Lembar 16: Saat Perasaan Itu Mulai Disadari

892 96 5
                                    

AN: maaf ya gaes :( sudah lama nggak update karena saya sibuk dan sakit, dan mager sih hehe.

bokkk ini chapter syedih bgt menurutku :"(((((

vomment!

-km

===========================================================================

Lembar 16

Menatap mata Alvin seketika membuat takut karena aku tak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Belum sempat aku berkata-kata kembali, Alvin dengan tiba-tiba menegakkan tubuhnya dan mencengkram leherku tanpa bisa aku hindari. Aku berusaha melepaskan cengkraman kuatnya tapi tak bisa. Yang ada aku seperti tergantung di udara, tangannya yang memegang kuasa tubuhku. Walaupun cekikannya tidak menyesakkan paru-paru, tapi leherku dibuat sakit dan panas karenanya. Rasanya leherku bisa patah kapan saja karena belenggu jari-jari Alvin.

Aku mau tak mau menatap lurus ke mata Alvin yang berputar ke atas, hanya memperlihatkan bagian putih matanya. Rintihan mengalir dari bibirku dengan tangan yang tanpa henti berusaha melepaskan jari-jari Alvin dari leherku. Jujur saja aku sangat kaget karena Alvin yang adalah manusia bisa menyentuh hantu sepertiku, apa ini benar bisa terjadi?

"Aku benci kamu," suara Alvin terdengar agak lebih berat, tak terdengar seperti suaranya sama sekali.

Siapa yang merasuki Alvin?

"S-siapa kamu?" suaraku parau keluar bersama rintihan.

Alvin di hadapanku hanya menyeringai miring, suka melihat keadaanku yang dibawah kendalinya. Aku merasakan jemari Alvin semakin kuat di leherku, sensasi panas yang menyakitkan menggerogoti hingga seluruh tubuhku merasakannya. Otakku tak bisa berpikir, tanganku yang memegangi tangan Alvin melemas, tetapi kesadaranku masih sempurna.

Jemari Alvin seketika lepas dari leherku, aku tertunduk memegangi leher yang terasa sehabis dicelupkan air mendidih. Mulutku tak bisa mengeluarkan rintihan saking menyakitkannya. Tapi aku memaksakan diri untuk melihat Alvin.

Mata Alvin kembali normal untuk sesaat, tubuhnya gemetaran berusaha melawan apa yang ada di dalam dirinya. Ketika matanya bertemu denganku ia memerintahkan, "Lari..." dengan lirih.

Kepalaku mengangguk. Dengan tubuhku yang hampir terkuras akibat cekikan tadi, aku menembus dinding-dinding hingga aku di luar gedung apartemen. Tapi setelah aku berada di luar aku menyesali perbuatanku karena meninggalkan Alvin sendirian. Baru sempat aku berpikir untuk kembali, aku melihat Alvin berjalan cepat dengan sempoyongan ke arah jalan raya.

Aku bergegas ke arah Alvin, berusaha menghalanginya tapi dengan mudah ia melewatiku. Kembali, aku berusaha menghalanginya sekali lagi. Kali ini merentangkan tangan walau tak berguna apa-apa.

"Berhenti, tolong" aku menghiraukan rasa sakit yang menusuk di leherku saat aku berbicara. "Kamu bakal menyakiti Alvin," perlahan menjadi takut karena tak ada respon.

"Siapa kamu? Kenapa kamu merasuki Alvin tanpa izin?" sekarang ini aku sudah berdiri di pinggir jalan raya, semakin panik karena Alvin tak memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti.

Bibir Alvin bergeming, kakinya terus melangkah hingga melewatiku. Aku menoleh cepat, melihat ada sebuah mobil berkecepatan tinggi akan segera melintas. Akan menabrak Alvin. Rasanya De Javu seperti melihat diriku saat kecelakaan, reflek aku berlari ke tubuh Alvin. Kali ini tubuhku tak melewati tubuhnya begitu saja. Aku mendorong sekuat tenaga apa yang ada di dalam tubuh Alvin, lalu aku merasakan tubuh Alvin yang kukendalikan jatuh di dekat trotoar seberang jalan. Berhasil menghindar dari tabrakan maut tadi.

Sedetik kemudian suara rem mendadak menyeret di aspal. Ketika itu juga rohku keluar dari tubuh Alvin yang sekarang tak sadarkan diri. Dari pandanganku, aku tak sengaja melihat sosok hantu perempuan dengan rambut panjang tergerai. Seperti ditiup angin, bayangannya hilang. Tapi aku tak bisa melupakan pandangan dingin menusuk yang ia pancarkan kepadaku.

**

Alvin sekarang di rumah sakit, dibawa oleh sang pengemudi mobil yang hampir menabraknya tadi. Pengemudi itu terus-terusan menanyai apakah Alvin mabuk atau tidak karena dari cara jalannya tadi. Setelah beberapa kali Alvin meminta maaf dan merangkai alasan yang bisa diterima akal, akhirnya sang pengemudi pergi dari rumah sakit.

Aku sekarang menatap Alvin yang duduk di kursi koridor dengan perban di beberapa bagian tubuhnya yang lecet. Dan kebanyakan di daerah kaki dan tangan. Tapi ini lebih baik jika dibandingkan dengan ia meninggal karena tabrakan.

Aku tak bisa membayangkan hal itu terjadi. Itu membuat hatiku sangat sakit dan sedih. Aku tak paham mengapa hantu yang merasuki Alvin tadi ingin agar Alvin mati. Kenapa? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku.

Kakiku melangkah maju satu langkah, mendekatkan diri di hadapan Alvin.

"Maafkan aku," aku meminta maaf dalam wajah hening. Tak bisa menaikkan mataku untuk menatapnya. "Semua ini gara-gara aku... Kalau saja-" Alvin memotong perkataanku.

"Shh... Nggak apa-apa, ini salahku" ucapnya lembut, membuatku semakin hanyut dalam perasaan yang campur aduk.

Sudah sangat lama sekali aku merasakan yang namanya hampir kehilangan seseorang. Rasanya sakit tapi tak bisa diutarakan hanya dengan tangisan.

"Gara-gara aku... lehermu," ia menyeret ucapannya dengan sedikit sedih. Aku melihat tangannya berusaha menggapai leherku tapi tidak untuk mencengkram leherku, tapi untuk menyentuhkan buku jarinya dengan lembut. Namun sentuhan itu tak pernah kurasakan di leherku, yang kulihat jemarinya hanya menembus tubuhku begitu saja.

Alvin tertunduk sedih, sedangkan aku menatapnya dengan perasaan kacau serta hancur.

Karena aku menyadari bahwa aku mulai jatuh cinta dengan seseorang yang berbeda dunia.

Nan KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang