Lembar 12: Hantu Ramah Yang Pertama Kali Kutemui

914 88 1
                                    

AN: Hey becheeesssss update buat kamu nih :* jangan lupa komen yak, maap dikit, haha yang penting ceritanya lanjut :p

vomment

-km

======================================================

Lembar 12

"Kamu bukan berasal daerah sini kan?" mata pucatnya bertemu dengan milikku. Lingkaran hitam terlihat di kelopaknya. Sekilas hantu yang satu ini agak menakutkan tapi setelah aku memandanginya, ia tak terlihat buruk dibandingkan aku. Mungkin wajahku lebih mengerikan, aku mengingat kejadian saat helmku terlempar dan kepalaku membentur jalan lalu diseret aspal.

Aku penasaran bagaimana ia bisa meninggal.

Bola matanya menatap mataku bergantian, mencari-cari akibat mengapa aku tak menjawab pertanyaannya. Aku yang tersadar mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha menghilangkan perasaan gugup dan memikirkan jawaban kuperlukan.

"Ah, iya... Aku cuman berjalan-jalan keluar," aku tersenyum, berusaha memantapkan perkataanku.

Kening hantu wanita itu sekejap bertaut namun seyuman kecil masih dipertahankan olehnya. "Siang-siang seperti ini?" ia bertanya, antara kaget dan takjub melihat diriku.

"Iya... Kenapa?" tanyaku ragu, tak tahu pasti apa kesalahanku.

"Oh tidak apa-apa, cuman jarang saja ada hantu yang keluar siang-siang seperti ini. Biasanya mereka lebih suka berkeliaran di malam hari." Pandangannya mengitari hantu-hantu di bangunan supermarket yang luas.

Aku terkesan melihatnya yang tampak tidak takut dengan hantu-hantu lain.

"Oh ngomong-ngomong kita belum berkenalan, aku Ega." Ia mengulurkan tangannya dengan ramah.

"Aku Nabila," Tanganku menjabat miliknya dengan ragu, bibirku tak sepenuhnya tersenyum ramah seperti miliknya. Rasa curiga merayapi karena ia adalah hantu pertama yang ramah. Perilakunya hampir seperti manusia biasa bukan hantu. Membuatku bertanya-tanya apakah ada hantu yang ramah selain dia atau ini hanya aktingnya semata.

"Ah, iya aku baru saja meninggal beberapa hari yang lalu jadi aku tak tahu apa-apa tentang hantu." Aku memberi tahu, merasa aneh karena berhadapan dengan hantu asing.

"Benarkah? Aku turut berduka," Ia tersenyum sedih. Di saat ia menjawab, aku memikirkan suatu pertanyaan lain agar perkapan ini tidak cepat berakhir.

"Bagaimana cara untuk keluar dari dunia ini?" aku bertanya dengan spontan, mungkin aku bisa mengorek-orek informasi dengannya. Apalagi ia mungkin sudah bertahun-tahun lamanya menjadi hantu, sedikit bertanya mungkin akan membantuku.

Ia menatapku seperti aku sedang bercanda, "Hah? Kalau aku tahu mungkin aku sudah lama tidak berada di sini," katanya. Benar juga. "Lagi pula kita tidak bisa keluar, kita akan terjebak di dunia ini selamanya. Ya mungkin sampai kiamat?" lanjutnya.

"Oh..." kepalaku menunduk, perasaan pesimis tiba-tiba membalut kepalaku. Aku tak bisa pergi dari dunia ini? Apakah aku hanya bisa melihat orang tua dan temanku menjalani hidupnya bertahun-tahun ke depan, sedangkan aku akan kehilangan bahkan melupakan diriku sendiri?

"Hey, jangan bersedih," ia berusaha menghiburku. "Sejujurnya aku lebih suka hidupku yang sekarang ini, eh tapi kan aku sudah mati." Ia terkekeh, aku tak mengerti mengapa ia terlihat santai dengan keadaanya.

"Dulu orang tuaku meninggal saat aku kecil, kemudian aku dibesarkan oleh pamanku. Tapi ia mulai meraba-raba tubuhku saat aku mulai remaja." Ia mulai tersenyum miris, tangan kanannya memegangi lengan kirinya. Tanda ia tidak menyukai cerita yang keluar dari mulutnya. Matanya menjalar ke lantai, menolak bertatapan denganku yang semakin hanyut dan penasaran akan kelanjutan cerita singkatnya itu.

"Tentu aku selalu berusaha melawan, tapi ia lebih besar dan kuat dariku. Karena aku yang terus melawan ia kemudian mulai memukulku agar aku bisa diam. Dan suatu malam saat aku tidur, ia tiba-tiba berada di kasurku. Berusaha melucuti bajuku tapi aku melawan lagi dan berusaha berteriak minta tolong, tapi ia langsung membekap wajahku dengan bantal. Sebuah kesalahannya karena ia tak melepaskan bantal itu dari wajahku sehingga aku mati." Lanjutnya, senyuman miris bercampur sedih menghiasi wajahnya.

Merasa tak enak sudah menyentuh topik sensitif, aku meminta maaf. "Maaf," ucapku agak lirih. Mataku menatapnya dengan rasa penuh penyesalan.

"Nggak apa-apa, kan itu sudah lama sekali." Katanya berusaha menaikkan suasana. "Setidaknya aku bisa melihatnya dihakimi warga sekitar hingga babak belur sebelum ia masuk penjara untuk waktu yang lama." Ia kembali terkekeh, membuatku tersenyum kecil melihatnya.

Itu menjelaskan mengapa aku tak melihat bekas kematian di fisiknya, yang ada hanya kulit pucat dan sekitar mata yang hitam.

"Kalau boleh tahu bagaimana kamu bisa meninggal?" tanyanya. Pertanyaan itu membuatku sedikit geli karena betapa santainya kami berbicara tentang kematian diri kami sendiri.

"Kecelakaan," Jawabku singkat. "Sehabis aku pulang sekolah aku ditabrak truk, gara-gara aku juga karena aku tidak melihat sekitar," aku tertawa. Teringat ketika teriakan masyarakat sekitar yang aku hiraukan karena kuanggap mengganggu konsentrasi berkendara.

"Oh... Aku turut berduka," ucapnya tidak terlalu serius dengan perkataannya. Yah karena orang yang meninggal itu ada di depannya.

"Nggak apa-apa," ucapku. Lalu aku teringat Alvin.

Oh, ya Alvin! Sudah berapa lama aku berbicara dengan Ega? Sampai-sampai aku lupa bahwa aku bersama Alvin tadi. Kalau aku sampai ditinggal olehnya, bisa gawat!

"Sudah dulu ya, aku harus pergi. Ngomong-ngomong, di mana biasanya kamu berada? Kapan-kapan aku ingin berbicara denganmu lagi." Aku berusaha menenangkan tubuhku yang ingin cepat-cepat melayang ke parkiran mobil di bawah.

"Di dekat SD di Jalan Diponogoro, biasanya aku di sana." Lagi-lagi ia mengakhiri perkataanya dengan senyuman ramah.

"Oke, terima kasih." Aku mengembalikan senyumannya. "Sampai jumpa, Ega." Aku melambaikan tangan.

"Sampai jumpa juga, Nabila." Ia membalas lambaianku. Lalu aku langsung bergegas ke parkiran mobil.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang