Lembar 2: Liontin dan Seseorang Yang Bisa Melihatku

1.7K 145 8
                                    

Lembar 2

Aku tak bisa merasakan apa-apa. Yang kulihat hanya gelap dan sangat hening. Nyaris membuatku berpikir bahwa aku tuli. Apa yang terjadi?

Oh ya, di kantin, kemudian aku mengambil motor, di perjalanan ada sebuah truk. Dan selanjutnya hitam dan aku kehilangan kesadaran.

Mengapa sekarang aku tak bisa melihat apa-apa? Apa aku buta?

Atau apakah aku sudah mati?

Tanpa kusadari, detik selanjutnya mataku terbuka. Ruangan bercat putih dan aku terbaring di atas kasur rumah sakit. Banyak sekali peralatan elektronik rumah sakit yang tak ketahui namanya. Apa aku sedang di ruang UGD?

Aku bangun dari kasur. "Ya ampun, aku kira aku sudah mati." Aku memegangi kepalaku.

Aku menyerengit ketika tak bisa merasakan rasa sentuhan dari telapak yang menyentuh kepalaku.

Apa?

Aku menatap tanganku, tangan yang terlihat sedikit transparan hingga aku bisa melihat selimut yang kupakai. Ada kedua tangan di sampingku. Tangan penuh perban dan ada sebuah selang infus yang membenam di sana.

Aku menoleh ke belakang dan menyadari bahwa yang terbaring adalah diriku sendiri. Aku terlonjak ke belakang karena kaget. Di sana, terbaring tubuhku perban di sekujur tubuh dan separuh kepalaku terbalut kapas-kapas penuh darah. Selang terkalung di hidungku dengan tabung-tabung di samping kasur.

Apa?

Aku menghisap napas kaget, karena menyadari 3 hal. Yang pertama adalah aku melihat tubuhku terbaring dengan mataku sendiri. Kedua, aku menyadari bahwa aku sekarang sedang melayang di udara dengan tubuh hampir transparan. Dan yang ketiga yaitu aku sudah menjadi hantu?

Suara samar-samar di luar ruangan ini terdengar.

Perlahan aku 'melayang' menuju pintu. Berusaha membukanya tapi tanganku hanya menembus gagang itu.

Sekarang aku bisa menembus dinding gitu? Seperti hantu sungguhan?

Dan benar saja, aku langsung bisa menembus pintu menuju lorong UGD rumah sakit.

"Kami sudah berusaha semampu kami." Seorang pria dengan rambut yang hampir memutih seluruhnya berkata. Kacamata berlensa tipis bertengger di hidung mancungnya. Ia masih dalam balutan pakaian operasi yang serba hijau. Sarung tangan bahkan masih melekat di kedua tangannya.

Seorang wanita di hadapannya terisak. Berusaha menghapus air mata yang terus mengalir dengan punggung tangan kurusnya. Rambut hitamnya ia kucir rendah menyentuh kulit lehernya. Ia masih memakai seragam bank di tempat ia bekerja.

Mama...

Hatiku seperti diremas ketika memperhatikannya menangis. Aku ingin berkata 'Aku masih di sini, Ma.' Tapi itu tak akan berhasil. Mereka bahkan tak dapat melihatku di depan pintu.

"Maafkan kami, Bu. Kami tak bisa berbuat apa-apa lagi." Ujar sang dokter.

Seketika, aku membeku. Baru memproses kata-kata dokter yang terlontar.

Itu artinya aku sudah mati?

Duniaku terasa berhenti dan hening. Hanya sebuah suara yang dapat kudengar saat ini.

Aku sudah mati.

Aku menoleh ke belakang. Menatap tubuhku yang terbaring di kasur UGD. Tubuh sangat pucat dan penuh balutan perban yang merembes darah. Tubuh yang di kelilingi oleh berbagai peralatan di sekitarnya.

Tubuhnya tak bergerak sama sekali.

Aku sudah mati.

Aku berlari. Menembus dinding rumah sakit dan sekarang aku sudah berada di pinggir jalan rumah sakit. Menangis tertunduk menerima takdir. Mengapa aku tak langsung ke alam baka? Mengapa aku harus terjebak di antara dunia ini?

Sayup-sayup, aku mendengar suara tangisan. Bukan tangisanku tentunya. Seorang anak kecil bertubuh transparan sepertiku menangis di pojok rumah sakit.

Rambutnya tipis dan bergelombang. Ia duduk di lantai dengan memeluk kedua kakinya.

Aku perlahan mendekati anak laki-laki yang sedang terisak itu. Di dalam isakannya terdengar ia memanggil-manggil ayah dan ibunya.

"Hey..." aku bersuara. Apakah ia bisa mendengarku aku belum tahu.

Ia mendongakkan kepala kecilnya. Menatapku dengan mata biru sendu miliknya.

Blasteran? Aku menduga dalam hati.

Wajahnya terlihat sedikit bule bagiku.

"Hey, kamu kenapa?" aku bertanya padanya. Apa dia mengerti bahasaku?

"Aku sangat sedih." Jawabnya.

"Sedih kenapa?"

"Aku sangat rindu ayah dan ibu. Tapi aku tak tahu mereka di mana. Mereka sudah melupakanku." Jawabnya. Menurunkan dagunya ke lutut.

"Aku juga sedih. Aku baru mati hari ini." Ujarku, berlutut di depannya.

Anak itu menatap leherku, "Kalung apa itu?" tanyanya.

Aku mengalihkan perhatian ke leherku. Sebuah kalung dengan liontin putih bercahaya.

Apa ini? Aku tak pernah memakai kalung ini seumur hidupku. Aku menyentuhkan jariku ke liontin putih itu.

"Bolehkah aku mengambilnya?" kata anak itu tiba-tiba. Matanya tak lagi terlihat sedih.

Aku menatap bingung anak itu. "Kenapa?"

"Berikan itu untukku." Perintahnya.

Aku terkejut pada perubahan sikapnya. Yang tadi terlihat seperti anak baik-baik, ia sekarang sangat berbeda. Seperti akan membunuhku jika tak memberikan kalungku.

Aku berdiri lalu mundur. Menatap perubahan wajahnya. Matanya hanya tertuju kalung yang aku pegang.

"BERIKAN ITU PADAKU!" teriaknya. Bahkan teriakannya terdengar lebih berat.

Aku bisa melihat aura hitam berat mendorongku. Tak pikir panjang, aku segera berlari menjauhi anak itu.

Anak itu kenapa?!

Ada apa dengan kalungku hingga anak itu terlihat mengerikan sekarang. Saat cukup jauh aku berhenti di depan sebuah apartemen. Aku kira aku sudah mati, tapi mengapa aku masih merasakan kelelahan?

Matahari hampir membenam saat aku sudah memulihkan tenagaku. Dan itu membuatku sedikit merinding walaupun aku seorang hantu. Aku bisa melihat beberapa hantu lain bersliweran walaupun jauh dari tempatku berada.

Aku tak ingin kejadian tadi terulang. Bahkan untuk seorang anak kecil, ia sudah berhasil membuatku lari ketakutan. Apalagi hantu yang besar.

Sekarang aku harus menemukan tempat untuk bersembunyi dari hantu-hantu lain. Aku geli, mengingat bahwa aku adalah hantu dan takut pada hantu lain.

Mengapa anak itu sangat menginginkan kalungku ini? Aku bertanya dalam hati sambil terus memegangi kalung di leher saat aku berjalan masuk ke dalam apartemen.

Aku bisa melihat beberapa hantu dan beberapa orang sepanjang perjalanan. Aku tetap was-was menutupi kalung yang kupunya. Tampaknya antara mereka tak melihat atau tak peduli denganku.

Keberadaan orang-orang biasa di sekitarku juga membuatku lega. Sekarang, di mana aku harus bersembunyi? Apa hantu perlu tidur?

Mataku menoleh memergoki seorang manusia yang tak sengaja menatap mataku. Dia bisa melihatku?

Sontak, ia mengalihkan perhatian ke pintu apartemennya. Memutar kunci lalu masuk ke dalamnya tanpa menghiraukanku lagi.

Apa dia benar-benar bisa melihatku atau tak sengaja melihat benda lain saja?

Tanpa kusadari, rasa penasaran menuntunku berjalan menembus ke pintu apartemennya.



============================================

AN: Yaampun makin gaje aja cerita ini :-)))

vomment yak.

-km

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang