Lembar 40: Tentang Kalung, Tentang Kehidupan

182 31 3
                                    

Lembar 40

"Kamu Nora kan?" tanyaku berhati-hati, badanku mulai mundur ke tengah kasur untuk memberi jarak pada kami berdua.

"Kamu beneran lupa tentangku ya?" ujarnya tersenyum miring, tetap pada tempat ia berdiri.

"Aku mau kamu jangan menggangguku." Ucapku.

"Oh ayolah Bil, aku ngga akan mengganggumu. Aku cuman ingin buat 1 permintaan saja. Kita teman kan? Teman kan saling bantu." Nora tersenyum.

Aku tak bodoh untuk mengetahui itu hanyalah tipuan belaka. Wajahnya benar-benar tidak menutupi maksud buruknya. Aku ingat bahwa Alvin sudah memberi tahu kalau Nora ingin mengambil tubuhku demi membalaskan dendam pada Ayahnya.

"Jangan ganggu aku." Nadaku berusaha tegas namun gemetar di pita suaraku dapat terdengar. Dengan cepat aku berusaha beranjak keluar dari kasur, Nora tiba-tiba menampilkan wujudnya di hadapanku.

"Kamu tahu berapa lama aku harus mengisi energiku kembali sejak kejadian itu? Saat aku hampir berhasil merenggut kalung di lehermu itu?" Wajah marahnya mendekati wajahku.

Kalung?

"Hampir berminggu-minggu energiku habis, aku tak bisa mengeluarkan wujudku. Aku hanya bisa melihatmu yang hidup dengan tubuhmu yang bagus itu." Lanjutnya dengan geram. "Yah, sepertinya aku hanya harus membunuhmu dulu."

Harus kabur, itu yang muncul di pikiranku. Saat aku berdiri, Nora menindihku kembali ke kasuh. Entah bagaimana ia bisa melakukan itu. Tangannya yang menyentuh kedua bahuku terasa sangat dingin, tubuhku seperti ditimpa beban yang berat.

"Lepas—" tangan-tangannya berpindah ke leher, mencekikku di antara dua dimensi yang bisa ia kendalikan. Sedangkan aku hanya pasrah menendang dan mendorong udara dengan tangan dan kaki. Aku tak bisa mencapai tubuh Nora, semua yang kulakukan hanya menembus tubuhnya begitu saja. Membuang energiku.

Napasku tersengal-sengal, mataku mulai berair, wajahku memerah. Tanganku memegangi leherku yang dicekik oleh Nora. Penglihatanku mulai memburam, apa aku akan mati untuk kedua kalinya?

"Nabila! Kamu kenapa?" tanya ibuku panik, aku bisa merasakannya berjalan ke sampingku. Memegangi wajahku yang memerah.

Cengkraman Nora kemudian berakhir, aku menghirup napas seperti aku akan menelan dunia. Tenggorokanku sangat perih, aku terbatuk-batuk sambil mendengarkan ibuku yang sangat khawatir.

Setelah itu aku duduk, tetap memegangi leherku. Aku yakin kulitku akan memerah. "Ngga apa-apa, Bu. Tadi mimpi tenggelam. Untung Ibu datang." aku tersenyum, berusaha meyakinkan ibuku.

Mataku mengitari kamar, namun tak bisa melihat sosok Nora di sekitarku.

****

Keesokan harinya, aku sekolah seperti biasa. Beruntung merah di leherku cepat memudar dalam satu malam. Walau ada beberapa bagian merah kecil di leher, aku bisa menutupinya dengan bedak. Di sekolah sendiri, tidak ada yang baru. Hanya memperhatikan pelajaran dan ke kantin seperti biasa. Oh ya, aku menghindari Alvin dan Bima. Aku masih marah dengan mereka soal kejadian kemarin. Belasan pesan Bima aku abaikan, hanya kubalas 'Kalian perlu saling minta maaf' setelah itu pesan darinya tidak ada yang kubaca.

Dengan tanggal Ujian Nasional yang mulai mendekat, aku membanting ringan dahiku ke atas buku di meja. Tanda kekesalanku. Demi Tuhan aku membenci diriku yang tak hanya melupakan memori tentang temanku, aku juga kehilangan sebagian ingatanku tentang pelajaran. Sekarang aku harus bekerja tiga kali lebih keras dibanding teman-temanku yang lain.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang