Lembar 31: Gadis Seperti Boneka & 'Indigo Freak'

411 58 6
                                    

Lembar 31

Bima memasuki ruangan dengan memberikan senyuman kepada orang tua Nabila dan menyalami mereka. Setelah itu ia pun mulai bersalaman dengan Yuna dan si kembar.

"Sorry, minyakan." Tolak Marwati. Senyumannya terpaksa sembari memperlihatkan tangan bekas memegang martabak manis.

"Sama, minyakan." Lusiati meniru Marwati dengan senyuman yang ia paksakan pula.

Bima merespon mereka tak lebih dari senyuman mengerti. Ia pun berjalan menuju Alvin untuk bersalaman.

"Oh hai, Alvin." Sapa Bima sambil mengangkat tangan untuk bersalam. Wajahnya bertanya mengapa ada Alvin disini.

Alvin menerima tangan Bima untuk bersalaman. "Bima," balas Alvin. Kemudian melepas tangan Bima.

Anak-anak SMA itu kemudian duduk merapat di sofa, dengan Alvin dan Bima duduk terpisah di kursi masing-masing. Ibu Nabila mulai mengupas apel di meja seberang ruangan sedangkan Ayah Nabila menyalakan teko pemanas air elektrik.

"Ada yang mau kopi?" tawar Ayah Nambila sembari menoleh ke arah anak-anak.

"Aku!" Yuna mengangkat tangan tinggi-tinggi.

"Saya, Om." Bima dan Alvin bersamaan menjawab. Mereka pun melirik satu sama lain selama beberapa detik sebelum membuang muka.

"Oke siap." Kata Ayah Nabila dengan mengacungkan jempol sebelum membuatkan kopi-kopi.

"Jadi... Bima, kukira hari ini kamu ada latihan basket." Lusiati melemparkan tatapan 'mengapa kamu ada disini'.

"Kenapa? Aku ingin menjenguk Nabila sebentar kok, habis ini baru main bareng anak-anak."

"Kok masih main basket? Bentar lagi UN loh." Ujar Ibu Nabila sambil mengupas kulit apel di tangannya.

"Engga, tante. Ini cuman refreshing doang. Biar nggak stress belajar terus." Jawab Bima.

Ayah Nabila datang ke sofa dengan memberikan kopi untuk Yuna dan Bima. Kemudian kembali untuk mengambil kopi untuk Alvin dan dirinya.

Ayah Nabila duduk di sofa yang terpisah dari teman-teman perempuan Nabila.

"Makasih ya udah datang. Jadi kamar Nabila nggak sepi-sepi amat." Ayah Nabila meletakkan kopinya di atas meja dekat kertas-kertas soal.

"Iya nggak apa-apa kok, Om." Lusiati tersenyum.

"Nah ini dimakan apelnya." Kata Ibu Nabila meletakkan piring berisi potongan apel sebelum duduk di sebelah Ayah Alvin.

"Gimana try out nya?" tanya Ibu Nabila.

"Susah ya ampun, bu." Kata Lusiati

"Ngga bisa ngerjain." Kata Marwati.

"Lumayan." Jawab Bima.

"Biasa aja." Yuna dan Alvin serempak. Yang dibalas tatapan tajam si kembar.

"Ya iyalah kalian ranking paralel atas." Kata Lusiati.

Ibu Nabila terkekeh sedangkan Ayah Nabila tersenyum melihat reaksi si kembar.

"Kalian udah tahu mau masuk universitas mana nanti?" Ayah Nabila bergantian bertanya.

"Belum sih, mungkin yang deket—"

Alvin perlahan tidak mendengarkan percakapan mereka. Perhatiannya terfokus terhadap hawa yang mengganggunya. Ia bisa merasakan ada sosok hantu di ruangan ini yang datang. Berusaha untuk tetap tidak mencurigakan di hadapan orang tua Nabila, ia pun hanya melirik ke arah hawa itu. Biasanya Alvin tidak akan memperdulikan sosok apa pun, namun di sini ada Nabila yang ia harus jaga. Alvin tak bisa mengabaikan sosok yang bisa mengancam nyawa Nabila untuk kesekian kalinya.

Seorang gadis kecil yang mungkin berumur tujuh tahun yang dilihat Alvin. Gadis itu memakai gaun putih kusam sepanjang betis, pita putih juga melingkar di badannya. Wajahnya tak seperti hantu menurut Alvin. Lebih seperti boneka hanya sangat pucat. Bulu matanya tebal, bibirnya tidak merah. Rambutnya hitam dikepang satu dengan pita merah di ujung. Gadis kecil itu juga membawa sebuah boneka beruang yang sudah hampir robek di beberapa bagian.

Gadis itu tersenyum gigi ketika melihat Alvin menatapnya. Ia pun berlari dan duduk di tengah-tengah orang tua Nabila.

"Alvin?" suara Ayah Nabila mengalihkan perhatian Alvin.

"Iya?" jawab Alvin menatap Ayah Nabila.

"Kamu jadi kuliah dimana nanti?" Ayah Nabila mengulangi pertanyaannya.

"Oh, itu... belum tahu juga... belum pasti yang mana." Perhatian Alvin terus teralih oleh hantu gadis kecil itu. Gadis itu sekarang berdiri di atas meja sambil menyapa Alvin dengan menggerakkan tangan boneka miliknya.

"Tapi jurusannya udah tahu mau ambil apa?"

Gadis kecil itu duduk di pangkuan ibu Nabila sambil memainkan bonekanya di depan wajah ibu Nabila.

"Udah, antara manajemen atau arsitektur." Alvin berusaha menatap ke arah penanya, tapi tak bertahan lama akhirnya Alvin menyerah.

"Saya keluar bentar ya," izin Alvin, langsung keluar tanpa menunggu jawaban.

Kalau saja gadis itu tidak bermain di hadapanku, mungkin aku masih bisa mengabaikannya. Pikir Alvin.

Alvin berpikiran akan ke lantai bawah, berharap agar hantu gadis itu hilang ketika ia kembali. Tapi sebuah tangan menahan bahunya.

"Kenapa kamu disini?" tanya Bima.

Bagus, si bangsat ini lagi.

Alvin menepis tangan Bima. "Kenapa? Nggak boleh?"

"Hey, bukannya kamu yang bilang kalau 'pacarku sudah mati'?" Bima membusungkan dadanya. Berusaha mengintimidasi Alvin.

Alvin menatap Bima tak senang dengan sikapnya. "Maaf, oke." telapaknya naik berhadapan dengan dada Bima. Ingin menjaga jarak. Tak ingin terpancing emosi.

"Aku tahu kamu bukan temannya Nabila, tak pernah berbicara dengannya. Jadi kenapa kamu disini? Ingin mencelakainya?"

"Aku temannya Nabila." Alvin mengatakan. "Aku disini justru ingin menjaganya."

"Menjaganya dari apa?" Bima tersenyum tak percaya. "Dari hantu? Dasar indigo freak."

Alvin mencengkram kuat leher baju putih Bima, rautnya sangat marah. "Tutup mulutmu atau tinjuku yang akan menutupnya." Ancam Alvin.

Bima hanya diam sambil melihat Alvin dengan jengkel sampai Alvin melepaskan tangannya.

"Jangan pernah ke sini lagi." Ucap Bima dengan tatapan tajam. Kemudian kembali masuk ke dalam meninggalkan Alvin yang masih marah.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang