Lembar 35: Déjà Vu Dan Memori

319 45 4
                                    

Iya sedikit :( yaudalah ya yg penting update. (kalo mau yang panjang dan detil nantikan novelnya ;)) )

sumpah ini aku ampe bikin rangkuman cerita ini karena udah agak lupa alur detilnya haha...


Lembar 35

Kedua tanganku menggenggam pembatas besi yang berada di tengah-tengah tubuhku. Bekas telapak terbentuk ketika aku memindahkan genggamanku lebih jauh ke depan. Perlahan kaki kananku menapak maju, tangan menyokong agar beban tubuh tak terlalu berat di kaki. "Jadi Ega adalah Nora yang menyamar menjadi Laras- kakaknya sendiri?" aku merekap cerita Alvin sambil berjalan.

Sembari menjagaku agar tidak terjatuh, ia mengangguk di luar pembatas besi. "Dia hanya ingin merasuki tubuhmu yang koma." Ia menambahkan atau malah mengulangi.

Mungkin sekarang sudah seminggu lebih aku di rumah sakit sambil menjalani penyembuhan dan terapi berjalan. Kata dokter aku kehilangan sebagian memori yang tidak terlalu parah, hanya untuk sementara memori itu hilang. Perlahan waktu aku menyembuhkan, katanya. Tapi ada kemungkinan tidak semua memori akan kembali, beberapa mungkin akan tetap hilang. Dan aku tak tahu harus merasa seperti apa.

"Bagaimana cara aku kembali ke tubuhku pada saat itu?" aku tetap melanjutkan berjalan sambil berpegang pada pembatas besi.

"Itu aku tidak terlalu tahu. Saat itu aku tak bisa masuk ke kamarmu, yang kulihat dari kaca pintu adalah kamu yang tiba-tiba menghilang di atas tubuhmu... Kukira kamu..." Alvin menutup mata dan membukanya kembali.

"Apa kamu tidak pernah bermimpi apa pun saat kamu koma?" Alvin mengganti topik.

Aku menatapnya lalu menggeleng. "Nggak tahu, mungkin pernah tapi aku lupa."

Kuhentikan kakiku dan menatap sekitar rumah sakit. "Aku bosan sekali! Aku mau cepat-cepat balik ke sekolah aja."

"Tapi kamu belum sembuh, kamu juga belum bisa berjalan dengan lancar." Kata Alvin.

"Aku bisa, nih." Aku mengangkat kedua tanganku sehingga aku berdiri tanpa bantuan. Tapi setelah aku menaikkan tanganku ke udara, lututku yang lemas tak bisa menahan tubuhku lagi hingga aku jatuh.

Alvin dengan sigap menahanku agar tidak jatuh, memegangi kedua bahuku dan kepalaku terbenam di dadanya. Harumnya seperti sabun.

"Sudah kubilang apa." Ujarnya.

Aku berusaha bangun dengan memegangi bahu Alvin supaya bisa berdiri tegak, justru sekelibat memori muncul di benakku.

"Tadi ada hantu yang mengerikan sekali."

Aku mengingat diriku berusaha memeluknya erat-erat namun tak bisa. Sambil menangis dengan sangat ketakutan. Takut oleh seorang hantu dan ditinggal oleh seseorang. Akan menjadi mimpi buruk jika orang itu membiarkanku sendirian di tengah-tengah dunia ini.

"Deja vu." Aku bergumam, tak sadar tangisan jatuh di pipiku entah kenapa.

"Ada apa?" Alvin bertanya cemas.

"Nggak apa-apa." Senyumku lalu menghapus pipi yang basah. "Lututku nyeri."

Dengan panik, Alvin melompat masuk ke dalam rute terapi jalan dan langsung menggendongku ke sofa terdekat. Semua pasang mata tiba-tiba menatap kami semua.

Perlahan ia menurunkanku di sofa dan meluruskan kakiku ke atas meja.

"Nggak apa-apa kok, Vin. Cuman nyeri dikit." Aku berusaha menenangkan Alvin.

"Kamu bisa terluka, Bil. Kenapa tiba-tiba kamu melakukan itu?" matanya menatapku cemas, lalu memfokuskan padangannya ke lututku lagi.

Aku hanya terdiam. Terbuai akan memori yang baru saja memperlihatkan dirinya sejenak. Walaupun hanya sekedar satu kalimat dan sekedip pandangan, aku merasa mengetahui apa yang kurasakan pada saat itu. Seperti sangat dekat namun jauh.

***

Hari ini, aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Dengan catatan aku harus rajin check up dan melatih kinerja otot kakiku. Jalanku sekarang masih di tahap menggunakan tongkat elbow. Alat bantu jalan yang menggunakkan siku sebagai tumpuannya. Sebenarnya aku sudah bisa berjalan, namun alat ini meringankan beban agar tidak cepat capek.

"Kalau butuh apa-apa bilang ya, Nak." Teriak ibuku dari luar kamar.

"Iya." Aku menjawab balik.

Mataku mengitari ruangan ini, menatap foto dan buku hingga ke detailnya. Agak berharap aku bisa mengingat memori. Apa pun itu. Tapi berapa lama pun aku memandangi fotoku bersama teman-teman, kenangan itu tak muncul.

Aku menghela napas lalu duduk di ranjang. Kemudian melihat sebuah jaket biru dongker yang diletakkan rapi di atas meja belajar. Dengan berdiri kaku, aku lalu berjalan dan mengangkat jaket itu sampai terbuka. Sobekan hingga lubang menghiasi badan dan lengan jaket berbahan katun ini. Beberapa noda kecil terlihat membekas. Aku menggerakkan jariku di atas material yang sobek itu.

Ini pasti jaket saat aku kecelakaan. Benakku.

Kulepas tongkat jalanku, menyenderkannya di pinggiran kasur. Dengan hati-hati aku memakaikan jaket ke tubuhku lalu menatap bayanganku di cermin lemari. Cukup lama sampai aku melihat darah merembes di kain jaket, wajahku yang memucat dengan luka yang kembali segar. Tubuhku seperti diguyur air dingin. Seorang hantu melewati tubuhku dari belakang. Dengan luka yang sama seperti di cermin. Ia terkikik lalu menghilang di udara.

Jatungku sudah berdebar sangat kencang, sampai aku ingin jatuh. Sial aku sudah di prank sama hantu, kesalku. Aku melepaskan jaketku dan melemparnya ke kursi.

"Ayolah memori, kembalilah." Bisikku pada diri sendiri.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang