Lembar 22: Dosa Yang Menyenangkan

697 80 9
                                    

AN: Lembar 22 dan cerito iki iseh ngalor ngidul rak jelassss. >:( *marah dengan diri sendiri*

vomment karo follow igku dong @jihanmiles :D *emang gatau diri*

suwun

-km

wajah asli dari tokoh Alvin yang sebenarnya:

wajah asli dari tokoh Alvin yang sebenarnya:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lembar 22

Keesokan harinya aku mengikuti Alvin ke sekolah. Siswa dan siswi memadati pinggir lapangan dan luar kelas, bersama-sama menyaksikan permainan bola basket yang dimainkan siswa kelas dua belas. Atau sekedar bercengrama dengan teman-teman sambil melemparkan kekonyolan mereka masing-masing. Dan pastinya ada gibah-ghibah club yang siap melengkapi jam kosong siang ini.

Jam kosong bagi kelas dua belas layaknya danau di padang pasir. Sudah sulit didapatkan dan kami berusaha menikmati hal itu sebisa mungkin sebelum hilang. Setelah jam tambahan dan hari-hari try out yang melelahkan, jam kosong mungkin adalah anugerah yang dinantikan oleh para kelas dua belas. Guru-guru terutama guru kelas dua belas sedang berada dalam rapat dan sontak semua kelas dua belas berteriak kegirangan saat mengetahui berita itu.

Jika aku masih hidup, mungkin aku berada di pinggiran lapangan. Duduk di bawah bayang pohon sambil menonton arah bola basket berpindah bersama teman-temanku. Tapi sekarang berbeda. Aku hanya bisa melihat gerombolan teman-temanku tertawa dari jendela kelas Alvin. Mereka tampak baik-baik saja tanpaku di sana.

Kemudian di lapangan ada Bima, memainkan bola basket dengan agresif sambil berusaha mencetak poin. Dan benar saja, ia dengan mudah memasukan bola ke ring.

"Nice!" kata salah satu tim Bima.

Bima hanya tersenyum, memperlihatkan giginya. Setelah putus dan mengalami kecelakaan, sekarang aku menyadari kalau aku tak merasakan apa-apa terhadapnya sekarang. Tapi aku berharap kita masih bisa berteman. Aku merasa tak perlu bermusuhan hanya karena kita sudah putus.

"Kenapa kamu nggak keluar?" tanyaku saat berbalik dari jendela menghadap Alvin.

Kelasnya kosong, semua anak kelas keluar entah kemana. Sedangkan hanya Alvin sendiri di kelas, sambil bermain handphonenya.

"Nggak tertarik." Jawab Alvin simpel.

Aku berjalan medekatinya. "Apa kamu nggak punya teman?" aku menghempaskan diri ke bangku di depan Alvin.

Dia bahkan duduk sendiri.

"Mereka semua nggak berani mendekatiku setelah kejadian kelas 10 dulu." Terangnya tak mengalihkan pandangan dari handphone yang ia pegang di antara laci.

"Kamu tahu, mereka seharusnya jangan menjauhimu hanya karena satu kesalahan yang kamu lakukan." Ujarku menatapnya.

"Tapi mereka tetap tak berani mendekatiku. Lagipula aku tak peduli." Balasnya dan sekarang memandangku.

Aku tenggelam dalam tatapannya untuk beberapa saat. "Pernah terlintas di benakku, apa jadinya kalau aku bertemu denganmu bukan dengan Bima."

Alvin tetap diam menatapku sambil menungguku melanjutkan.

"Aku rasa kamu orangnya baik, misterius- bukan dalam arti buruk tapi kamu membuatku penasaran. Sejak aku bertemu denganmu, aku terus-terusan berpikir kenapa aku nggak pernah bertemu denganmu sebelumnya. Sebelum aku mati, paham?" aku merasakan mataku mulai pedas.

"Aku nggak peduli apa yang kamu lakukan di masa lalu, tapi aku hanya peduli yang telah kamu lakukan kepadaku sekarang ini. Mengapa kamu membuatku merasakan hal-hal yang seharusnya tak boleh kurasakan karena aku sudah mati." Kenapa aku tiba-tiba membahas hal ini? dan mengapa hatiku terasa sakit?

Aku tertawa karena kelakuan bodohku, tapi tak dapat menyembunyikan air mata yang jatuh. Raut Alvin berubah melembut dan ada beberapa emosi yang terpancar dari tatapannya. Sedih, bimbang, dan terkejut.

Alvin meletakkan handphonenya, melipat tangan di atas meja sambil tak melepas tatapannya. "Saat pertama kali aku melihatmu di apartemen kamu sangat unik, kamu tahu? Hantu berseragam sekolah, bertingkah seolah tak terjadi apa-apa saat di apartemenku. Kamu berbeda, dan aku tak bisa menemukan hal itu dari hantu lain bahkan dari orang lain."

"Aku juga berharap kita bertemu lebih cepat, bukan bertemu saat kita sudah beda dunia." Ungkap Alvin.

Dan hal itu membuat hatiku sakit apalagi Alvin yang mengatakannya. Tapi ada perasaan lega yang menyelimuti. Mungkin karena aku ingin mendengar bahwa Alvin juga menginginkanku.

"Jangankan bertemu denganmu, hanya menyentuhmu mungkin sudah membuatku bahagia." Katanya tersenyum kecil menatap mataku bolak-balik.

Entah mengapa aku tersenyum lebar, lalu mengerahkan energi di tanganku. "Kalau gitu, coba penggang tanganku." Aku menaikkan tanganku ke udara dengan telapak menghadap ke wajahnya.

Alvin perlahan menyentuhkan jemarinya ke telapakku dan rasanya agak aneh seperti angin lembut menyentuh kulitku. Jari-jarinya menggenggam erat di sela jariku, telapaknya hangat seperti yang kubayangkan. Hanya sentuhan biasa darinya sudah membuatku melayang gembira.

Senyuman lebar tak bisa kusembunyikan dan juga miliknya. Aku harap momen ini bertahan selamanya. Rasanya seperti dosa yang mengasyikan, kami tahu ini salah tapi kami tetap melakukannya.

"Hey, lihat! Si Alvin senyam-senyum sendiri!" sorak seseorang, diikuti dengan tawanya.

Sontak kami berdua menoleh kaget ke arah pintu kelas, melepaskan genggaman tangan kami. Di sana ada gerombolan Bima dan kawannya.

Aku mengenali bahwa yang berteriak tadi adalah Yudi, temannya Bima. Gerombolan itu terkekeh lalu berjalan pergi melewati kelas, tapi kulihat Bima tak tertawa sama sekali. Hanya membisu sambil menatap tajam Alvin lalu pergi mengikuti teman-temannya.

"Maafkan aku." Kataku ke Alvin. Ini salahku yang membuat citra Alvin dari anak aneh menjadi anak aneh yang semakin aneh.

"Nggak apa-apa, udah biasa." Ucap Alvin tak terlalu memikirkan hal itu.

"Oh ya, ngomong-ngomong gimana soal ibunya Nora? Apa kamu sudah tahu cara menemukannya?" aku mengalihkan percakapan.

"Aku mulai mencari berita tentang kebakaran tiga tahun yang lalu lewat internet, tapi belum menemukan berita tentang Nora." Alvin mengutarakan sambil menyalakan handphonenya ke arahku. Memperlihatkan beberapa artikel lama seputar kebakaran.

Aku mengangguk paham. "Mungkin kita juga bisa mencari beritanya dari koran kertas, Vin."

"Ide bagus, tapi surat kabar itu banyak sekali dan aku tak tahu tanggal kejadiannya. Mungkin butuh waktu yang lumayan kalau cuman kita berdua. Rani kurasa akan ikut membantu walaupun sedikit, dia orangnya sibuk."

"Aku ada ide, gimana kalau aku ajak Ega? Katanya kamu ingin bertemu dengannya kan?" mataku yang berbinar menatap matanya.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang