulan-bulan ini lagi sibuk banget karna magang kemarin hehe, mana banyak drama :) terus pas mau lanjut nulis, kadang tiba-tiba sakit atau ngga ada mood. Btw maap ya kalo agak gimana tulisanku ini, udah lama ga nulis jadi agak lupa gitu hehe. Anyway, 2500 kata. Enjoy~! Jangan lupa Vote dan Comment!


Lembar 44

Setelah hujan mulai reda, Yuna dan si kembar memutuskan untuk pergi pulang. Meninggalkanku di rumah dengan ayah dan Nora yang muncul tiba-tiba. Setelah menutup gerbang dan berlari kecil kembali ke dalam rumah, aku masih bisa merasakan keberadaan Nora. Ayahku masih di dalam kamar, jadi aku mengetuk pintu kamarnya.

"Yah..." panggilku. Tapi tak ada jawaban selain suara televisi yang terdengar tipis dari kamar.

Buku tanganku berhenti di beberapa ketukan berikutnya, membuatku memilih untuk membuka pintu perlahan untuk melihat keadaan ayahku.

"Yah, temenin aku." aku hendak mengajak ayahku duduk di ruang TV, menemaniku supaya aku tidak sendirian dengan Nora. Namun yang kulihat di dalam kamar adalah ayahku yang tertidur pulas di atas kasurnya.

Sudah kuduga ayah akan tidur, karena ia tak kunjung keluar kamar sejak memberikan makanan tadi siang. Sejujurnya aku tidak terlalu takut untuk sekarang ini, karena setidaknya ada orang di rumah ini. Jadi aku tidak benar-benar sendirian dengan Nora. Kalau ada terjadi apa pun, ada orang yang akan menyelamatkanku.

Aku menarik pintu kamar ayahku, tak menutupnya dengan sempurna. Jadi masih ada cela yang membuatku merasa aman. Kamar ayahku tepat berada di depan ruang televisi jadi aku memutuskan untuk berdiam diri di sana sampai Nora pergi entah kapan.

Kepalaku memutari sekitar rumah, tak melihat sosok Nora namun aku yakin ia masih berada di sini. Hawa panas dingin masih terasa di punggungku, membuatku selalu waspada.

"Nora." aku memanggil namanya, tak ada respon yang muncul. Kalau ayahku mendengar aku berbicara sendiri seperti ini mungkin ia mengira anaknya sudah gila.

"Aku tahu kamu ada di sini, berhenti menggangguku dan Alvin." Lagi-lagi, tak ada jawaban.

"Aku sudah mendengar ceritamu dari Alvin. Kamu bilang, kamu mau mencari kakakmu, tapi kenapa kamu berusaha mengambil tubuhku? Laras sudah pergi, Nora. Kamu perlu melepaskannya."

Beban berat yang semula mereda, sekarang terasa kembali. Lebih kuat dan mulai menyakitkan. Jemariku memegangi erat bahu yang sakit, tak mengerti bagaimana Nora dapat melakukan hal seperti ini. Seperti ratusan semut mengeriap dari bahu hingga tengkuk leherku.

"Kamu perlu melepaskan Laras." aku mengulang perkataanku, menekankan nama Laras. Setiap nama kakaknya keluar dari mulutku Nora menjadi sensitif dan marah. Dan benar saja, kali ini energiku terasa dihimpit dari luar. Membuatku merasa sesak dan tak nyaman.

Aku yang semula sedang berdiri di tengah ruang televisi perlahan mundur sampai betisku menyentuh sofa. Tubuhku terkulai lelah di atas bantalan yang lembut. Mataku terasa memberat namun aku berusaha keras untuk menjaganya tetap terbuka.

Sosok Nora muncul di depanku, tak ada ekspresi sinis yang seperti ia perlihatkan kemarin. Dari auranya saja aku tahu ia sedang tidak main-main, layaknya ia sudah memendam dendam selama bertahun-tahun terhadapku.

"Aku ingin membakar ayahku." Nora mengutarakan keinginannya dengan mudah dan tanpa ekspresi. Seakan hal itu bukan sesuatu yang bermasalah. Matanya hitam kelam, tak bernyawa, namun menyimpan dendam yang luar biasa.

Aku meluruskan tubuhku di sofa, "Ayahmu juga sudah pergi."

Kita hanya berjarak empat langkah, rintik hujan kembali terdengar. Tipis dan dingin, layaknya kami berada di dalam gelembung air di dasar sungai. Yang siap-siap untuk naik ke permukaan sebelum akhirnya pecah dan menghilang. Apakah Nora akan berenang ke atas atau tetap berdiam di dasar sungai?

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang