Lembar 23: Ikatan Batin Dan Perasaan Hampa

556 73 4
                                    

Lembar 23

Beberapa hari selanjutnya tak ada teror dari Nora yang terasa, aku dan Alvin sedikit-sedikit menyicil mencari informasi tentang ibu Nora lewat internet. Yah, walaupun aku cuman memperhatikan Alvin mencari informasi layaknya supervisor. Tapi setelah merasa tak berkontribusi apa-apa dalam misi pencarian ibu Nora, aku mencoba mengendalikan laptop Alvin saat ia tidur. Dan berhasil. Aku bisa mengerahkan energiku dari mulai menghidupkan sampai mengisi kotak pencarian.

Rasanya menakjubkan sekaligus mengerikan mengingat aku masih bisa menggunakan alat elektronik ketika aku sudah mati. Tapi agak sulit menjaga energi yang kupakai agar stabil, kadang saking gembiranya aku tak sengaja memutuskan energiku dari si laptop.

Perlahan aku menggulir beberapa artikel, membaca cepat dan langsung menutupnya kembali karena bukan informasi yang kuinginkan. Aku melakukan hal itu berulang kali sampai merasa energi terkuras agak banyak. Walaupun bertahan tidak terlalu lama, setidaknya aku bisa membantu Alvin sedikit.

"Tadi malam, aku bisa mengontrol laptopmu." Ujarku pada Alvin keesokan harinya.

Kepala Alvin yang semula tertuju pada buku pelajaran pun mendongak lalu menatapku dengan sedikit ketertarikan. "Benarkah?"

"Iya," aku mulai tersenyum bangga. Kami sedang ada di kelas pada saat jam istirahat, tak ada orang di sini. Tapi aku bisa mendengar orang-orang di luar kelas. "Setidaknya aku bisa membantumu."

"Itu hal bagus." Bibir Alvin melengkung.

Aku melipat tangan dan menempatkan daguku di atasnya. "Beberapa hari ini rasanya damai sekali tanpa Nora." Ungkapku memejamkan mata.

"Ya." Respon Alvin.

"Kira-kira dia kemana ya?" kataku sambil memiringkan wajah supaya pipiku yang menumpu pada tangan. Menatap Alvin dari meja di sebelahnya.

"Nggak tahu." Jawab Alvin dengan menambahkan bahu yang terangkat.

Aku diam sementara, menatap tembok di seberang dengan agak melamun.

"Kalau semua ini sudah selesai, terus aku harus bagaimana kalau hantu memang ditakdirkan untuk terjebak di sini?" kataku dengan nada lesu.

Laki-laki berkulit agak pucat di sebelahku hanya terdiam. Tapi aku sangat tahu dia pasti sedang memikirkan suatu jalan. "Apa kamu mau meminjam tubuhku dan mencoba berbicara pada salah satu temanmu?" tawar Alvin tiba-tiba. "Mungkin kamu bisa mencari tahu masalah atau..."

Perkataan Alvin langsungku serobot, "Beneran? Beneran? Boleh?" ucapku berulang kali dengan gembira ditambah makin mengeras.

Alvin hanya mengangguk. "Tapi lakukan dengan cepat, aku tak ingin berlama-lama pisah dari tubuhku. Aku tak ingin hantu yang lain mengambil kesempatan untuk memutuskan ikatan batin antara roh dan tubuhku."

"Ikatan batin?" tanyaku penasaran.

"Iya, itu seperti tali tak kasat mata yang menghubungkan roh dengan tubuhku. Tapi selama aku masih bisa menjaga kesadaran ikatan itu dan tidak terlalu lama berpisah dari tubuh, semua akan fine-fine saja." Terangnya.

Aku hanya ber-ooh singkat, tanda memahami. Setelah itu aku merasuki tubuh Alvin. Aku selalu bertanya-tanya apakah rasanya sakit atau tidak jika hantu merasuki tubuhnya. Tapi aku menyimpan pertanyaan itu dalam hati.

Ketika aku membuka kelopakku, aku melihat semua hal dari prespektif Alvin. Tak ingin membuat roh Alvin lama menunggu, aku kemudian berjalan keluar kelas. Tak lupa berterima kasih pada roh Alvin.

"Makasih, Vin." Kataku.

Sangat aneh berjalan di sekolah dengan tubuh yang bukan milikmu sendiri. Rasanya beda dalam semua sisi. Tapi yang paling menonjol adalah ketika semua pandangan siswa-siswi terhadap Alvin bisa aku rasakan saat ini. Beberapa terlihat menghindar, beberapa meremehkan, tapi banyak yang tak mengacuhkan seperti angin lewat.

Setelah mencari di kelas dan di kantin, aku tak menemukan gerombolan temanku. Kira-kira dimana mereka?

Tapi untungnya, di tengah jalan menuju perpustakaan aku bertemu dengan Yuna. Sempurna.

Yuna terlihat enggan menyapaku, membuang muka seolah tak memperhatikan siapa yang ada di jalannya.

"Yuna." Panggilku duluan. Membuat Yuna terpaksa berhenti untuk meresponku.

"Oh, hey Alvin." Yuna tersenyum canggung. Kulihat ia memegangi satu buku milik perpustakaan.

"Boleh aku ngomong sebentar soal Nabila?" kataku.

Wajah Yuna berubah menjadi berhati-hati dengan cepat dari yang semula canggung. "Kenapa?" tanyanya skeptis.

"Aku cuman ingin tahu, apakah Nabila dan kalian semua punya suatu masalah atau pun rahasia sebelum dia... Kau tahu..." sekarang otakku tak bisa memikirkan apa-apa. Untuk beberapa saat aku merasa kikuk.

"Enggak kok. Kita nggak ada masalah apa-apa sama Nabila." Jawabnya, mata Yuna masih melihatku dengan ragu. "Emangnya dari mana kamu kenal Nabila?" tanyanya dengan nada menginterogasi.

"Em... dari bimbel SMP dulu." Jawabku mengarang, diam-diam berharap Yuna tidak menanyai hal seperti itu lagi.

"Kalau sikap Bima sekarang gimana? Apa dia masih dengan ceweknya yang sekarang?" aku bertanya kembali.

"Dia sekarang mulai kelihatannya agak menyesal dan dia udah nggak sama ceweknya itu." Kata Yuna. "Memangnya kenapa kamu nanyain hal itu? Bukannya kalian musuhan?" tanya Yuna dengan nada yang sama.

"Engga apa-apa kok, cuman penasaran aja." Aku memberikan tanggapan terbaikku. "Kalian baik-baik saja kan setelah kejadian ini?"

"Iya, semuanya baik-baik saja."

Moodku tiba-tiba menurun setelah mendengar jawaban itu. Aku harusnya bahagia karena mereka baik-baik saja setelah kepergianku, tapi di sisi lain aku merasa terabaikan.

"Baguslah kalau begitu... Aku turut berduka cita atas kejadian ini." ujarku pilu.

Alis Yuna berkerut heran. "Em, terima kasih."

Dengan itu, aku pergi kembali menuju kelas dengan perasaan hampa.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang